blank
Th.Dewi Setyorini

Oleh : Th. Dewi Setyorini (Psikolog)

 PANDEMI Covid-19 ini telah mengubah banyak tatanan kehidupan. Kenyamanan kita diobrak-abrik tanpa ampun seakan tak peduli begitu banyak kesenangan dan kebiasaan membahagiakan yang selama ini sudah kita rasakan.

Hidup dipaksa kembali pada titik nol yang membuat kita seakan harus menemukan kembali pola hidup baru yang mungkin dalam beberapa hal berbeda. Tanpa kita mau, kita harus tunduk dan sesaat mengerem percepatan atau bahkan akselerasi yang sudah mulai kita tancapkan.

Musuh ini tak kasat mata, ia begitu kuat, perlahan menyusup, mencari titik lemah kita dan akhirnya menusuk begitu dahsyat. Bagi mereka yang memiliki daya tahan yang baik, mungkin hanya sekedar panas dingin dan sesekali batuk; namun bagi mereka yang tak tahan, berusia lanjut, dn memiliki kormobitas, musuh ini bisa sangat mematikan.

Dalam hal ini sulit mencari solusi untuk mengatasi kedahsyatannya. Ia menggerakkan kehidupan dalam batas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Seluruh dunia bergerak cepat, mengenali, memetakan, menguji, dan mencoba dengan berbagai macam cara untuk menaklukkannya. Sementara belum ada jurus jitu untuk memastikan jika ia sudah tunduk pada hukum alam bahwa manusia makhluk sempurna yang dengan akal budinya akan membuatnya kalah.

Titik Nol

Hingga tulisan ini saya buat, di dunia, jumlah korban akibat virus ini(data per tanggal 18 September 2020) : kasus 30,1 juta, sembuh 20,4 juta, dan meninggal sejumlah 944 ribu.; di Indonesia sendiri khususnya jumlah kasus 233 ribu, sembuh 167 ribu, meninggal 9222.

Data ini membuka dengan jelas betapa dahsyat akibat yang ditimbulkan oleh virus ini. Berbagai ikhtiar dilakukan namun hasil belum menggembirakan sebagaimana yang diharapkan.

Tak hanya Indonesia, seluruh negara sedang berjuang untuk menemukan formula yang paling efektif guna menekan penyebarannya dan jika perlu menghilangkannya. Sayangnya, justru kita harus menerima kenyataan, bahwa bisa jadi untuk selamanya kita akan berteman dengan virus ini.

Sejak pandemi ini menerjang, ada banyak perubahan yang terjadi. Perubahan tersebut di luar bayangan kita selama ini. Saat hampir semua negara menerapkan kebijakan pembatasan, baik lockdown maupun PSBB di Indonesia, kita saksikan betapa dunia sesaat tertidur. Langit Jakarta menjadi cerah, udara menjadi lebih segar, dan hiruk pikuk sesaat tertenti. Setiap orang menahan diri dalam berbagai aktivitas. Dipaksa oleh keadaan untuk kembali ke rumah, berkumpul dengan keluarga, melakukan berbagai aktiitas di rumah. Tanpa kita mau, kita dihadapkan pada situasi dimana kita harus kembali pada diri sendiri.

Kita hanya dapat menunggu, memantau, dan berharap bahwa situasi akan kembali normal. Hingga kebijakan tersebut dilonggarkan, tak berkurang dampak yang diakibatkan.

Akibat pembatasan tersebut tentu aktivitas ekonomi terhenti. Perputaran uang menjadi sangat terbatas, hingga tak sedikit perusahaan yang gulung tikar atau melakukan PHK.

Dampak apa yang terjadi, pengangguran bertambah dan setiap orang dipaksa untuk survive dengan caranya sendiri jika tak ingin dilibas. Sejalan dengan hal itu, roda ekonomi di tingkat bawah mulai menggeliat.

Kita dapat saksikan, sepanjang jalan sejak di perumahan hingga ke jalan utama, banyak pedagang kecil bermunculkan dengan aneka produk yang ditawarkan. Mereka yang terkena PHK berupaya kembali untuk bangkit demi mempertahankan periuknya agar tetap mengepul.

Itu semua hanya sebagian kecil dari apa yan terjadi. Saat itu kita berada di titik nol. Titik dimana kita mulai lagi mengawalinya dari awal. Hal ini menyadarkan bahwa dalam semua perencanaan yang sudah begitu matang kita susun, saat semua ekspektasi indah kita hadirkan, saat itu kita disadarkan bahwa tak selamanya yang kita inginkan dapat kita capai.

Situasi membuat kita sesaat untuk mundur, menyurutkan langkah, dan menahan diri. Gerak laju kehidupan untuk sesaat harus direm. Strategi dievaluasi bahkan jika perlu diubah. Semua itu demi eksekusi yang nantinya akan kita lakukan begitu kehidupan kembali memberikan kesempatan. Keadaan membuat kita kembali dari awal atau dari titik nol.

Harapan Baru

Setahap demi setahap dinamika hidup mulai berdenyut. Sejak kabar virus ditemukan, diuji, dan dikembangkan, saat itu pula kita memiliki harapan untuk kembali melaju.

Dalam hitungan waktu kehidupan ini akan kembali sebagaimana di awal dengan bentuk dan pola yang lebih baru. Setiap orang akan berupaya menjaga diri agar tak lagi terjebak dalam pola kehidupan lama yang tak lagi sesuai dengan situasi yang saat ini terjadi.

Baca Juga: Di Tengah Pandemi, Jangan Lupa Bahagia

Orang disadarkan bahwa yang memiliki ketangguhan baik fisik, psikologis, dan mentallah yang akan bertahan. Oleh karena itu,  kesehatan menjadi priroitas, kebahagiaan menjadi penting, karena dalam jiwa yang bahagia, imunitas tubuh menjadi lebih baik. Orang kembali ke alam, destinasi yang menawarkan keindahan alam akan dieksplorasi dan bersamanya kehidupan yang lain akan kembali bergerak.

Saat ini, kita perlu menyiapkan diri, mengatur strategi, membangun sinergi, dengan tetap menjaga kehati-hatian diri mengikuti protokol kesehatan yang ada. Kesemua itu perlu disiplin diri, empati sosial, dengan menumbuhkan harapan baru.

Jika kita ingin kehidupan kembali berputar, maka kita pun dituntut untuk mematuhi aturan yang ada. Bagaimana pun, harapan baru akan selalu ada. Cepat atau lambatnya terrealisasi, tergantung kemauan kita untuk mematuhi peraturan yang ada.

Menjaga diri dan menjaga orang lain, akan membantu kita untuk segera melangkah dari titik nol dan mulai memasuki tahap satu atau pertama untuk mengganjur kehidupan yang lebih baik. Semoga semua dimudahkan hingga hitungan segera bergulir mengikuti urutan hitungan angka ke arah maju. Semoga.

(Th. Dewi Setyorini, Psikolog Founder of Rumah Pemberdayaan, Tembalang)