Oleh: Handrya Utama
Tulisan ini akan menjadi pengantar terhadap Cerita Bersambung (Cerber) Pedang Bermata Naga, yang akan dimuat suarabaru.id mulai 10 Februari mendatang. Merupakan kisah biasa, yang sering kita dapati pada kisah Nusantara di era 80-an. Tdak mengelak jika genre cerita laga ini disemangati atas keberhasilan Api di Bukit Menoreh (S.H. Mintardja), Saur Sepuh (Niki Kosasih) atau Tutur Tinular (S. Tidjab). Semacam kisah heroik berlatar belakang sejarah, dengan sasaran penikmat kaum muda, yang tentu saja dibumbui kisah cinta penuh pesona.
Pedang Bermata Naga telah digagas sejak tujuh tahun silam, dengan mengumpulkan fakta sejarah. Utamanya menjelang masa-masa kehancuran Kerajaan Majapahit. (abad 14). Konflik terbuka antara Wikramawardhana (menantu) Raja Hayam Wuruk dan Bhre Wirabhumi, putra selir Hayam Wuruk, mewarnai sepanjang cerita. Bertikainya Kerajaan Barat (pimpinan Wikramawardhana) dan Kerajaan Timur (pimpinan Bhre Wirabhumi), akan terus berlangsung hingga terjadinya Perang Paregreg tahun 1404.
Saya tidak ingin mengulang sejarah yang telah ditulis dalam banyak versi. Namun di tengah-tengah itu, tiba-tiba terbersit lahirnya sosok petarung hebat, muda dan menawan bernama Bhre Maharsha. Pada tokoh itulah kisah digulirkan. Mulai dari kegelisahannya menyaksikan fakta suram kerajaan, kegigihan dalam memperjuangkan kebenaran, dan upaya membangun manusia baru di atas kemuliaan akal. Hingga kisah cintanya yang unik dengan Kembang Manggis, pendekar perempuan dari Padepokan Gelagah Abang.
Proses Penulisan
Proses kepenulisan cerita Pedang Bermata Naga sampailah pada “Dari mana tulisan harus dimulai.” Pada bulan April 2016, saya menulis konsep cerita selama berbulan-bulan. Kerangka cerita sepanjang 15 halaman baru saya rampungkan, ketika akhirnya menemukan hole (ceruk) kapan kisah harus berakhir. Karena sejak awal saya merencanakan cerita ini dimuat untuk media harian, saya harus menghitung berapa halaman naskah akan saya rampungkan.
Untuk naskah harian, saya harus mempersiapkan sekitar dua halaman ketik per seri selama 183 sehari (setengah tahun). Dengan harapan, jika kelak diterbitkan menjadi buku novel, akan setebal 400 halaman. Namun perencanaan tersebut gugur dengan sendirinya ketika media cetak mengalami masa sulitnya. Rencana ke dua menyasar ke media digital/ online. Format serial harian saya ubah dalam mingguan, dengan mengubah jumlah halaman yang semula dua lembar perseri, menjiadu lima lembar ketik perseri. Kalkulasi pemuatan bisa menjadi 90 seri pemuatan. Jika dihitung keseluruhan, akan memakan waktu pemuatan lebih dari satu setengah tahun.
Pedang Bermata Naga akan mengambil idiom kultural berbagai wilayah. Yang paling kuat tentu saja latar kultur Jawa, mengingat letak Kerajaan Majapahit berada di Jawa (Timur). Namun karena kekuasaan yang besar di Nusantara, serta perlintasan politik kekuasaan sampai ke kawasan Borneo hingga negara semenanjung seperti Tumasik (Singapura), akan kita lihat dalam cerita ini sosok asing dari luar Nusantara. “Pedang Bermata Naga” adalah akulturasi masuknya diplomasi kewilayahan dengan orang-orang Tiongkok.
Pedang bermata Naga hanya kita dapati dari kesejarahan Tiongkok kuno, di mana Naga disimbolkan sebagai binatang ular naga berkaki yang sangat pemberani. Kelak pedang inilah yang akan berperan besar dalam memutus pertikaian panjang di Majapahit. Tafsir dari kisah ini merupakan perpaduan antara referensi sejarah serta logika akal sehat. Keduanya diracik dalam dramaturgi fiksi yang seharusnya menarik.
Karakter Tokoh
Dalam kisah Pedang Bermata Naga, kita akan belajar banyak mengenai bagaimana cara memainkan karakter tokoh-tokohnya. Kelak akan muncul berbagai sosok yang satu sama lain akan punya sufat sangat berbeda. Arya Pandan atau Bhre Maharsha misalnya, akan tampil sebagai petarung tangguh namun melankolik atas tembang-tembang indahnya. Tokoh Ngabehi Sancaka Mahreswara, ayahanda Bhre Mahasha, adalah pujangga Kerajaan Timur yang tubuhnya mulai melemah, namun kanuragannya selalu menyertai ke mana pun Bhr Maharsha/ Arya Pandan berada. Hubungan keduanya terasa aneh, justru karena keseharian mereka saling meledek.
Kembang Manggis adalah “kembangnya” kisah ini. Ia diceritakan sebagai seorang petarung perempuan tanpa tanding, pecinta sejati bagi Arya Pandan, sekaligus guru kecil Arya Pandan pada situasi kritis. Keduanya sempat dipisahkan oleh keadaan yang sulit, ketika Arya Pandan harus mendekati Kusumawardhani, permaisuri penguasa Kerajaan Barat Majapahit, demi bersatunya istana Barat dan Timur. Cinta sejati yang dilukai itu berubah menjadi kemarahan luar biasa. Akhirnya Kembang Manggis berontak melawan kerajaan dan lari ke hutan.
Kisah ini harus banyak intrik untuk memanjakan pembaca. Apa yang terjadi berikutnya, sila ikuti terus-menerus kisah ini mulai 10 Februari dan setiap Rabu berikutnya.
Tim SB