blank

TAHUN pelajaran baru dating, dan Djo Koplak tahun ini punya kewajiban memasukkan anaknya perempuan sulungnya, si Ceplis, masuk SMA. Siapa sih yang tidak pingin masuk sekolah negeri. Maka Djo pun berjuang agar si Ceplis bisa masuk SMA yang diinginkan. Tetapi sayang, berdasarkan ketentuan zonasi yang juga menetapkan umur sebagai syarat kelulusan, bagi Djo ini tantangan yang berat.

Si Ceplis memang lumayan pintar, sehingga dia masuk setahun lebih awal dari usia pada umumnya. Maka, umur 15 tahun sudah lulus SMP. Sayangnya pula, SMA yang masuk zonasinya memang cukup jauh dari rumah. Ya, sejauh apa pun kan tetap diperjuangkan.

Maka mendaftarlah di SMA Negeri dalam zonasinya. Semula di ranking Ceplis ada di posisi aman. Tetapi tiba-tiba turun jauh di bawah. Setelah dicek ternyata, Ceplis kalah sama calon murid yang umurnya jauh di atasnya, bahkan ada yang sudah 18 atau 19 tahun.

Djo pusing, lalu curhat kepada Pongkring. Bagaimana caranya agar si anak bisa masuk SMA Negeri. “Mas Pongkring, punya kenalan pejabat yang bias merekomendasi Ceplis buat masuk SMA Negeri apa nggak?” tanyanya.

“Walah, Mas Djo. Hari gini yang gitu-gitu itu nggak laku. Rezimnya sekarang itu ya zonasi dan umur,” kata Pongkring.

“Lha terus saya harus bagaimana,” tanya Djo Koplak.

Tiba-tiba Clangkrung, teman Djo Koplak yang lain menyahut. “Makanya, Mas Djo, mestinya si Ceplis dicarikan lagi ibu yang dekat dengan sekolah. Jadi secara zonasi kena, apalagi nilai Ceplis kan bagus,” kata Clangkrung.

“Maksude piye, Kring,” Tanya Djo.

“Ya itu, Ceplis dicarikan ibu lagi yang rumahnya dekat SMA Negeri. Lalu KK-ne nunut ibu baru,” ujar Pongkring sambil ngakak.

“Wooooo kurang ajar. Lagi stress kayak gini malah dijak guyon. Preiiiiiiii…….,” kata Djo.

Lha iya, Clangkrung memang kurang ajar. Mau masukkan sekolah anak, demi zonasi kok disuruh kawin lagi dengan perempuan yang rumahnya dekat sekolah, biar anaknya bias masuk. Lha bias perang Bharatayuda Jayabinangun di rumahnya……

Widiyartono R.