Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Selamat datang tahun 2021, izinkan saya menamaimu ‘Tahun Vaksin’, dan tahun 2020 kemarin sebagai ‘Tahun Corona/Covid-19’. Bukan tanpa alas an kuat menyebutmu Tahun Vaksin, serta merta sebagai tahun penuh kerta-aji.
Maksudnya, tahun 2021 ini, siapa pun, lebih-lebih Pemerintah, harus melakukan perhitungan dan perkiraan. Catatannya, tentu saja perhitungan dan perkiraan ini harus sangat-sangat cermat; dan dalam hal ini Kementerian Kesehatan sudah mengawalinya dengan sangat cermat.
Contohnya, diperkirakan lewat hitung-hitungan cermat, jumlah penduduk yang “harus segera” menerima vaksin ada 180 juta orang. Mereka yang divaksin itu, konon perlu divaksin dua kali; karena itu harus tersedia 360 juta vaksin.
Hitung-hitungannya tidak berhenti di sini, karena mempertimbangkan berbagai aspek baik yang menyangkut ketersediaan vaksinnya, akurasi dan fluktuasi datanya, maupun keafdolan vaksin itu sendiri, berikut factor keberhasilan, kegagalan, dan hambatannya; maka hitung-hitungannya sampai ke jumlah vaksin yang idealnya tersedia ialah 600 juta. Luar biasa!
Semua hitung-hitungan itu harus cepet, lan kabeh butuhke dhuwit serta jaringan kerja sama yang luar biasa. Malahan sudah dihitung juga, kalau nantinya dalam setiap hari (kerja?) vaksin itu bias diterimakan kepada satu juta orang, seluruh penduduk yang “wajib” divaksin baru isa kemput kabeh dalam waktu sekitar tiga setengah tahun, sebutlah sampai pertengahan tahun 2023.
Padahal, tahun-tahun itu (lebih-lebih 2023) suhu perpolitikan Indonesia pasti sudah sangat memanas. Pengalaman selama ini membuktikan betapa suhu perpolitikan sangat-sangat berpengaruh terhadap apa saja, termasuk pencegahan virus pun tidak mustahil kelak dibawa-bawa ke ranah politik. Apa ini artinya? Maknanya ialah, hitung-hitungan “matematis” di atas dapat terpengaruh bahkan berubah.
Kerta-aji
Hitung-hitungan yang dilakukan oleh Kemenkes seperti contoh di atas, menunjukkan bukti betapa, – sekali lagi- , siapa pun seharusnya mempunyai hitung-hitungan atau minimal perkiraan yang cermat dan cepat terhadap apa saja yang terkait dengan kehidupannya.
Duwe dhuwit ya kudu dietung-etung tenan, apa maneh ora duwe. Dan di sinilah seringkali terletak “dunia terbaliknya.” Banyak orang berpikir, apa yang mau dihitung cermat kalau tidak ada/punya uang?
Baca Juga: Maling Raras
Sedang pada sisi lainnya, kebanyakan orang begitu pegang uang, begitu lepas kendali tanpa hitung-hitungan cermat, dan karena itu uangnya cepat habis tanpa ana tanjane.
Terkait dengan keharusan melakukan hitung-hitungan cermat ini, baru-baru ini ada contoh menarik, seseorang menyemprotkan pilox merah kesekian kilogram cabai muda (hijau), lalu menjualnya. Nasibnya apes, konangan lan dadi perkara dan konon ia mengatakan iseng saja agar memeroleh kenaikan harga berhubung harga cabe sedang naik.
Contoh ini membuktikan betapa ada saja orang yang tidak cermat memperhitungkan segala aspek tindakannya. Kalau betul hanya iseng, berarti ketidakcermatan dalam menghitung-hitung itu “kalah” oleh ulah iseng.
Dewasa ini, alangkah banyaknya orang yang melakukan sesuatu hanya semata-mata digerakkan oleh “ulah iseng,” yang terbukti merugikan diri sendiri bahkan pihak lain.
Kerta-aji bermakna hitung-hitungan yang berdasarkan dikira-kira utawa ditaksir, tetapi bukan asal-asalan atau ngawur. Kalau di pegadaian ada juru taksir, apa yang ia kira-kirakan itu pasti ada dasar hitung-hitungannya; sehingga harga taksir sebuah sepeda motor keluaran tahun 2015 misalnya, pasti berbeda dengan harga taksir sepeda motor merek sama yang keluar tahun 2019.
Dengan kata lain, ada dasar ilmiahnya perkiraan semacam itu’ dan hal itu sangat berbeda dari seseorang yang menyemportkan warna merah ke cabe hijau tadi. Ia melakukan ngawur, tanpa dasar ilmiah sedikit pun, oleh apes maneh.
Tahun 2021 memang tahun penuh perhitungan memet, dan syukur pada Allah, Bapak Presiden Joko Widodo adalah sosok yang biasa berpikir memet seperti itu.
Para pembantunya perlu terus mendukung cara dan trik-trik berhitung memet itu; dan alangkah bijaksananya kalau semua pihak di masyarakat juga mendukungnya, minimal memahaminya. Hanya orang-orang yang tidak mampu memahamilah yang sering membuat ulah atau berpendapat asal-asalan.
Di unit terkecil bermasyarakat, sebutlah di rumah tangga, kerta-aji mengajarkan beberapa hal, antara lain: (a) setiap rumah tangga perlu memiliki hitung-hitungan berdasarkan dikira-kira utawa ditaksir karena dalam hidup ini selalu ada ketidakpastian namun ada keharusan (seperti harus makan, harus sehat, dst); (b) oleh karena itu setiap rumah tangga perlu bersikap lentur dalam menjalankan kerta-aji; dan (c) alangkah baiknya setiap rumah tangga melibatkan semua anggota keluarganya untuk melakukan kerja-aji. Jangan hanya ditumpukan kepada bapak atau ibu semata-mata.
Selamat menjalani kehidupan lewat cara kerta-aji di tahun 2021 yang ke depan masih lebih dari 300 hari lagi. Jadikan kerta-aji sebagai salah satu trikata usia saat dalam menjalani tahun vaksin ini berhubung Covid 19 masih belum mau pergi juga.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)