Oleh : Hendra J Kede
Rabu, 16 September 2020, melakukan rapid-test, hasilnya langsung keluar dalam 15 menit, Non Reaktif (NR)
Kamis, 17 September 2020, melakukan tes swab PCR sebagai prosedur untuk menghadiri rapat bersama Presiden di Istana Bogor, hasilnya positif Corona.
Itu yang dialami Bapak Arif Budiman, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia. Semoga beliau segera sembuh, amiin
Beliau memilih menjalankan tanggung jawab sebagai pejabat negara untuk melindungi rakyat Indonesia dari potensi tertular virus Corona dengan mengumumkan dirinya positif terpapar virus Corona.
Pilihan yang patut diapresiasi dan dicontoh oleh pejabat negara lainnya. Penulis secara khusus menyampaikan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada beliau atas pilihan beliau tersebut.
Melalui media masa, beliau menyampaikan tidak ada sedikitpun menunjukan gejala sudah tertular virus Corona. Tidak batuk, tidak flu, tidak demam, tidak suhu tinggi, tidak pusing, tidak hilang penciuman, dan tidak hilang indra perasa.
Sehingga nampaknya tidak ada alasan lain bagi beliau untuk melakukan tes swab PCR hari Kamis tersebut selain alasan untuk memenuhi protokol kesehatan Istana Kepresidenan karena beliau akan rapat dengan Presiden.
Semisal beliau tidak ada agenda rencana satu ruangan dengan Presiden, dan tentunya tidak akan melakukan test swab PCR setelah sehari sebelumnya dinyatakan Non Reaktif berdasarkan rapid-test, bagaimana dampak penularan virus Corona, misalnya, di pesawat yang dinaiki beliau?
Beliau sangat aktif turun ke daerah terkait Pilkada. Dan tentu beliau naik pesawat menuju daerah tersebut. Sementara syarat naik pesawat cukup hasil Non Reaktif rapid-test, bukan negatif hasil tes Swab PCR.
Apakah beliau salah, tentu saja tidak salah sama sekali. Kan yang menetapkan prosedur dan persyaratan naik pesawat itu maskapainya dan beliau sudah mematuhinya dengan sangat baik tentunya. Kemenhub dan maskapainyalah yang bertanggung jawab karena yang menetapkan hanya hasil Non Reaktif rapid-test sebagai syarat boleh tidaknya naik pesawat adalah Kemenhub dan dilaksanakan oleh maskapai.
***
Penulis benar-benar tidak dapat memehami kebijakan yang diambil Kementerian Perhubungan, khususnya Ditjen Perhubungan Udara, yang mengijinkan seseorang terbang dengan pesawat komersil hanya dengan syarat hasil Non Reaktif rapid-test.
Harusnya Kemenhub mengetahui, dan wajib mengetahui, bahwa hasil rapid-test tidak menunjukan kondisi real time. Kalau hasil Non Reaktif rapit-test itu bukan merupakan petunjuk seseorang bebas virus Corona secara real time, apalagi sampai dimaknai bebas virus Corona saat rapid-test itu dilaksanakan.
Harusnya Kemenhub mengetahui, dan wajib mengetahui, bahwa rapid-test itu hanya untuk mendeteksi ada tidaknya antibody yang muncul dalam diri seorang calon penumpang karena tubuhnya kemasukan virus, virus apa saja, tidak hanya virus Corona. Dan antibody itu baru bisa terdeteksi oleh rapid-test setelah 7 (tujuh) seseorang kemasukan virus apa saja tersebut.
Itulah sebanya kenapa setelah seseorang dinyatakan Reaktif hasil rapid-test harus dilanjutkan dengan test Swap PCR untuk mendeteksi apakah antobody yang terdeteksi itu antibody karena kemasukan virus Corona atau virus lain.
Harusnya Kemenhub mengetahui, dan wajib mengetahui, bahwa seorang penumpang pesawat yang hasil rapid-tesnya Non Reaktif masih ada kemungkinan berpotensi terpapar virus Corona dalam kurun waktu 5 (lima) hari terakhir namun belum terdeteksi antibodynya oleh rapid-test. Sehingga tetap berpeluang sebagai pembawa dan penyebar virus Cotona selama penerbangan karena 5 (lima) hari masuk dalam masa inkubasi virus Corona.
Pertanyaannya kemudian tentulah, kalau begitu apa gunanya kebijakan rapid-test beberapa jam sebelum seseorang naik pesawat komersil tersebut? Bukankah naik pesawat itu real time, sementara rapid-test bukan menghasilkan hasil real time, bahkan bukan untuk mendeteksi khusus virus Corona?
Bukankah takutnya pilihan rapid-test ini malah bisa menjadi awal malapetaka, awal mula malapetaka pesawat menjadi klaster penyebaran virus Corona dikemudian hari?
Malapetaka yang muncul karena anggapan salah bahwa hasil Non Reaktif rapid-test berarti seseorang bebas virus Corona sehinga boleh terbang dengan pesawat komersil, karena Non Reaktif berarti seseorang tidak akan menularkan virus Corona dalam penerbangan komersil?
Malapetaka yang muncul karena kebijakan yang benar bahwa seorang yang akan terbang dengan pesawat komersil harus bebas virus Corona, namun salah dalam memilih dan menerapkan instrumen test untuk mendeteksi seseorang bebas atau terinfeksi virus Corona?
Malapetaka yang muncul karena harusnya menerapkan swab, test PCR, namun menerapkan rapid-test kepada calon penumpang beberapa jam sebelum terbang?
Malapetaka yang muncul karena terbang itu real time namun kebijakan tentang test bebas virus Corona yang dipilih adalah Qdengan rapid-test yaitu alat test yang bukan menunjukan kondisi bebas virus Corona real time calon penumpang?
***
Pasal 28F UUD NRI 1945 dan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik beserta aturan turunannya mewajibkan kepada seluruh Badan Publik dan pejabatnya, termasuk Kemenhub umumnya dan Dirjen Perhubungan Udara khususnya, untuk memastikan informasi tentang rapid-test ini sampai dan dipahami dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat pengguna transportasi udara.
Kemenhub punya kewajiban hukum untuk memastikan seluruh penumpang pesawat dilindungi secara maksimal dari kemungkinan tertular virus Corona, baik dari penumpang lain, maupun dari awak pesawat.
Hak Azazi dan Hak Konstitusional masyarakat yang terbang dengan pesawat komersiil untuk mendapatkan informasi yang benar bahwa seluruh penumpang sudah menjalani prosedur untuk memastikan tidak ada penumpang yang membawa virus Corona dalam penerbangan. Dan prosedur yang dijalani adalah prosedur untuk mendeteksi kondisi ketertularan real time sebelum terbang (hasil tes Swab PCR), bukan petunjuk kemungkinan kondisi beberapa hari yang lalu (hasil rapid-test)
Bagi pejabat Kemenhub dan pejabat terkait lainnya yang salah dalam mengambil keputusan atau setidak-tidaknya lalai tentang pilihan instrumen test bebas virus Corona bagi calon penumpang pesawat komersil, sehingga dengan keputusannya tersebut mengakibatkan masyarakat mendapatkan informasi yang salah, sehingga berpotensi terpapar virus Corona, dapat diproses pidana sesuai UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Infornasi Publik karena tidak memberikan informasi yang benar atau setidak-tidaknya lalai sehingga informasinya tersebut disalah pahami calon penumpang dan penumpang penerbangan komersiil.
***
Penulis menghimbau kepada Kemenhub untuk menghentikan prosedur rapid-test bagi calon penumpang pesawat komersill karena yang dibutuhkan adalah kepastian bahwa seluruh penumpang pesawat komersiil bebas virus Corona secara real time saat penerbangan. Dan rapid-test bukanlah instrumen test yang benar untuk itu. Sehingga kalau rapid-test tetap dilaksanakan berpotensi menghasilkan informasi yang menyesatkan bagi penumpang dan sekaligus membahayakan kesehatan penumpang, dan berpeluang menjadi klaster penyebaran baru virus Corona.
Semoga pesawat tidak menjadi klaster baru penyebaran virus Corona karena semua penumpang adalah orang yang bebas virus Corona berdasarkan hasil tes real time sehingga keselamatan seluruh penumpang terjamin, amiin.