blank

Oleh : Drs Hadi Priyanto, MM

blank

Sudah dua minggu Jepara masuk zona merah, yaitu wilayah dengan risiko tinggi penyebaran Covid-19 di Indonesia Sebelumnya 4 bulan lebih  Jepara berada di zona risiko sedang.

Namun sepertinya, tidak ada gerakan yang  tersruktur, masif dan sistematis dari Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Jepara untuk membendung laju penyebaran virus yang semakin mudah menular ini.Nampaknya para pemangku kepentingan telah  kehilangan sense of crisis terhadap pandemi Covid-19.

Padahal jika kita melihat indikator-indikator   kesehatan masyarakat yang terdiri dari    indikator epidemiologi,  surveilans kesehatan masyarakat dan indikator   pelayanan kesehatan  nampaknya Jepara   semakin menunjukkan  angka yang mencemaskan.

Sebab sebagian besar dari  14  parameter penilaian menunjukkan kinerja buruk. Sementara parameter penilaian tersebut digunakan secara nasional dan  internasional mengukur tingkat risiko Covid-19.

Fakta Mencemaskan

Saat ini berdasarkan data yang dirilis oleh Satgas Penanganan Covid-19 setiap hari, sebenarnya nampak terdapat trend  peningkatan kasus terkonfirmasi Covid-19, suspek, dan probable. Jumlah kasus aktif juga prosentasenya semakin tinggi, jika dibandingkan dengan seblum yang lalu.

Bahkan dalam rilis tanggal 30 Desember ini posisi warga yang masih positif sebanyak 24,26  persen,  angka kematian 6,83 persen, dan positif rate 16,26 %. Kapasitas rumah sakit rujukan juga sangat terbatas sehingga semakin sering menolak warga masyarakat, kendati dalam kondisi kritis. Akibatnya semakin banyak orang bergelaja  yang meninggal dirumah.

Kondisi lain yang membuat kita miris adalah semakin banyak tenaga kesehatan yang terpapar. Kasus terakhir adalah adanya 5 orang staf laboratorium RSUD RA Kartini yang terkonfirmasi Covid. Juga 4  nakes di Puskesmas  Kembang. Jumlah seluruh nakes yang terpapar menurut Jubir Satgas  sekitar 200 orang.

Lambatnya pemeriksaan laboratorium PCR juga mengakibatkan banyak pasien probable dan suspek yang meninggal  hingga terjadi beberapa  kasus  penolakan pemakaman dengan standar Covid-19. Klaster keluarga juga terus naik secara signifikan. Sebab  tidak adanya tempat karantina terpusat membuat  banyak warga terkonfirmasi Covid-19 “dipaksa” untuk melakukan isolasi mandiri dirumah.

Ironisnya rumah mereka   tidak memenuhi syarat sebagai tempat isolasi.  Belum lagi kecilnya bantuan logistik,  yang  hanya senilai Rp. 109 ribu. Juga minimnya bantuan obat-obatan dan vitamin, menjadi pemicu orang keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kapatuhan masyarakat terhadap 3 M juga sangat rendah. Banyak kegiatan masyarakat yang kemudian mengabaikan protokol kesehatan. Peran tokoh masyarakat dan bahkan tokoh agama juga lemah. Sebab selama ini mereka tidak ditempatkan sebagai subyek dari gerakan perlawanan terhadap pandemi, tetapi  hanya diposisikan sebagai obyek

Peran satgas dan efektivitas Perbub Pembatasan Kegiatan Masuarakat juga dirasa kurang kurang maksimal, utamanya dalam kegiatan orang punya hajat dan kegiatan keagamaan.  Penegakan disiplin  yang diharapkan menjadi instrumen untuk memastikan keselamatan semua warga masyarakat juga masih jauh panggang dari api.

Empat  Tips

Dari paparan kondisi diatas ada empat  tips yang menurut penulis berharga, agar Jepara bisa keluar dari zona merah dan mampu mengendalikan penyebaran Covid-19.

Pertama; tumbuhkan sense of crisis  semua pemangku kepentingan dalam menghadapi wabah ini. Juga satgas disemua tingkatan termasuk aparat negara  yang ada di daerah. Sense of crisis  ini bukan  hanya kepekaan apalagi pencitraan,  tetapi juga kewaspadaan dan langkah  yang direncanakan dengan  baik dan benar atas kajian yang dilakukan dengan  data yang benar.  Sense of crisis  juga mensyaratkan kerja yang cepat, tidak bertele-tele,  terkoordinasi, sinergis dan dilakukan diatas prinsip-prinsip kemanusiaan.

Kedua, memperkuat budaya  3 M (memakai masker, mencuci tangan, dan  menghindari kerumumanan) adalah cara yang paling efektif untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sebagai sebuah budaya baru,  mustahil jika hanya dilakukan dengan himbauan, tetapi juga harus menggunakan instrumen hukum atau peraturan untuk membangun budaya itu. Tujuannya tentu untuk menyelamatkan rakyat ( Salus populi suprema lex esto ) .

Semua aparat  yang ada didaerah harusnya menggunakan ini sebagai pedoman. Karena  instrumen hukum juga seharusnya bisa digunakan untuk menangkal beredarnya hoax, termasuk provokator yang mempengaruhi warga masyarakat untuk tidak taat pada  kebijakan pemerintah. Pelibatan tokoh masyarakat dilapis terbawah, elemen  komunikasi,  bantuan masker dari CSR perusahaan. Juga   keteladan dari para pemimpin dan tokoh agama dan tokoh masyarakat  disemua tingkatan juga sangat penting. Hal penting lain adalah konsistensi terhadap keputusan yang telah diambil bersama.

Ketiga,  penguatan 3 T (testing, trecing dan treatment ) adalah cara untuk memutus mata rantai penyebaran wabah ini. Karena itu bukan saja  diperlukan sinergitas antar unsur yang ada di daerah dan wilyah hinga desa. Peningkatan sarana di fasiltas kesehatan juga diperlukan, baik di puskesmas maupun rumah sakit, khususnya untuk perawatan pasien Covd-19. Kecepatan laboratorium dalam melakukan pemeriksaan   juga sangat penting.

Keempat, pembagian tugas yang jelas dan terstruktur. Virus Corona telah menjadi pandemi global dan ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai bencana nasional. Karena itu berdasarkan Paraturan Presiden No. 82 tahun 2020  dibentuk Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Tujuannya   untuk mengambil kebijakan strategis  yang diperlukan dalam rangka  percepatan penganan Covid-19 agar lebih sinergis, koordinatif,  efektif, efisien  dan tepat sasaran. Karena itu harus ada pembagian tugas yang jelas dan terstruktur, termasuk kejelasan sumber dan besaran pembiayaan.

Semoga bermanfaat

Penulis adalah Wartawan SUARABARU.ID di  Jepara