JEPARA (SUARABARU.ID)- Perdebatan atas tafsir yang tertulis dalam Babad Tanah Jawi yang menyebut bahwa Ratu Kalinyamat “Mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore” (bertapa dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang diurai) sepertinya tidak pernah usai. Bahkan hal inilah yang menjadi salah satu penghalang Ratu Kalinyamat gagal dipilih sebagai pahlawan nasional dalam pengusulan yang pertama.
Seperti tertulis dalam sejarah, terutama Babad Tanah Jawi, kisah bertapanya Ratu Kalinyamat ke bukit Danaraja di dalam Goa Sonder bermula dari konflik perebutan takhta Demak yang mengakibatkan terbunuhnya Sunan Prawata dan Sultan Hadlirin. Dalam kisah tersebut, Ratu Kalinyamat sangat berduka dan memutuskan untuk menyepi dengan bertapa di Goa Sonder bukit Danaraja dan tidak akan keluar sampai Ratu Kalinyamat mendapatkan keadilan.
Dalam kultur masyarakat Jawa, Jepara pada khususnya, meyakini bahwa “topo wudho” yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat merupakan sebuah simbol atau perlambang yang biasa diungkapkan oleh masyarakat Jawa sebagai olah rasa, bukan diartikan dengan bertapa telanjang. Mengingat Ratu Kalinyamat merupakan seorang tokoh yang sangat dihormati. Bahkan ada yang mengartikan Ratu Kalinyamat bertapa dan menyepi dalam rangka masa iddah. Sebagai seorang muslimah yang ditinggal mati oleh suaminya.
Pertapaan Ratu Kalinayamat yang dilakukan dengan “awewuda wonten ing redi Danaraja. Kang minangka tapih remanipun kaore”, merupakan kiasan yang harus ditafsirkan. Dalam bahasa Jawa perkataan “wuda” tidak berarti lugas “telanjang”, namun juga dapat berarti kiasan “tidak mengenakan barang-barang perhiasan dan pakaian yang bagus-bagus” (Amen Budiman, Suara Merdeka 10 Desember 1973).
Kisah-kisah perlambang atau kinayah juga sering kita jumpai dalam cerita Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga masa mudanya sering disebutkan sebagai orang yang suka mencuri, suka menyamun, suka berjudi, suka adu ayam dan cerita-cerita yang tidak bisa diterima secara nalar. Namun hal ini tidak boleh diterima secara harfiah atau sebenarnya. Jangan mencela jika ada cerita yang tidak cocok dengan pikiran, karena pikiran kitalah yang tidak menjangkau (Amin Budiman, “Penggunaan Metodologi Metafisis Dalam Penelitian Sejarah dan Tarikh Walisanga hlm. 10-11. Kyai Hadisiswaja, “Sunan Kadilangu, Wedharing Kinayah Lelampahipun Sinuhun Kalijaga, 1935, hlm. 8-10).
Dalam kisah Sunan Kalijaga pun seorang Wali besar dan gurunya para raja di tanah Jawa, banyak perlambang atau kinayah yang kita jumpai. Sunan Kalijaga dikisahkan di masa mudanya adalah seorang yang suka berjudi, mencuri dan menyamun. Dalam tafsirnya disebutkan bahwa Sunan Kalijaga sering “mencuri” ilmu dari seorang untuk menambah pengetahuan. Jika ada seorang guru yang memberi wejangan kepada muridnya, Sunan Kalijaga ikut memperhatikan dan “mencuri” pengetahuan.
Sunan Kalijaga dikisahkan suka adu ayam. Sunan Kalijaga telah beradu ayam dengan Sunan Bonang. Ayam jago Sunan Kalijaga bernama “Ghanden” ayam jago Sunan Bonang bernama “Tatah”. Artinya, ketika terjadi perdebatan antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Bonang, pengetahuan Sunan Kalijaga masih kurang tajam dibanding ilmu pengetahuan Sunan Bonang. Ilmu pengetahuan Sunan Kalijaga diibaratkan Gandhen, sedangkan ilmu pengetahuan Sunan Bonang diibaratkan “Tatah”.
Kembali ke topo wudho Ratu Kalinyamat, kiranya memory collective masyarakat Jepara meyakini bahwa Ratu Kalinyamat merupakan seorang yang taat beragama, seorang murid dari Walisanga, bahkan seorang Putri dari Sultan Trenggana Sultan Demak. Hal ini dibuktikan dengan ramainya makam Ratu Kalinyamat untuk diziarahi, untuk mengirim do’a-do’a dan lantunan zdikir. Sangat berlebihan jika topo wudho diartikan secara harfiah, bertapa dengan telanjang.
Hadepe / ua