SEMARANG (SUARABARU.ID) – Sebanyak 13 sahabat difabel mencurahkan kisah perjuangan hidup mereka sejak lahir hingga mampu mandiri dalam sebuah antologi cerpen berlabel Kidung Harapan Menembus Batas.
Para difabel ini tinggal tersebar di Kota Semarang, Ungaran, Malang, Kota Batu, Bandung, hingga Tangerang. Mereka menyandang berbagai keterbatasan mulai dari tunanetra, autisme, disabilitas intelektual, autism spectrum disorder, sampai penyakit langka Friederich’s Ataxia. Dan di dunia ini penyakit tersebut hanya disandang hanya oleh 7.000 orang.
Antologi cerpen itu diluncurkan berkaitan dengan acara Webinar Ngobrol Santai “Kidung Harapan Menembus Batas” yang digelar di Semarang oleh Yayasan Setara bekerjasama dengan UNICEF yang membahas tentang perlindungan dan peningkatan keterampilan anak selama masa pandemi Covid-19, Kamis (31/12/2020).
Di dalam kisah para difabel itu juga termuat kisah pendampingan orangtua mereka yang sangat luar biasa sehingga mampu menyemangati dan membuat buah hati mereka mandiri dengan keistimewaannya.
Novi Dibyantari dari Sahabat Difabel, sosok yang selalu mendampingi para difabel di Roemah Difabel Semarang menjelaskan bahwa antologi cerpen itu dapat terwujud karena kerjasama banyak pihak.
“Kami dihubungi UNICEF pada Februari 2020 untuk mengisi webinar, dan kami mengambil topik tentang kecakapan hidup. Non-difabel dan difabel harus punya semangat yang sama. Tantangannya memang berbeda, kesulitannya pun berbeda. Oleh karena itu hasilnya juga berbeda,” kata Novi.
Novi menjelaskan, usai kegiatan webinar tersebut, selang tiga bulan terakhir tahun 2020 kemudian ada tantangan untuk membuat sebuah antologi cerpen. Dengan dukungan seluruh pihak akhirnya pengerjaan antologi tersebut bisa selesai.
“Dalam waktu tiga bulan dengan dukungan para penulis, orangtua dari para penulis, Yayasan Setara, dan Jurnalis Sahabat Anak, maka antologi cerpen itu terwujud,” ujarnya.
Antologi Berbagi Kisah
Arie Rukmantara, Kepala Perwakilan UNICEF Jawa – Bali mengatakan jalan literasi bagi anak-anak istimewa menjadi kawah yang bisa dinikmati semua orang.
“Mereka berbagi kisahnya, kesuksesannya, senyumannya dan kelindan rasa yang terus dipegang sampai saat ini. Kita semua percaya, cerita-cerita baik itu harus banyak dibagi. Biar kata-kata dalam bingkai cerita itu menerobos masuk ke dinding-dinding rumah, sekat-sekat penghalang dan pagar-pagar yang terpendam,” tutur Arie.
Salah satu penulis antologi, Yeni Endah, merupakan penyandang penyakit langka yang disebut Friederich’s Ataxis dimana kakinya selalu jinjit dan di dunia ini hanya ada 7.000 orang yang mengalami seperti Yeni.
Akan tetapi bagi Yeni, penderitaan yang ia alami tidak menyurutkan tekadnya untuk berkembang. Gadis yang tinggal di Banyumanik, Kota Semarang ini sejak tahun 2015 telah aktif menulis. Ia mendapatkan pelatihan menulis jurnalistik di Rumah Difabel Semarang. Kemudian berlanjut ke penulisan kreatif.
Meski harus duduk di kurasi roda, dirinya terus berkarya. Hasilnya, hingga tahun 2020 ini dirinya telah menghasilkan 15 buku antologi. Di antaranya 21 cerita anak, 6 cerita remaja, 2 cerita misteri, dan 6 cerita lucu.