blank
Salah seorang Kiai ketika tengah memberikan mau'idzah hasanah. Foto : SB/Muharno Zarka

Oleh Idham Cholid

Salah satu prinsip dalam metode dakwah sangat jelas, yaitu _mau’idhah hasanah_ (Qs.15:125). Bisa diartikan Sebagai tutur kata atau ceramah yang baik.

Jadi, sekadar *ceramah* saja belum merupakan dakwah, karena ceramahnya itu sendiri haruslah dengan cara yang baik, juga mengandung nilai-nilai kebaikan tentunya.

Disini bukan tentang bagaimana _mau’idhah hasanah_ yang akan dijelaskan, tapi sejak kapan sebenarnya istilah itu populer digunakan untuk menyebut ceramah-ceramah keagamaan?

Menurut Cak Nun, istilah _mau’idhah hasanah_ populer sejak tahun 1990-an. Sebelum-sebelum itu, di kampung saya sendiri misalnya, istilah _ular-ular_ atau _pamedhal sabdo_ lebih sering digunakan, karena lebih _njawani_.

Jika benar apa yang disampaikan Cak Nun itu, saya justru menjadi saksi.

Ceritanya, pada 1994 PMII Jombang bekerjasama dengan IPNU menggelar acara Refleksi Kemerdekaan.

Terbilang acara ini spektakuler karena dihadiri tokoh-tokoh asli Jombang. Ada Gus Dur, Cak Nur (cendekiawan muslim Nurcholis Madjid), Cak Nun (Kiai Mbeling Emha Ainun Najib), dan bahkan Megawati Soekarnoputri yang saat itu belum lama terpilih sebagai Ketua Umum PDI (belum *Perjuangan*, tapi masih “gepeng”) juga hadir.

blank
Ketua Umum Jayanusa, Idham Cholid. Foto : SB/dok

Disitulah masalahnya!
Gus Dur dan Mbak Mega tidak boleh dalam satu acara bersamaan. Mungkin yang jadi pertimbangan, bisa “merusak” stabilitas atau bikin gaduh keadaan. Tau sendiri, bagaimana repressifnya Orde Baru saat itu.

Skenario yang dijalankan, Mbak Mega dibuatkan acara khusus oleh Kakansospol, yaitu pertemuan internal dengan Pengurus dan Kader PDI Jombang. Acara Refleksi Kemerdekaan secara formal juga tak diijinkan.

Beruntung saat itu Ketua IPNU Jombang KH. Fathullah, biasa dipanggil Gus Fu’, adalah putra pengasuh Pesantren Tambakberas. Jadi meskipun tanpa ijin, dia punya “keberanian” untuk tetap melaksanakan acara di pesantrennya.

Benar saja. Saat acara berlangsung sekitar 20 personel Polisi dan Tentara datang tak diundang. Tampak mereka melakukan pembicaraan dengan Gus Fu’ dkk.

Sambutan Dihentikan

Saya yang saat itu tengah menyampaikan sambutan sebagai Ketua Panitia sempat dibisiki: _”acara tidak boleh dilanjutkan!”_

Saya hentikan pidato sambutan dengan penuh kekecewaan dan tangis yang tak tertahankan. Saya merasa malu terutama dengan Gus Dur.

Beliau sudah hadir sehari sebelum acara, bahkan bersama Mbak Mega juga sempatkan ziarah ke maqam _Hadlratus-Syaikh_ KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim di Tebuireng.

Segera kami temui aparat. Saya sampaikan, kalau mau menghentikan acara ini kita harus _matur_ Gus Dur dulu.

Akhirnya, panitia dan beberapa personel polisi menghadap Gus Dur yang saat itu _lenggahan_ (transit) di kediaman KH. Amanullah, tak jauh dari aula Pesantren Tambakberas.

Disitu ada pula Cak Nur, Moeslim Abdurrahman, Ghaffar Rahman, Cak Nun, dan tak lama kemudian Mbak Mega juga datang.

_”Pak Dur, nyuwun pangapunten, acara tidak boleh dilanjutkan karena gak ada ijin dari Kepolisian.”_ Demikian saya menyampaikan.

Malu, kecewa, dan bercampur marah tentunya. Suasana pun diliputi ketegangan. Tegang, bukan hanya karena banyaknya aparat yang berjaga, tapi ratusan massa yang hadir juga sudah siap siaga.

Bagaimana respons Gus Dur?

Seperti biasa, beliau tetap tenang, _cuek,_ seakan tak terjadi apa-apa.

_”Ya kalau Refleksi Kemerdekaan gak boleh, ganti saja dengan mau’idhah hasanah_, jawab Gus Dur santai.

Acara pun berlangsung sampai selesai. Tak hanya Gus Dur. Cak Nur, Moeslim Abdurrahman dan Mbak Mega juga menyampaikan _mau’idhah hasanah_.

Disitulah saya belajar langsung. Jangan mudah menyerah, harus banyak akal, tapi tetap jenaka. Itulah Gus Dur. _Lahul-Faatihah!_

Kalisuren, 13 Desember 2020

Penulis Idham Cholid, Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (Jayanusa)