Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
DI mata sebagian negara-negara Timur Tengah, Donald Trump seakan sebagai Malaikat penolong. Ia berjasa menyambung diplomasi UEA, Bahrain, dan mendekatkan Saudi Arabia dengan Israel.
Mesir dan Yordania telah sejak lama menjalin hubungan dengan Israel. Dari semua negara Muslim yang ramai-ramai berbaikan dengan Israel, mayoritasnya adalah negara kerajaan monarchi minus Mesir. Mereka semua adalah negara yang sedang berada di ujung tanduk.
Berkaca dari Arab Spring, mereka masih bertanya-tanya, “What happened after the Arab Spring?” Mereka toh perlu stabilitas luaran.
Pantas sekali Raja Maroko Muhammad VI memberikan penghargaan tertinggi “The Order of Muhammad” kepada Trump. Tak mau kalah, Trump membalas memberikan penghargaan kepada Raja Maroko itu, “Legion of Merit”.
Momentum ini begitu dibanggakan oleh loyalis Trump, seperti Mike Pompeo yang juga Menlu AS. Pompeo sempat berusaha memperjuangkan Trump sebagai penerima hadiah nobel perdamaian.
Untuk misi besar ini, Donald Trump tega menutup mata atas pembunuhan jurnalis senior Saudi, Jamal Kashogi. Wartawan yang disuntik mutilasikimia oleh agen yang ditengarai suruhan putra mahkota Saudi, MBS.
Protes dunia atas tragedi penginjak hak asasi manusia ini, oleh Trump didengarkan dengan sebelah telinga.
Sewazan dengan menantunya Jared Kushner, juga memiliki hubungan dekat layaknya “Akhis-Syaqieq” dengan MBS.
Lebih dari itu, Trump tampak garang dan sangat membenci terhadap Palestina. Bahkan bersikeras mendorong pemindahan Ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, yang secara faktual telah menjadi Ibukota Palestina.
Trump juga memiliki kebijakan yang sangat brutal terhadap Muslim imigran yang semakin menginspirasi barat dalam mengembangkan populisme politik, ekonomi dan sosial budaya.
Tokoh-tokoh kanan yang semula anti-agama seperti PM Hongaria Victor Octav, lalu berubah mendekati agama mayoritas Barat, untuk menolak imigran Muslim. Partai anti Islam Jerman Pegina, tokoh anti Islam Prancis, Le Penn, tak kalah kerasnya terhadap imigran Muslim.
Madu dan Racun
Trump bertambah kebenciannya kepada Palestina, karena dibumbui oleh kehadiran Hisbullah, proxy perang negara Iran terhadap Barat dan Israel.
Apalagi Saudi teman dekat Trump, yang menjadi komandan koalisi penggempur Houthi Yaman, merasa sering dipermalukan Iran, karena misi gempurnya di Yaman jauh dari memuaskan.
Parahnya, baik Saudi maupun Iran memoles permusuhannya dengan warna agama. Perseteruan politik menjadi perseteruan ideologi agama. Keadaannya menjadi seakan Saudi sebagai representasi Muawiyah vs Iran sebagai representasi Ali bin Abi Thalib kw.
Akhir-akhir ini bisa kita baca di situs-situs pembela Saudi, di Indonesia pun banyak yang memuja-muji Muawiyah as dan mendiskreditkan Ali kw secara tidak berimbang.
Trump juga telah meningkatkan politisasi masalah-masalah pertambahan populasi Muslim yang lebih tinggi, dibanding penduduk asli di negara-negara barat, untuk diwaspadai oleh warga asli, sebagai ancaman buat masa depan demokrasi dan ekonomi mereka.
Capaian dan kontribusi Muslim di Barat seperti petinju Muhammad Ali, Mike Tyson, Piet Ellison yang senator dan Wakil Ketua Partai Demokrat di AS, Ahmad Abu Talib yang menjadi Wali Kota Rotterdam (Belanda), Sadik Khan yang menjadi Wali Kota London (Inggris).
Belum lagi ulama yang memperjuangkan pemikiran Wasathiyah di seluruh kawasan Barat. Banyak hal baik yang lain seakan tenggelam ditelan oleh isu-isu kelompok Islam garis keras, yang menambah kebencian kelompok kanan di Barat.
Diplomasi luar negeri AS yang terkenal sejak lama dengan ungkapan “stick and carrot” (tongkat dan wortel), saya haluskan dengan istilah diplomasi madu dan racun.
Saya katakan madu, karena seakan seperti obat alamiah yang diberikan Trump, tetapi sangat tidak mustahil sembari menyuntikkan racun mutilasikimia, agar umat Islam tercabik-cabik.
Marilah kita ber-husnuzzhan kepada setiap negara, senyampang tidak meninggalkan kewaspadaan. Wallaahu A’lam bis-Shawaab!
Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo