blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

Pernah saya tulis tentang maling arep, untuk melukiskan tabiat orang (bias juga kelompok) yang suka meminjam apapun namun tidak pernah mau mengembalikan. Pinjam uang, ditagih ngolet; nyilih obeng, dijalukbali methentheng; bilang numpang tidur barang semalam saja, eh…berhari-hari tidak kunjung pergi.

Orang bertabiat maling arep seperti itu biasanya ndadra, diwenehi ati, malah ngrogoh rempela; bisa juga ditulung jebul malah mbambung, jaluk ambung. Jadilah nyrobot, misalkan dulu-dulu nembung pinjam tanah barang 20 meter untuk buka usaha adol dhawet, lhakok bertahun-tahun tidak mau pergi bahkan mengaku tanah itu, dan ketika harus terusir, minta ganti rugi. “Lemah embahmu ya?”

Topik hari ini bukan daur ulang atas maling arep itu, melainkan hendak membahas tentang maling raras (juga disebut maling retna), dan kebetulan ada contoh sangat menarik baru-baru ini.

Resepsi sudah siap, undangan telah tersebar komplet, lamaran telah prosedural dilakukan dan konon orang yang dilamar sudah menyatakan kesediaannya; ehh…mak cempulik, jabel janjine, ora sida di saat karpet merah sudah tergelar. Itulah yang disebut maling raras yaitu tabiat (??) nyidra asmara, medhot janji, dalah blenjani kasaguhan.

Apik ora ngono kuwi? Nah.., inilah yang saat ini sedang banyak dibahas orang, masing-masing sesuai kacamata yang sedang dipakainya. Menurut versi “calon pengantin,” di saat-saat terakhir ia baru menyadari abote sesanggan berhubung tugasnya amat berat, maka lebih baik mundur sadurunge jegur, katimbang wis klebus jebul salah urus.

Kira-kira begitulah alasannya nyidra asmara, dan serta merta mendapatkan pembelaan dari mbahne, pakdhene, dan embuh sapa maneh liyane: “Yang dia incar dan inceng kan bakyune,” ada juga yang ketoke rumangsa to the point, berkata: “Kan ora level?”

Alasan nyidra asmara boleh seribu tambah satu, namun dari kacamata kehidupan sosial, wajarlah kalau ada juga yang merepons bertentangan dengan apa yang dikatakan pakdhenya tadi, termasuk apa yang dijadikan alasan sang calon pengantin sendiri.

Di antara respons berkebalikan itu muncul misalnya: (a) “Sajake kok ada luka lama, tergores kembali,” berikutnya, seorang tokoh local namun menasional,  yang puluhan tahun bergelut dengan pendidikan berbasis alam dan kehidupan sehari-hari, mengatakan kepada saya:  (b) “Sindrom gajah, Pak.”

Kalau teman japri-japrian sih komentarnya datar-datar saja, katanya: (c) “Upaya menaikkan harga, Mas;” dan (d) “Wis kareben, deleng wae arep ngapa?”Artinya, respons khalayak memang bermacam-macam, seraya tentu saja ada yang lebih dalam gagapi, pun mungkin grahita, sambil bergumam: “Ohjebul ya mung samono.”

Gampang Ya, Jebule?

Siapa yang malu atau dipermalukan dalam konteks maling raras semacam ini? Jika kita bersikap “ya wis, dipunggel tekan kene wae,” memang lambat laun baik yang malu (kalau ada) maupun yang dipermalukan, akanlah surut bahkan hilang ditelan isu lain.

Akan tetapi, dalam tatanan kehidupan berikut tatanan sopan santun bermasyarakat, – lebih luasnya tatanan berbangsa dan bernegara – , rasanya maling raras seperti ini patut direfleksikan secara mendalam.

Baca Juga: Kempi

Salah satu “pintu masuknya” mungkin lewat penelusuran atas alasan mendasar (motivasi?) terjadinya nyidra asmara itu. Mengapa “cari alasan mendasarnya” saya anggap penting, antara lain agar kita terhindar dari kesan: “Kok gampang temen ya ngurus Negara kuwi? ”Pagi bilang ya, eh siangnya bilang gak jadi ya, dan… Apike ning endi?

Refleksi yang perlu dikembangkan jugahal berikut ini, di satu sisi (sangat kuat sekali nuansanya dan ini bagus) penyelenggara pemerintahan sangat ingin segalanya cepat dan cepat mengurus apa pun karena memang kita ini tidak bias leda-lede lagi.

Dalam akselerasi semacam ini, – di sinilah sisi lainnya – , masih banyak pihak, termasuk mungkin institusi gajah, belum berhasil melakukan “percepatan ke dalam. ”Tegasnya, pemerintah inginnya semua hal mari kita kerjakan secara cepat, sayangnya masih banyak sikap yang tadi disebutkan: “Pagi bilang sanggup/siap, eh.. . siangnya jabel lan gawe mentah.”

Ini semua bermakna, – untuk penyelenggara pemerintahan -, imbauan: “Yen banter aja mlayu-mlayu” sebaliknya bagi instansi atau siapa pun yang masih leda-lede, imbauannya singkat dan bukan imbauan Mbah Surip: “Bangun….bangun dan jangan tidur lagi lho ya.”

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)