Oleh: Amir Machmud NS
// dalam sunyi// peperangan takkan berarti// dalam sepi// kompetisi tak punya api// dalam senyap// rindu yang terbukti// makin jauhkah kalian// dari mereka yang memberi warna// (Sajak “La Liga”, 2021)
PERLAHAN-LAHAN, api La Liga memadam. Dan, ketemaraman itu kita rasakan bukan?
Dia menjauh dari status sebagai pusat gravitasi sepak bola dunia. Kompetisi tak berhenti, tetapi peperangan boleh jadi kehilangan sebagian getar makna.
Waktu seperti malas bergulir memasuki musim 2021-2022 nanti. Masih tersisakah momen-momen berkelas dalam keingarbingaran pertemuan antara “dua maharaja” Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, mewarnai bab demi bab kitab kompetisi?
Rasanya, yang tersisa hanya bagian tentang kerinduan.
Hanya Liga Primer yang berdaya saing menandingi Liga Spanyol. Itulah realitasnya. Bundesliga terpaku pada rivalitas Der Klassiker Bayern Muenchen vs Borussia Bortmund. Ligue 1 hanya mengetengahkan pergulatan prestise Paris St Germain vs Olympique Lyon, sedangkan Eredivisie menyajikan dominasi kuat Ajax Amsterdam. Sementara itu, Liga Serie A belum mendekati atmosfer puncak saat Silvio Berlusconi membangun Tim Impian AC Milan pada 1990-an. Dia mengusung konsep wacana sepak bola global yang tanpa sekat.
Sebelum itu, ketika Napoli mengambil Diego Maradona dari Barcelona pada akhir 1980-an, Liga Italia sudah bergerak mengguncang jagat. Napoli berkembang menyimbolisasikan perlawanan Italia Selatan kepada representasi “utara yang kaya” seperti Juventus dan Internazionale Milan. Para pemain bintang datang sebagai laron-laron yang mengerubungi sinar terang di langit azzurri.
Sejatinya, La Liga adalah magnet dengan atraksi-atraksi sirkus, yang dari musim ke musim punya aktor-aktor ikonik.
Ya, bukankah nyatanya parameter kehebohan liga-liga dunia antara lain dilihat dari sebesar apa “keramaian” yang diciptakan karena para pemain top beredar di sana? Dalam industri kompetisi, tren budaya pop menjadi roh mediatika.
Nah, ketika Cristiano Ronaldo pergi, dan Messi berkemungkinan meninggalkan Camp Nou, apa pula yang akan terjadi di langit La Liga?
Tak ada lagi Los Galacticos. Tak berjejak pula tim tiki-taka yang menyuguhkan eksotika skema cara bermain tiada duanya. Dalam fakta rivalitas musim ini, Atletico Madrid dan Real Madrid masih kuat dalam kolektivitas performa, tapi tidak dalam wajah atraktif karena bintang-bintang yang menjadi faktor pembeda.
* * *
PERTANYAAN “Bakal bagaimana Barcelona tanpa La Pulga”, sesungguhnya juga analog dengan kegelisahan: “Sesenyap apa La Liga tanpa ‘sang alien’?”
Belum ada satu pun pemain “pembeda” yang memberi jaminan mampu mendekati peran Messi. Pelatih Ronald Koeman boleh saja merancang skema permainan yang mencoba melepas kebergantungan dari Leo Messi, namun sejauh ini apa yang terbukti?
Nyawa dan jiwa dalam sebuah raga. Itulah gambaran peran Messi di Barcelona selama 15 tahun ini. Dan, ketika peraih enam Ballon d’Or itu dirundung banyak masalah, Barca yang merasakan akibatnya. Dalam skala lebih luas, mengimbas juga ke La Liga.
Premisnya membentuk logika: Messi yang bermain minus kegembiraan saja masih menjadi penentu dalam sejumlah laga, apalagi ketika masih diliputi gairah menyala-nyala sebelum hubungannya dengan klub memburuk.
Andai akhirnya dia meninggalkan La Liga, tak terbayangkan betapa laga demi laga dalam industri kompetisi di Spanyol itu bakal kehilangan sebagian pesonanya. Ada cahaya yang sirna, ada magnet yang menguap lenyap. Dan, sulit ditampik, datanglah senyap.
Secara alamiah, pemain bintang datang silih pergi di sebuah medan kapitalisme kompetisi. Perputaran uang bicara. Namun kaliber bintang berkelas “maha” atau “mega” hanya muncul dalam waktu yang tidak mudah dikalkulasi.
Sampai Real Madrid dan Barcelona mendapatkan Ronaldo dan Messi, banyak talenta hebat yang sebelumnya telah memberi warna, akan tetapi “maqam”-nya berbeda, tak mendekati dua manusia langka itu.
Barca punya sejarah menderetkan nama-nama seperti Johan Cruyff, Ronaldo Luis Nazario, Rivaldo, Zlatan Ibrahimovic, Deco, Samuel Eto’o, Ronaldinho, Xavi Hernandez, hingga Andres Iniesta. Barisan dahsyat yang susul menyusul itu masih sulit dijajari oleh generasi Antoine Griezmann, Ouesmane Dembele, Miralem Pijanic, atau Philippe Coutinho sekarang.
Madrid juga menjadi “kerajaan” bagi para galacticos sekaliber Zinedine Zidane, Ronaldo Nazario, Luis Figo, Pedrag Mijatovic, Raul Gonzales, Mesut Oziel, Robinho, Luka Modric, dan Sergio Ramos. Ketika CR7 pindah ke Juventus, tak ada sang pembeda meskipun masih tersisa Karim Benzema, Casimero, Rodrygo, dan Vinicius Junior. Juga Gareth Bale dan Eden Hazard yang lebih banyak bergulat dengan cedera.
Di Wanda Metropolitano, Atletico Madrid dengan “sepak bola jalanan” arahan Diego Simeone seperti menjadi penyedia dan tempat pembajaan bakat-bakat hebat. Nah, apa kabar Joao Felix, remaja yang disebut-sebut sebagai The Next Ronaldo?
Adalah fakta, betapa tanpa sosok yang betul-betul eksepsional, pamor La Liga akan terpengaruh. Jika Messi benar-benar pergi dengan status bebas transfer, sebesar apa daya tarik yang masih ditawarkan Liga Spanyol?
Dalam usia 33, di antara banyak faktor psikologis terkait hubungan peersolan dan profesionalnya dengan Barcelona, hanya satu yang ada dalam pikiran La Pulga: menemukan kembali kegairahan bersepak bola. Kegairahan pastilah tak lepas dari kegembiraan.
Dalam separuh musim ini, dia belum berhasil membangkitkan kegembiraan bermain. Messi juga butuh kehadiran suasana dikelilingi orang-orang yang mempercayai dan menyayanginya…
Apakah era kemonceran La Liga hanya akan menyisakan ceritera?
Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng