Djati Walujastono

Oleh: Djati Walujastono

Sehubungan dengan permohonan  uji materiil/judicial review oleh Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora (AMSB) dan kawan-kawan terhadap Pasal 19 ayat (2) huruf b dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah di Mahkamah Konstitusi, kami atas nama pribadi dan lembaga Dewan Riset Daerah Kabupaten Blora sangat bersimpati dan mengapresiasi tindakan tersebut.

Setidak-tidaknya upaya tersebut merupakan ungkapan rasa ketidakadilan atas  kondisi daerah yang secara historis dan potensi merupakan daerah migas, namun secara riil belum mendapatkan kesejahteraan yang adil dan selaras.

Terlepas dari rasa keadilan atas kondisi daerah, kami mencoba memberikan beberapa catatan analisis kritis atas uji materiil tersebut, yang menggunakan sudut pandang akademik berdasarkan literasi putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu dan komparasi beberapa regulasi yang memiliki korelasi dengan UU No. 33 Tahun 2004. Dengan demikian kami berharap analisis ini semakin menambah wawasan kita dan sangat terbuka untuk digunakan sebagai bahan diskusi bersama.

Adapun beberapa catatan analisis kritis kami adalah sebagai berikut :

  1. Tentang Legal Standing Pemohon Uji Materiil Dan Hak dan/atau Kewenangan Konstitusionalnya Dirugikan

Menurut Pasal 51 ayat 1 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

  1. Perorangan warga negara Indonesia;
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yangdiatur dalam undang-undang;
  • Badan hukum publik atau privat; atau
  1. Lembaga negara.

Jika diperhatikan Surat Permohonan yang telah diperbaiki dan diterima oleh Mahkamah Kosntitusi tanggal 24 Agustus 2020, maka yang mengajukan uji materiil dalam hal ini adalah: Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora (AMSB), Sujad, Dr. Umar Ma’ruf SH CN M.hum, Jalal Umaruddin ST, Susanto Rahardjo, Febrian Candra Widya Atmaja, Exi Agus Wijaya, Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegak Hukum Indonesia (LP3HI).

Dengan demikian Pemohon 1 sampai dengan Pemohon 9 dapat dikategorikan sebagai kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama memiliki hak konstitusional yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Sebagian fasilitas migas yang dikelola ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), operator Blok Cepu di kompleks Lapangan Banyu Urip. (Foto : SB/Wahono)

Kerugian

Mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 syarat, yaitu :

  1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
  1. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
  2. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
  3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
  4. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Jika diperhatikan Surat Permohonan yang telah diperbaiki dan diterima oleh Mahkamah Kosntitusi tanggal 24 Agustus 2020, maka Pemohon 1 sampai dengan Pemohon 9 merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b serta Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 33/2004, yaitu :

Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b :

  • Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
  1. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan
  • Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f angka 2 sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
  1. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kotapenghasil; dan

Dana Bagi Hasil

Pasal 20 ayat (2) huruf b :

  • Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi masing-masing dengan rincian sebagai berikut:
  1. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/ kota penghasil;

Pemohon menganggap frasa “kabupaten/kota penghasil” dalam pasal tersebut diatas memiliki kelemahan pada adanya kabupaten/kota dalam satu wilayah kerja yang tidak mendapatkan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH). Adapun kerugiaan konstitusional yang klaim oleh pemohon adalah :

  1. Dana Bagi Hasil khusus blok Cepu yang diperoleh Kabupaten Blora adalah 0;
  2. Hilangnya hak-hak dasar masyarakat;
  3. Tidak mendapatkan kompensasi terhadap eksploitasi sumber daya migas;
  4. Masyarakat Blora tidak dapat menikmati kekayaan alam daerahnya sendiri;
  5. Pemohon II selaku agen properti merasa bisnis properti di Blora menjadi stagnan;

Terkait dengan legal standing dan kerugian konstitusional para pemohon, catatan kami adalah pemohon agar sedetail mungkin harus mampu menguraikan kerugian riil secara aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar, sebab tidak dipenuhinya syarat legal standing dan kerugian konstitusional berakibat permohonan tidak dapat diterima.

Banyu Urip (BU Project) yang kini memproduksi crude oil (minyak mentah) diatas 220.000 BOPD (barel perhari). (Foto : Foto : SB/Ist)

Materi Permohonan

  1. Tentang Materi Permohonan Judicial Review

Bahwa catatan kritis kami lainya terkait Dana Bagi Hasil Migas di Blok Cepu adalah :Apakah benar Pasal 19 ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf b dan Pasal 20 ayat (2) huruf b dalam UU No. 33 Tahun 2004 mengatur pembagian DBH Migas berdasarkan mulut sumur (vide halaman 21 angka 22 Surat Perbaikan Permohonan);

Kami berpendapat bahwa argumentasi pemohon yang menyatakan Pasal 19 ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf b dan Pasal 20 ayat (2) huruf b dalam UU No. 33 Tahun 2004 mengatur pembagian DBH Migas berdasarkan mulut sumur adalah tidak kuat, karena:

  1. Pasal 19 dan Pasal 20 UU No. 33 Tahun 2004 tidak terdapat frasa “mulut sumur” baik secara tersurat maupun tersurat, melainkan terdapat frasa “daerah penghasil”;
  2. Semestinya jika yang dipermasalahkan adalah ketika wilayah kerta pertambangan itu lebih dari satu daerah, maka yang patut dan layak untuk diuji adalah Pasal 289 ayat (6) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu : “Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah, menteri teknis menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri paling lambat 60 hari setelah usulan pertimbangan dari menteri diterima”;
  3. Daerah Penghasil Sumber Daya Alam Minyak dan Gas sebenarnya bukan diatur dalam UU No. 33 tahun 2004, melainkan diatur dalam Keputusan Menteri ESDM yang dalam hal ini Kepmen ESDM No. 200 K/80/MEM/2019 sebagai amanat Pasal 289 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2014. Dimana parameter penetapan daerah penghasil sumber daya alam minyak dan gas adalah : “daerah penghasil untuk wilayah kerja di daratan (onshore) merupakan kabupaten/kota yang didalam wilayah administrasinya ditetapkan terdapat lokasi kepala sumur produksi (wellhead) yang menghasilkan minyak bumi dan/atau gas bumi yang terjual (lifting) dan menghasilkan penerimaan negara”;

Pasal 289

Berdasarkan uraian tersebut di atas, kami berpendapat bahwa yang berpotensi untuk diuji materiil adalah Pasal 289 ayat (6) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

  1. Tentang Pembuktian

Catatan kritis kami terkait pembuktian adalah :

  1. Pemohon harus mampu meyakinkan MK, bahwa benar wilayah kerja pertambangan migas identik dengan penghasil migas;
  2. Pemohon harus mampu meyakinkan MK, bahwa benar di Blora yang masuk dalam WKP Blok cepu memiliki cadangan minyak;
  3. Pemohon harus mampu meyakinkan MK, bahwa benar WKP Blok cepu diwilayah blora mengandung 33% migas;

Tiga hal tersebut merupakan kewajiban bagi pemohon untuk membuktikan secara riil dan nyata, yang membutuhkan keahlian khusus terutama dibidang geologi dan perminyakan, sehingga tidak sekedar asumsi dan pendapat berdasarkan literasi apalagi hanya berdasarkan media cetak/elektronik.

  1. Tentang Bantuan Dana Dari Pemerintah Kabupaten Blora

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah berikut perubahannya, tidak ditemukan dasar hukum bahwa Pemerintah Daerah dapat membiayai masyarakat untuk melakukan uji materiil di mahkamah konstitusi.

Jika pun terdapat pihak di daerah yang mendukung pendanaan permohonan judicial review atas UU No 33 Tahun 2004 itu bersifat pribadi bukan atas nama institusi pemerintahan.

  1. Tentang Dampak lainnya

Berdasarkan browsing di media internet, yaitu pada laman :

  1. https://bisnis.tempo.co/read/337004/pemerintah-minta-nama-blok-cepu-diganti-blok-bojonegoro
  2. https://www.suarabanyuurip.com/index.php?/kabar/baca/bupati-bojonegoro-urungkan-niat-penggantian-nama-blok-migas

kami mendapati informasi yang pada pokoknya sebagai berikut :

  1. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro kini berupaya mengubah nama dari Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro. Untuk perubahan nama itu, Perwakilan Pemerintah Bojonegoro telah melayangkan surat ke Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) di Jakarta. Alasan mendasar dalam surat itu, karena lokasi sumur minyak dan gas Blok Cepu sebagian besar berada di Bojonegoro. Selain itu, masyarakat umum juga lebih mengenal Cepu, berada di Blora Jawa Tengah. Padahal, meski namanya Blok Cepu, tetapi sumur minyaknya berada di Bojonegoro. (Tempo.co. Kamis, 26 Mei 2011 18:21 WIB);
  2. Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, Anna Mu’awanah, mengurungkan niatnya untuk penggantian nama Blok Minyak dan Gas Bumi (Migas) baik itu Blok Cepu maupun Blok Tuban. Menurut wanita berhijab ini, usulan penggantian nama Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro dan Blok Tuban menjadi Blok Sukowati belum dilakukan oleh Pemkab Bojonegoro ke Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas). (Suara Banyu Urip.com, Jum’at, 23 Agustus 2019)

Kami berharap dengan adanya upaya judicial review oleh Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora (PAMSB) dan kawan-kawan, tidak memantik reaksi yang negatif terutama dari saudara kita di jawa timur khususnya Bojonegoro, kami akui isu Blok Cepu sedari awal merupakan hal yang pelik karena faktor sejarah, karena faktor wilayah administratif, juga karena faktor jargon “keadilan”. Akhirnya kami berharap apapun hasil keputusan Mahkamah Konstitusi dapat diterima oleh siapa pun dengan legowo.

(Djati Walujastono, Ketua DRD Kabupaten Blora)