blank

Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM

Pertama, Allah SWT berjanji berkaitan erat dengan tugas umat Islam sebagai pemimpin dalam/jenjang tingkatan sesuai teks hadits “Kullukum raa’in… HR. Bukhari II/848 Muslim III/1459.

Ringkasnya Allah menjanjikan pada umat ini untuk menjadi. pemimpjn. Umat harus siap menjadi pemimpin dari skala terkecil di rumah tangga, masyarakat sampai negara. Baik kepemimpinan informal, non formal maupun formal.

Kedua, janji istikhlaf/kekhilafahan/ kepemimpinan/kekuasaan dari Allah SWT. kepada orang beriman dan beramal salih adalah pasti akan terwujud (QS. An-Nur 55). Syarat tersebut terangkum hanya dalam dua kata. 1. Iman, dan 2. amal salih.

Di antara standar iman dalam Al-Qur’an adalah “asyaddu huban lillaah…” -sangat mencintai Allah lebih dari segalanya- (QS. Al-Baqarah 165), “idzaa dzukirallah wajilat quluubuhum…” -bergetar hati ketika disebut nama Allah (QS. Al-Anfal 2), dan …wa lam yakhsya illallaah.. -tidak pernah takut kepada selain Allah (QS. Taubat 9:18).

Iman yang menurut Al-Ghazali bukan hanya mencapai derajat awam atau alim, akan tetapi bisa mencapai derajat arif. Bukan iman yang seperti air di daun talas. Daun miring kiri, air ke kiri. Daun miring kanan, air ke kanan. Daun miring sekali, air tertumpah.

Menurut kajian semantik iman dan amal salih ala T. Izutsu, keduanya dapat dikatakan: Two sides from one coin=bagaikan dua sisi dari satu mata uang.

Sementara, cakupan amal salih bersifat holistik dari ibadah mahdhah seoerti salat dst. sampai ghairu mahdhah seperti dalam aspek sosial, akhlak, politik, ekonomi, hukum dan sains serta teknologi yang memberi manfaat pada kemanusiaan.

Sebuah kondisi sehingga mereka dan non Islampun rela menjadikan umat Islam sebagai pemegang kepemimpinan.
Ketiga, Pertanyaannya adakah dua syarat itu telah berada di hati dan tangan umat Islam?

Ataukah umat baru bisa bersuara keras tanpa karya nyata yang diperlukan umat manusia sehingga sampai hari ini umat belum menggapai kepemimpinan di bumi ini?! Sejarah pernah membuktikan bahwa umat Islam piawai dalam kedua ranah tersebut, sehingga dunia beradab dapat terwujud.

Negara Demokrasi

Itu fakta, bukan utopi apalagi mitos. Keadaan tersebut baru berakhir setelah 70 perpustakaan Islam dibakar oleh Hulogu Khan.

Keempat, dengan segala plus-minusnya, negara bangsa telah menjadi mainstraim yang mengakar di dunia global. Oleh karenanya jumhur ulama memandang tidak efektif jika harus ada dekonstruksi sistem negara sedunia yang sangat mungkin menghabiskan semua energi dan sumber daya.

Bukan karena sikap pesimistis ataupun ketakutan, akan tetapi lebih pada memegangi kaidah ushul fiqh “Dar’u al-mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbi al-mashaalih” (menutup pintu kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan).

Kelima, umat Islam di masing-masing negara telah menganut negara demokrasi berketuhanan yang membatasi demokrasi dengan hukum Tuhan. Kalau diktum hukum positif seakan berbeda dengan hukum Tuhan, bisa dirujuk ketetapannya pada tafsir ulama yang cukup variatif.

Sebagai contoh, tingkatan hukum oleh Rasulullah saw. yang ditetapkan kepada lelaki yang menjimak isterinya di siang ramadhan (Bukhari11/516: Muslim 1111). Opsi terberat adalah puasa dua bulan berturut-turut. Opsi teringan, pelanggarnya malah diberi sedekah.

Meskipun hal itu berkaitan dengan ibadah mahdhah, berarti Nabi saw. memberi contoh opsi hukum. Apapun, Nabi SAW mencontohkan opsi hukuman terhadap pelanggarnya. Yang pasti umat Islam di negara manapun tetap berpegang bahwa orang bersalah, ada sangsinya.

Keenam, umat Islam telah memiliki organisasi kerjasama negara-negara Islam sedunia. Banyak ulama memandangnya sebagai representasi kekhilafahan modern.

Ketujuh, datang wacana yang ditawarkan tetapi melangkah mundur, yaitu sistem khilafah ala partai tertentu. Yaitu tunjuk kepala negara tanpa demokrasi, tanpa periode kepemimpinan, tanpa sistem estafet elegan dan tanpa pertanggungjawaban pada rakyat.
Haihaata-haihaata…
Wallaahu A’lam bis-shawaab.

Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo