Setelah Lima Belas Tahun
Cerpen Widiyartono R
SUDAH lewat 15 tahunan kutinggalkan kota kelahiran. Kota yang menuntunku sejak kanak-kanak, remaja, hingga menjelang dewasa. Kota yang penuh kenangan, yang sama sekali tak mungkin kulupakan. Udaranya yang sejuk, bahkan boleh dibilang dingin. Mengenangkanku ketika SD dulu harus berjemur dulu sebelum masuk kelas, karena saking dinginnya. Kemudian SMP hingga SMA, semakin banyak temanku, dan cukup banyak yang hinggap dalam bayanganku. Terutama teman-teman perempuan, tentunya.
Sebagai lelaki, aku memang bukan lelaki pemberani. Apalagi untuk urusan perempuan. Banyak perempuan yang kutaksir, tetapi tak pernah ada keberanian untuk mengungkapkan. Itu sangat kurasakan ketika SMA. Setiap malam minggu, teman-temanku selalu punya acara. Ya, apel malam mingguan. Sementara aku hanya diam di rumah, membaca buku atau mendengarkan lagu-lagu.
Hari Senin tiba, kulihat temanku Hermawan agak mengangkat kerah bajunya. Ada yang tidak beres rupanya. Tiba-tiba saja Anto menarik kerah itu, dan……. Ternyata ada bekas merah di leher Hermawan.
Kami semua tertawa. Itu “cupang”, bekas gigitan sisa malam Minggu yang belum hilang. Ya, kami tahu, Hermawan punya pacar Ninik. Tetapi dia juga dekat dengan Nining, anak sekolah lain. Aku nggak tahu itu bekas gigitan Ninik atau Nining. Yang pasti, kami pun ngakak bersama, sementara Hermawan cuma tersenyum. Meski baru kelas 2 SMA, Hermawan adalah play boy yang “profesional”, meski malu-malu juga ketika ada cupang di lehernya.
Cukup banyak gadis teman-temanku yang cantik, dan menarik hati. Tetapi mengapa Lucky benar-benar menggetarkanku. Ya, aku memang kenal dengan Lucky semenjak masuk SMA. SMP kami berbeda, dia dari sekolah negeri sedangkan aku sekolah swasta. Kebetulan kami sama-sama satu kelas di kelas 1 sebagai murid baru di SMA.
Aku ingat sekali waktu itu, kami mengikuti pelajaran olahraga. Sebagai murid baru, yang baru beberapa hari masuk sekolah, kami memang belum punya pakaian seragam, apalagi seragam olahraga. Aku juga masih ingat, hari itu hari Sabtu. Seperti pada umumnya, seragam wajib hari Sabtu adalah Pramuka. Dan, aku belum punya seragam itu.
Harap dimengerti saja, zaman SMP-ku dulu masih pakai celana pendek. Tidak seperti murid-murid SMP sekarang, bahkan anak SD pun sudah bercelana panjang. Celana panjang masih dalam proses pembuatan. Setelah kami masuk, kemudian sekolah membagikan kain untuk celana. Ada kain berwarna hijau khaki dan coklat. Hijau khaki untuk hari Senin sampai Kamis dipadukan dengan kemeja putih, sedangkan Jumat-Sabtu seragam Pramuka.
Seragam Pramuka, untuk baju masih bisa pakai seragam sewaktu SMP. Hanya label SMP saja yang kulepas. Tetapi celana coklat sebagai pasangan seragam Pramuka itu aku tidak punya. Aku cuma punya celana warna hijau, tetapi juga bukan hijau khaki seperti seragam baru di SMA itu. Maka, satu-satunya yang kupakai ya seragam celana hijau dan atasan Pramuka.
Karena belum punya pakaian olahraga, maka seragam hijau-coklat itulah yang kupakai mengikuti pelajaran olahraga. Olahraganya pun masih sekadarnya saja, maklum, itu baru kali pertama kami mengikuti pelajaran olahraga di SMA. Maka, guru pun masih memberi kebebasan. Yang suka basket, main basket, yang suka atletik lari keliling lapangan atau lompat jauh. Aku yang tidak terlalu suka dengan olahraga memilih main lempar-lemparan bola voli. Kostum juga bebas, termasuk masih diperbolehkan pakai baju seragam.
Tanpa ada yang memandu, kami ada enam orang membuat lingkaran. Lusi, yang memang pintar main voli berdiri di tengah melemparkan bola kepada anak-anak yang ada di lingkaran. Di lingkaran itu, ya, di lingkaran itu ada seorang perempuan mungil. Berkulit putih, rambutnya panjang sampai ke pinggang. Entah mengapa, dia amat menarik perhatianku. Sampai-sampai ketika Lusi melemparkan bola arah gadis berambut panjang itu aku masih terpaku memandangnya. Dan, oleh si gadis berambut panjang, bola itu dilemparkannya padaku. Aku masih terlongong-longong…..
Mendadak kudengar suara yang berasal dari mulut si gadis berambut panjang sepinggang, “He he… seragam ijo…… seragam ijo.”
Aku kaget, dan bola sudah sampai ke mukaku, aku tidak sempat menangkapnya. Cukup sakit juga hidungku kena bola voli itu. Tetapi kata-kata “seragam ijo….seragam ijo” itu benar-benar menancap di hatiku.
Ya, kami memang belum berkenalan. Jadi kami belum saling tahu siapa namanya dan apa panggilannya. Dengan Lusi aku kenal, karena dia teman SD dulu. Sedangkan si gadis berambut panjang sepinggang tidak mengenal aku, aku pun belum mengenalnya. Tetapi sejak peristiwa lempar bola voli itu, aku selalu ingat padanya. Rasanya, aku jatuh hati pada pandangan pertama.
Dan, akhirnya kutahu nama gadis berambut panjang sepinggang itu. Lucky, yang seperti namanya, tampaknya dia gadis beruntung. Ibunya seorang pemilik toko pakaian dan ayahnya guru. Tentu, dari sisi ekonomi dia cukup, bahkan mungkin berlebih. Buktinya, dia selalu ke sekolah naik motor bebek sedangkan teman-teman lainnya berjalan kaki. Termasuk juga aku.
Makin lama kami makin akrab. Lucky sangat baik, meskipun dari keluarga berada dia tidak merasa canggung berkawan dengan teman-teman yang keluarganya pas-pasan. Dia juga sangat periang, dan supel dengan teman-temannya. Sekian lama kami merasakan sekolah sebagai murid SMA, makin banyak teman yang kukenal baik kakak kelas, teman-teman seangkatan, sampai juga adik-adik kelas.
Ketika sudah kelas 2, kulihat adik kelasku banyak juga yang cantik. Seorang di antaranya, Sri yang biasa dipanggil Iik. Atau Krisnawati, yang kulitnya hitam manis. Dyah yang wajahnya mirip Rafika Duri. Tetapi, Lucky tetap saja muncul di bayangan utama dalam pikiranku.
Suatu kali, aku mengajak sahabatku Didik, untuk main ke rumah Lucky. Dan, tidak berani datang pada malam Minggu. Khawatir jangan-jangan Lucky ada yang ngapelin. Setengah tujuh malam aku sudah sampai rumah Didik, kemudian kami pun berangkat. Berjalan kaki tentu saja, mau naik apa? Angkot waktu itu juga belum banyak, apalagi malam. Di kotaku, habis magrib toko-toko sudah pada tutup. Mana ada angkot.
Kami memang belum tahu rumah Lucky, tetapi sudah diberi ancer-ancer oleh teman. Rumahnya di pinggir jalan, ada tokonya di bagian depan. Maka pastilah, kami tidak nyasar. Sekitar pukul 19.00 kami sampai, dan tokonya sudah tutup. Ruang tamu tampak gelap. Kami pun ragu, jadi atau tidak. Ketuk pintu atau tidak.
“Dik, kamu yang ketuk pintu dong,” kataku.
“Lho, kamu yang ngajak kok malah nyuruh aku yang ngetuk,” suara Didik agak keras.
“Huusssssss. Jangan keras-keras,” kataku berbisik.
Tiba-tiba kudengar ada suara menuju pintu, dan pintu terbuka. Seorang lelaki membuka pintu dan bertanya, “Cari siapa?”
Rontok tiba-tiba hati ini. Nyaris tak bisa berkata apa-apa. Kusenggol-senggol tangan Didik, dan dia diam saja. “Cari siapa?,” kata bapak itu lagi.
“Ehm…. eh…. Lucky ada, Pak,” kuberanikan diri berucap.
“Oh, Lucky…. ada… ada. Mari masuk,” katanya dengan ramah.
Oh, rupanya ayah Lucky, yang kemudian kutahu namanya, Pak Dono. Pada awalnya aku takut, tetapi setelah tahu bahwa beliau ramah, aku pun lega. Dipanggilnya Lucky, dan aku sudah duduk di kursi tamu yang lampunya sudah menyala.
“Hei Radityo sama Didik. Sudah tahu rumahku ya?” katanya sambil tersenyum. Dia menemani duduk sebentar, lalu masuk. Tak lama kemudian keluar dengan membawa tiga cangkir teh.
Tak ada yang terucap dari mulutku. Tiba-tiba saja Didik bicara, “Ini lho Luck, Radityo minta diantar ke rumahmu. Nggak berani sendiri,” katanya.
Mateng, kurang ajar si Didik ini. Mosok ngomongnya begitu. Mendengar Didik ngomong seperti itu, Lucky tertawa renyah, sedangkan aku pucat.
“Eh, iya mau pinjam catatan ekonomi. Tadi aku nggak sempat nyatet,” kataku dengan agak gemetar
Jelas, ini bukan tujuan utama. Kalau anak-anak sekarang bilang, ini modus. Didik pun tersenyum, dan aku jengkel melihat senyumannya.
“Ayo, tehnya diminum. Nanti dingin,” ujar Lucky. Dan, dalam waktu sekitar satu setengah jam kami ngobrol bertiga. Kira-kira setengah sembilan aku pamit, dan tidak lupa meminta Lucky meminjami catatan ekonomi.
Setelah kejadian itu, aku jadi sering ke rumah Lucky. Hanya sesekali saja bersama Didik. Tetapi lebih sering sendiri. Mengobrol apa saja di rumahnya. Kalau kemudian buntu tidak ada yang diobrolin, tiba-tiba ada cicak berlarian di dinding, lalu cicak itulah yang jadi bahan obrolan. Kami pun semakin akrab. Tetapi, meski aku memendam rasa padanya, tak pernah berani aku mengungkapkannya. Hingga akhirnya kami lulus, dan meneruskan studi di kota yang berbeda. Kami masih sering bersurat.
Sesekali bila pulang kampung, kemudian dia juga pas pulang, selalu kuluangkan waktu untuk main ke rumahnya. Kadang juga, meski dia tidak pulang, aku main ke rumahnya, karena dengan keluarganya kami juga baik. Ibunya yang ramah, ayahnya yang bijak, dan adik-adiknya yang baik.
Suasana pertemanan ini memang tak pernah terjeda, meski saling berjauhan. Waktu itu belum ada ponsel, telepon juga masih mahal bila interlokal. Maka sarana tergampang ya bersurat. Tetapi tak pernah ada ungkapan cinta, hingga akhirnya masing-masing kami lulus kuliah.
* * *
Selepas kuliah, memang intensitas komunikasi sangat berkurang. Aku tenggelam dalam pekerjaan sebagai wartawan yang benar-benar nyaris tanoa ada waktu luang. Ya, bukankah kerja wartawan itu 24 jam. Tidurnya wartawan itu juga kerja, karena bila ada kejadian kebakaran atau kasus kriminalitas, sesuai dengan jobku di kepolisian, harus segera lari dan mendapatkan berita itu, lalu menuliskannya, dan menyerahkan pada redaktur.
Hingga suatu ketika kudengar kabar, Lucky mau menikah. Hatinya tertambat pada Hermanto, teman kuliahnya, yang sudah bekerja di sebuah bank di Jakarta. Ya, memang sudah masanya, 26 tahun umurnya, sebagai perempuan berpendidikan cukuplah itu.
Tergetar juga hati, bahkan sedikit terguncang. Lucky menikah. Tetapi, apa masalahnya kalau dia menikah. Toh Lucky dan Hermanto pasti saling mencinta. Dan, kuputuskan untuk datang pada hari pernikahannya. Bagaimana pun dia teman baikku. Meski sekali lagi, batin ini tak bisa ditipu, karena kadang aku merindukannya.
Di kursi pelaminan tampak dia sangat bahagia. Suaminya ganteng, dan bekerja di sebuah bank BUMN, sudah merupakan jaminan masa depan. Sementara aku tahu kemudian, Lucky memilih di rumah menjadi ibu rumah tangga saja. Dia pun diboyong suaminya ke Jakarta.
Aku pun kembali pada kesibukanku. Sebagai wartawan yang matang di job kepolisian, menjadikan aku sering dikirim ke berbagai daerah, termasuk ke luar pulau bila ada bencana. Misalnya ketika terjadi tsunami di Flores, tsunami di Aceh, erupsi Merapi, bom bali, erupsi Sinabung, dan sebagainya.
Aku benar-benar menikmati kehiduan sebagai wartawan. Sementara ibuku yang mulai tampak waswas. Setiap kali aku pulang, pertanyaan yang selalu disampaikan, “Njuk kapan?”. Lalu kapan, bukan kapan pulang ke kota atau kapan balik lagi. Tetapi, ibuku sudah ingin menimang cucu. Aku cuma tertawa, “Dereng wonten sing cocok.”
Padahal sebenarnya, ketidakberanianku. Teman-temanku perempuan lebih banyak semenjak SMA dulu, sampai sekarang. Tetapi, aku tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan, meskipun kami begitu dekat.
Adik-adikku juga meledeki aku. Terlebih adik perempuan yang sudah menikah dan punya anak bayi. “Mas nggak pingin nggendong bayi to?” guraunya.
“Lha kan bayimu juga sering tak gendong,” jawabku sambil mengangkat bayinya dan kugendong.
“Maksudku, bayimu sendiri. Aku juga pingin punya ponakan lho Mas,” katanya.
Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menimang-nimang keponakanku. “Ayu anake timbang ibune…. ayu anake timbang ibune,” kataku sambil menggendong bayi itu. Adikku pun berwajah masam mendengar ucapanku.
***
Sudah sekitar tujuh tahun aku bekerja. Beberapa tempat sudah kudatangi, merupakan kebahagiaan dan keberuntunganku sebagai wartawan. Penugasan dari kantor dengan biaya yang dipenuhi. Ini enaknya, pekerjaan jadi wartawan memang menyenangkan. Jalan-jalan pun merupakan pekerjaan. Apalagi ketika belakangan aku menekuni dunia pariwisata, makin banyak aku jalan-jalan. Tak cuma di dalam negeri, bahkan ke beberapa negara untuk mengikuti travel mart atau diundang untuk meliput suatu even pariwisata misalnya Colours of Malaysia, Matta Tour, atau sekadar jalan-jalan ke Singapura.
Tetapi, yang selalu membuatku bingung adalah pertanyaan ibu, juga nenek yang masih sehat meski sudah hampir 80 tahun. “Kapan rabimu, aku isih pingin menangi mbuyut (Kapan kamu menikah, aku masih ingin merasakan punya cicit),” katanya.
Dan, ketika ada kesempatan, aku pulang kampung. Aku minta cuti, setelah melakukan liputan di Samarinda. Sekadar liputan jalan-jalan sih. Dan, pemredku memberi waktu cuti tiga hari. Cukuplah buat mengenang suasana di kota masa kecilku.
Kota masa kecilku memang bukan kota besar, maka aku pun hanya jalan kaki saja jalan-jalan. Menyusuri jalan yang dulu kulewati saat sekolah, kemudian mampir di sebuah mal satu-satunya yang ada di sana. Tak punya tujuan untuk membeli sesuatu, hanya untuk mengenang saja, bahwa mal ini dulu bekas terminal bus. Terminal bus sudah digusur ke pinggiran kota, dan kini diganti dengan bangunan modern ini.
Aku berhenti di salah satu lantai mal, yang merupakan pusat kuliner. Kudengar lagu-lagu lama Didi Kempot sedang diputar. Aku ingat pernah ketemu penyanyi gondrong asal Solo ini saat peringatan Hari Pers Nasional dulu. Sudah cukup lama, saat dia mulai dikenal lewat lagunya “Stasiun Balapan”. Ya, aku berhenti untuk sekadar mengaso sejenak sambil minum jus.
Lagu-lagu Didi Kempot terus mengalun, dan aku pun terhipnotis untuk turut manggut-manggut dan mulutku mengikuti liirik-lirik yang memang amat kukenal.
Di meja yang kosong, kulihat ada seorang bocah perempuan cantik. Umurnya kira-kira tiga tahunan. Dia sedang berusaha naik ke kursi, sementara perempuan yang kuduga ibunya, berusaha membantunya. Setelah si anak duduk, kemudian ibunya mulai menulis pesanan sambil memandangi lembaran daftar menu.
Sepertinya aku mengenal perempuan itu. Tetapi memang banyak yang berubah. Dulu rambutnya sepinggang, kini tinggal sebahu. Kukira, ini cuma urusan praktis saja. Perempuan-perempuan sekarang tak suka memelihara rambut sampai panjang. Perawatannya ribet.
Tiba-tiba boneka si bocah itu jatuh, dan bergegas aku mengambilnya. “Ini bonekanya, anak manis,” kataku sambil mengulurkan boneka itu.
“Hei….. Radityo kan?” kata ibu bocah itu, yang tak salah lagi, Lucky. Aku mengulurkan tangan bersalaman.
“Eh, iya. Cantik anakmu kayak ibunya. Siapa namanya?” tanyaku.
“Astri,” jawabnya, “Ayo Astri, salam sama Om.”
“Halo Om, saya Astri. Om siapa?” kata bocah manis ini.
“Oh anak pintar. Saya Om Radit, teman sekolah ibumu dulu,” kataku.
“Oh, ya aku jadi ingat. Dulu kamu penggemar Astri Ivo kan?” kataku pada Lucky.
“Ya, aku juga tahu kamu penggemar Rafika Duri, yang katamu wajahnya mirip Dyah kan?” katanya sambil tersenyum agak mengejek.
Ya, dengan Dyah aku memang juga dekat. Kami sering ngobrol, dan aku pernah bilang pada Lucky, bahwa artis favoritku Rafika Duri, karena wajahnya mirip Dyah. Lucky pun menggoda, “Pasti kamu naksir Dyah. Cantik lho,” katanya waktu itu.
Aku pun membatin, tidak tahukah Lucky tentang perasaan hatiku. Bahwa sebenarnya aku menyimpan hasrat padanya.
“Lho, kok cuma berdua. Mana suamimu? Atau nggak libur dia?” tanyaku.
Lucky hanya menunduk. Minuman yang dipesannya datang.
“Mbak, tadi aku belum pesan. Lemon juice ya,” kataku pada pramusaji.
Lucky masih menunduk, kupandangi wajahnya, setetes air bening mengalir di pipinya. Aku tak habis mengerti, mengapa dia menangis saat kutanya tentang suaminya. Aku ingat, suaminya yang ganteng. Hermanto, cakep, ganteng, punya duit. Apalagi di Jakarta, pasti dia main perempuan. Dia tak memperhatikan lagi istrinya, anaknya yang cantik.
“Suamimu, hmmmm Hermanto. Apakah dia……?” ujarku dengan nada agak meninggi.
“Dia pergi meninggalkan kami sekitar dua tahun lalu,” kata Lucky sambil menahan isaknya.
“Pergi…. maksudmu. Dia …. maaf, dia kawin lagi?” tanyaku.
Lucky diam sejenak. “Tidak, Radit. Dia lelaki yang baik, sangat baik. Dia meninggal saat akan melakukan perjalanan dinas ke Riau. Pesawat yang ditumpangi jatuh,” katanya.
Aku menyesal sekali telah menuduh suaminya dengan pikiran-pikiran burukku.
“Oh, maaf…. maaf sekali Lucky. Aku turut berbela sungkawa atas musibah itu. Sekali lagi maaf, Lucky,” kataku.
Untunglah Astri tak melihat ibunya menangis. Dia masih berumur sekitar setahun saat ayahnya meninggal. “Om, habis ini jalan-jalan ya, temani Astri beli mainan,” tiba-tiba anak itu berkata padaku.
“Hai, Astri…. nggak boleh. Om sibuk,” tukas ibunya.
“Nggak…. nggak…. Om libur, pulang kampung buat antar Astri beli mainan,” kataku.
Lucky merasa agak tidak enak. “Sudahlah,” kataku, “biar kita temani dia cari mainan.”
Aku menuju kasir dan membayar yang sudah kami nikmati. Lalu kami meninggalkan tempat makan itu. Didi Kempot masih berdendang, Layangmu tak tampa wingi kuwi… wis tak waca apa karepe atimu… trenyuh ati iki maca tulisanmu… ra krasa netes eluh neng pipiku….”
Kami meninggalkan pusat kuliner, lalu menuju tempat penjualan mainan anak-anak di mal itu. Astri dengan erat memegang tanganku, sepertinya tak ingin lepas. Aku heran, anak ini baru kenal, tetapi mengapa menjadi begitu akrab padaku. Sudah seperti sering bertemu, sudah sangat akrab. Dan, dia ceriwis, terus saja bercerita apa saja saat kami berjalan menuju tempat penjualan mainan.
Astri pun memilih mainan yang diinginkan, sebuah boneka minion. Dia hanya memilih itu, dan tak mau ketika kutawari yang lain. Aku membayar di kasir, tetapi Lucky memaksaku untuk mengambil kembali uang.
“Pakai ini saja atau aku marah,” katanya serius.
“Oke… oke, Bu,” kataku. Dia kaget ketika aku menyebut kata “Bu” sebagai kependekan kata ibu.
“Ayo kita pulang, aku antar kamu, sekalian pingin ketemu Bapak sama Ibu, kangen lama nggak jumpa,” kataku.
Kami pun naik taksi daring menuju rumahnya yang memang tak terlalu jauh. Sesampai di rumah, ibunya tampak kaget melihatku. Tetapi langsung menyapa ramah, “Mas Radit. Kok bisa ketemu Lucky?” katanya saat kusalami. Orang tua teman-teman dulu memang biasa memanggil dengan sapaan Mas, sampai saat ini.
“Ya, tadi kebetulan ketemu di mal, Bu,” jawabku.
“Ayo masuk,” katanya. Aku pun masuk. Ruang tamu yang dulu sering aku datangi. Kursinya masih kursi yang dulu, kursi kayu dengan anyaman rotan. Klasik, terawat sehingga awet. Semuanya mengenangkanku pada sekitar 15 tahunan lalu.
“Hayo ngelamun….!” ujar Lucky membuyarkan lamunanku. Dia datang sambil membawa dua cangkir teh hangat. Persis seperti lima belas tahunan lalu. Aku makin menerawang. Sepertinya langit makin terang, dan malam akan penuh bulan tanpa kegelapan.
Kami masih sempat bercerita tentang berbagai kejadian, tentang teman-teman lama, dan aku tidak menyinggung tentang kehidupan bersama suaminya. Kami lebih banyak bernostalgia tentang kisah-kisah konyol semasa SMA.
Sudah lewat tengah hari, aku pun pamit. Dan, ibunya mengingatkan untuk kembali datang. Kupesan ojek daring, aku pun pulang dengan riang. Sampai rumah nenek bertanya, kenapa aku begitu ceria. ”Nggak papa Mbah. Ketemu teman, cantik,” kataku sembarangan.
“Ya sudah, tunggu apa lagi. Mbahmu pingin mangku buyut,” katanya.
Aku tersenyum dan berdendang, “Layangmu tak tampa wingi kuwi…….”
Esok pagi aku harus kembali ke tempat kerjaku. Berat rasanya meninggalkan kota kecil ini. Lucky sekarang di sini, bersama anaknya yang cantik. Aku harus berani, kali ini aku harus berani. Berani menyatakan hasratku, akan kutumpahkan hasrat yang kusimpan lebih lima belas tahun lalu. Dan akan kusampaikan padanya, bahwa aku masih ingat ucapan yang disampaikan padaku yang pertama kali. “He… seragam ijo…..”
Besok sesampai kota tempat kerjaku, akan kukabari dia. Aku langsung ke kantor, karena sebagai bujangan, kantor itu jadi rumahku. Setelah menyelesaikan sebuah feature, aku pun membuka ponsel, dan kucari di daftar nama whatsapp-ku. Nomornya baru kusimpan kemarin siang, sebelum aku pamit pulang. Kepada Lucky aku kabarkan, bahwa aku sudah ada di kantor, dan baru saja menyelesaikan sebuah laporan feature.
Kulihat, ternyata ponselnya tidak aktif. Aku kecewa. Padahal aku ingin ngobrol, chatting-an dengannya.
Aku pun kembali ke komputer, kumulai lagi menulis artikel. Ya, sebagai wartawan, aku tak ingin hanya sekadar menulis berita. Aku juga harus rajin menulis artikel, aku harus jadi wartawan yang dikenal dengan artikel opini-opininya. Bahkan, aku ingin menjadi pengajar jurnalistik. Maka meski aku tidak dari jurusan komunikasi, koleksi buku tentang jurnalistik, kehumasan, dan komunikasi sangat lengkap.
Tiba-tiba ponselku bunyi, sebuah penanda notifikasi pesan. Kubuka. Tergetar aku. Balasan dari Lucky. Minta maaf, terlambat menjawab karena baterai ngedrop. Kuhentikan kegiatanku menulis artikel. Dia kabarkan besok ulang tahun Astri. Dia juga tuliskan, Astri bilang pingin Om Radit datang.
Oh, padahal aku baru saja masuk setelah cuti. Tidak mungkin aku pulang lagi. Sementara kudengar dari speaker komputer Aji, redaktur pelaksana, Didi Kempot berdendang, umpama tanganku dadi suwiwi, iki uga aku mesthi enggal bali, ning kepiye maneh merga kahananku, cah ayu entenana tekaku…..
Tak sabar aku menjawab lewat chat.. Segera kutelepon Lucky. Kukatakan bahwa menyesal esok petang belum bisa pulang. Dua hari lagi, Sabtu baru bisa. Kukatakan, Sabtu pagi aku sudah sampai. Kuminta sampaikan pada Astri, peluk ciumku buat dia. Kuyakinkan padanya, Sabtu pagi pasti sampai. Aku sudah kangen Astri, terlebih pada ibunya.
Lucky mengiyakan. Cuma pikiraku jadi tak keruan. Menunggu dua hari itu terasa lama sekali. Lamat-lamat dari dari komputer Aji terdengar suara mendayu….Ning kepiye maneh, merga kahananku. Cah ayu entenana tekaku…..
Sm. 14-17052020