blank
Foto: dok/ist

Oleh: Gabriela Sabatini

ANGIN senantiasa berembus dari lembah menuju kaki-kaki bukit, berderu menyentuh dedaunan dan ranting-ranting pohon. Beranjak tinggi dan rendah dalam keriuhan alami. Ketika matahari menyingsing, angin menyisir kegelapan di balik lereng-lereng curam. Menjatuhkan embun pagi ke relung jurang terdalam. Dalam suasana itu, burung-burung berangkat dari sarangnya, melanglang buana mencari penghidupan. Manusia tak luput disisir angin, menemani langkah kaki menuju tempat kerja atau ladang bagi para petani.

Kalimat-kalimat itu semua merupakan ungkapan estetis dan bernilai bagi sebagian orang, setidak-tidaknya sastrawan. Bagi mereka, kata-kata indah perlu untuk menyajikan mahakarya sastra, memandang kehidupan seperti taman firdaus dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya.

Tetapi angin tidak selalu menghadirkan keindahan. Percik api di tengah padang ilalang kering, lantas tertiup angin dapat menciptakan ombak-ombak api yang sangat dahsyat. Dan manusia menyebut kejadian tersebut dengan bencana. Apalagi ketika merambah ke permukiman, yang mau tak mau membuat pemerintah repot menangani pengungsi.

Pemerintah harus mencarikan naungan, membagikan makanan, menggelar doa bersama. Angin adalah gerak alam yang secara otonom beredar ke setiap sendi kehidupan. Ia berembus mengenai siapa saja. Tak memandang apa pun. Prinsip angin ialah menggerakkan udara dengan serentak pada peredaran yang begitu cepat, mampu menggerakan material yang dilewati.
Prinsip ini merupakan refleksi mendasar manusia yang bisa kita kaitkan dengan keberadaan ideologi. Bukankah ideologi dapat menjalar sangat radikal, seperti angin yang berembus, memberi dampak luar biasa terhadap tatanan sosial, politik dan ekonomi?

Angin kapitalisme, industrialisme, dan liberalisme menyisir dengan cepat ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tak berbeda dari angin gunung atau angin darat yang dimanfaatkan nelayan untuk melaut. Angin kapitalisme merebak dan menggerakan ranting-ranting tatanan sosial yang diam selama berabad-abad. Angin ini datang tanpa disadari, menggeser nilai dan norma.

Mantan Orang Adat
Suatu saat, masyarakat telah dikukuhkan dalam bingkai peradaban Nusantara, menapakkan diri di atas asas kekeluargaan dan gotong royong, melangkah dalam ketenangan dan menyikapi kehidupan dengan “welas asih”, lalu tiba-tiba berembus dari Barat angin pagi yang terburu-buru, membawa nilai-nilai kebebasan yang semrawut dan pongah.

Yang terjadi, masyarakat adat keluar dari hutan, kemudian membabat habis hutan tersebut. Dibangunnya pabrik-pabrik tinggi dan berasap. Masyarakat adat mendapat selembaran uang dan hidup layak di bawah atap berbatas pagar besi, lalu membeli segalanya. Segalanya itu diletakkan di dalam rumah, depan, belakang, sisi halaman, yang orang lain hanya boleh memakainya dengan izin.

Akhirnya uang tersebut habis oleh hasrat serba-serbi, dan mau tak mau “mantan orang adat” itu harus mencari kerja untuk mendapatkan upah. Maka pabrik-pabrik tinggi dan berasap, yang mengusir masyarakat adat dari tanah kelahiranya sendiri, menawarkan pekerjaan. Suatu bentuk ironi khas yang dibawa angin neoimperialisme.

Dapatkah kita memahami? Angin tak hanya melukiskan keindahan perbukitan, lembah yang dalam, atau mendatangkan badai dan kebakaran hutan. Ia pun merupakan alat politik yang mampu meluluhlantakkan hutan adat dan meruntuhkan kebudayaan yang telah melekat berabad-abad.

Budaya lahir dari kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Pada tataran personal maupun kelompok, budaya kian berkembang dalam cakupan yang lebih luas, yakni masyarakat. Budaya mulai merambah sistem kelola masyarakat, menjadikanya sebagai aktivitas yang secara tidak langsung telah disepakati bersama.

Dapat dikatakan, sistem dan tatanan masyarakat yang telah lama dianut merupakan wujud dari kebudayaan. Proses tersebut berjalan dengan lambat namun ajeg. Dan, pada masa yang lama, kebudayaan menjelma menjadi peradaban yang melarungkan manusia pada sikap-sikap perenungan sejati terhadap alam dan sekitarnya.

Peristiwa kebudayaan sesungguhnya merupakan angin yang sama seperti kapitalisme dan neoimperialisme, namun angin pada sisi kebudayaan cenderung berembus secara perlahan, pasti, dan konstan. Darinya tercipta peradaban yang stabil. Berbeda dari kapitalisme atau neoimperialisme.

Paham ini tidak didasarkan pada nilai-nilai murni seperti kebudayaan, yaitu sebagai proses belajar manusia mengenal dirinya, melainkan merujuk pada alternatif gagasan untuk menciptkan suatu sistem yang memiliki tujuan. Dalam hal ini, keuntungan sebesar-besarnya bagi pemodal.

Refleksi Erisychthon
Dari angin kita dapat merefleksikan konsep pemikiran yang sangat berharga. Yaitu, globalisasi kapitalis bergerak dan menyisir negara-negara di dunia dengan sangat cepat dan radikal, yang berdampak pada ketergeseran sistem, tatanan, dasar falsafah hidup nusantara.

Dapat kita lihat, proses globalisasi yang begitu kencang merupakan angin besar yang datang sebentar. Ia seperti badai yang datang kemudian pergi. Asumsinya, kapitalis neoliberal akan runtuh oleh kerakusannya sendiri, seperti tokoh dalam mitologi Yunani, Erisychthon.

Dia tukang kayu kaya raya, namun karena kerakusanya, ia menebang pohon para dewa. Para dewa pun mengutuk Erisychton tidak pernah kenyang. Kutukan tersebut terbukti. Erisychton
memakan semua yang ada, sampai benar-benar tak ada yang tersisa. Akhirnya ia memakan dirinya sendiri.

Eksistensi kebudayaan akan senantiasa terjaga. Pada hakikatnya ia hidup dalam keseharusan angin menimpali dedaunan: perlahan namun pasti. Datangnya badai adalah proses dinamika alam agar manusia dapat melakukan dekonstruksi dan refleksi sejati sebagai proses keberlangsungan hidup yang tak sempurna dan tak terhenti.

Gabriela Sabatini, Mahasiswa Fiskom UKSW Salatiga