blank
Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu, Wawan Djunaedi, berfoto bersama dengan umat di Kelenteng Kwan Sing Bio, Tuban. (dok)

TUBAN (SUARABARU.ID) – Tempat Ibadah Tri Darma (TITD/Kelenteng) Kwan Sing Bio Tuban, Jatim, merupakan tempat ibadah bersama bagi umat Khonghucu, Buddha dan Tao. Keberadaan kelenteng terbesar di Asia Tenggara itu juga sebagai simbol kerukunan antarumat beragama yang harus tetap dijaga.

Wawan Djunaedi, kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu Sekretariat Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia, mengemukakan hal itu saat melakukan pembinaan di TITD Kwan Sing Bio, Sabtu, (14/11). Kegiatan itu menerapkan protokol kesehatan secara ketat dengan menjaga jarak, memakai masker, dan cuci tangan sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19.

Pada kesempatan itu, Wawan juga menghadiri sembahyang perdana di ruangan lithang konfusiani. Di hadapan puluhan umat, dia menegaskan keberadaan TITD adalah simbol yang harus mengedepankan kerukunan umat beragama. Sebab, TITD merupakan singkatan Tempat Ibadah Tri Darma (tiga agama).

”Orang bisa masuk ke TITD berarti secara keimanan bisa menerima keberagaman,” jelasnya. Pihaknya datang ke kelenteng berlogo kepiting itu dalam rangka memberikan pelayanan keagamaan dan memastikan semua umat bisa beribadah dengan nyaman.

Terkait dinamika yang terjadi di kelenteng selama ini, Wawan mempersilakan untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Sebab, keberadaan kementerian adalah fokus pada pelayanan agama.

Wawan berpesan agar konflik kepengurusan di Kelenteng Kwan Sing Bio bisa segera dituntaskan dan ada titik kesepahaman supaya umat atau masyarakat dapat beribadah secara nyaman.

Menurut dia, konflik ini sebaiknya diselesaikan secara musyawarah atau jalur mediasi. Dicarikan jalan terbaik dengan muaranya win-win solution. Utamakan yang menang adalah umat.

Sepakat Jalur Mediasi

Kedatangan Wawan dan rombongan disambut baik oleh pengurus dalam hal ini Alim Sugiantoro sebagai ketua penilik demisioner Kwan Sing Bio. ”Kami sangat berterima kasih kepada Pak Wawan, karena antusias sekali untuk membimbing agama Khonghucu agar bisa bersatu dan menghormati agama lain,” ungkap Alim.

Mengenai dinamika yang terjadi di kelenteng, Alim sepakat untuk menyelesaikannya melalui jalur mediasi. Hal itu dibuktikan dengan pembukaan gerbang pintu kelenteng yang digembok sejak 28 Juli 2020 lewat jalur mediasi dengan melibatkan tiga tokoh asal Jatim.

Tiga tokoh itu adalah Alim Markus (bos Maspion), Soedomo Mergonoto (bos Kopi Kapal Api), dan pengusaha Paulus Welly Affandi (Wefan). Setelah kelenteng dibuka lagi pada 25 Oktober lalu, umat bisa menjalankan ibadah seperti biasa hingga saat ini.

Alim menambahkan jika masih ada pihak yang mempersoalkan,  itu hanya segelintir umat, bukan suara mayoritas umat. Sebab, semua telah sepakat persoalan dituntaskan melalui jalur mediasi demi kerukunan umat beragama.

Sementara itu, Keluarga Besar Generasi Muda Khonghucu (Gemaku) Indonesia mendesak Menteri Agama Fachrul Razi untuk mencopot Dirjen Bimas Buddha, Caliadi. Pasalnya, pejabat eselon satu itu biang kisruh Kelenteng Kwan Sing Bio.

Caliadi pernah menyebut kelenteng bukan tempat ibadah umat khonghucu. ”Sejak kapan kelenteng bukan tempat ibadah Khonghucu, ini kan aneh. Saya rasa Dirjen Bimas Buddha tak memahami persoalan ini,” tutur Ketua Gemaku Bidang Advokasi, Irwan Lim.

”Dirjen Bimas Buddha seenaknya mengeluarkan Surat Keputusan Tanda Daftar Rumah Ibadah Kelenteng Kwan Sing Bio menjadi rumah ibadah umat Buddha. Ini yang akhirnya menjadi gugatan hukum,” paparnya.

rr