Oleh Amir Machmud NS
//… jurus apa yang akan kau pamerkan// kaubawa ke persamuan ilmu// untuk saling bertukar seni// di medan kecerdasan// kau racik simfoni dahsyat// yang mengalunkan irama maut// kidung indah kematian// menghapus aura kuasa// sang raja lama// yang pada tiap musim kau harus menyegarkannya…// (Sajak “Para Pelatih”, 2020)
TUAN-TUAN penggila bola, catatlah bab pembuka ini, tentang “jalan pedang” yang digoreskan oleh Hans Jaladara mengawali komik legendaris Panji Tengkorak, “Dalam ilmu surat, tidak ada yang nomor satu. Dalam ilmu silat hanya ada si nomor satu (karena yang nomor dua sudah mati)…”
Di alam kependekaran, haruskah setiap saat ada yang tumbang, sunyi kematian dalam memperjuangkan keyakinan? Sia-siakah kematian yang meneguhkan datangnya jagoan anyar? Tak bisakah datuk terhebat sebelumnya menjadi referensi kompetisi, yang suatu saat akan kembali muncul dengan anggitan simfoni baru, buah pencarian dari ikhtiar pertapaannya?
Di rimba sepak bola, hari ini Juergen Klopp menjadi si nomor wahid, namun apakah Pep Guardiola harus menyisih mengubur diri hanya lantaran kegagalan mempertahankan kemaharajaan dengan “ilmu silat” pamungkasnya?
Tentu tak seabsurd itu gambaran rivalitas, konstruksi dan dekonstruksi dalam dialektika ilmu taktik sepak bola. Betapa para datuk taktik tenggelam dalam lantunan filosofi, bekerja keras mencari keyakinan tentang “jalan pemenangan”, untuk mereka tuang dalam pemaujudan performa tim racikan.
Bukankah mereka paham, setiap saat datang pesaing yang akan menuntut hak berupa pengakuan. Mereka saling klaim, “Jalan taktikku yang paling benar”. Seperti gambaran ritus Pertarungan Siklus 50 Tahun ala Arswendo Atmowiloto dalam kisah Senapati Pamungkas: siapa yang akan menjadi the last man standing dalam pertarungan habis-habisan antarpara jago dari berbagai penjuru jagat.
Di dunia nyata industri sepak bola, sekarang bertahta Juergen Klopp, sebelumnya Pep Guardiola. Tak ada yang harus pergi dan membenam diri. Sekarang Klopp, bisa jadi musim depan Pep kembali, mungkin pula giliran Ole Gunnar Solskjaer, Frank Lampard, Mikael Arteta, atau siapa saja. Menghampar seribu kemungkinan di majelis pendekar, seperti pada musim 2015-2016 ketika Liga Primer menghasilkan geger terbesar: Claudio Ranieri mengantar gelar untuk Leicester City, klub yang bukan hanya semenjana, bahkan boleh dibilang hadir dari “lantai dasar”.
Apakah kita memastikan filosofi Ranieri kemudian membentuk “era” taktik? Ya, tentu saja pada musim itu. Orang membicarakan pendekatan filosofi apa yang dilakukan Pak Tua untuk melambungkan Jamie Vardy dkk? Namun agaknya, skematika Ranieri bukan produk membangun ijtihad taktik yang kemudian menghasilkan dominasi opini dan “era”. Hanya semusim, dan separuh musim berikutnya Leicester tak mampu menjaga konsistensi performa.
* * *
LIGA-LIGA dunia mengakui karakter permainan sejumlah pelatih, semisal Zinedine Zidane, Diego Simeone, Rafael Benitez, Carlo Ancelotti, Jose Mourinho, Mauricio Pochettino, Manuel Pellegrini, Maurizio Sarri, Antonio Conte, Maximilliano Allegri, Thomas Tuchel, Brendan Rodgers, atau Hans-Dieter Flick; namun adakah ijtihad nama-nama besar itu telah menggaungkan produk permainan sekuat Pep dan Klopp?
Filosofi, pasti ada. Karakter, tentu melekat. Skema formasi, akan ditandai. Akan tetapi Pep dan Klopp punya kekuatan pembeda, yang kemudian menjadi sangat “eye catching”: ini dia tiki-taka berbasis possession football atau juego de pocision. Inilah tim Klopp, gegenpressing dan counter-pressing.
Penanda karakter itu membutuhkan pilar-pilar penjaga posisi. Pemain dengan syarat begini-begitu, tak sembarang bintang bisa memangku. Maka secara awam kita sering berpikir, kalau melatih tim semenjana tanpa taburan bintang, mampukah Pep menjalankan konsep taktiknya? Sementara tentang Klopp kita menganalisis, kalau tidak menemukan jagoan seperti Mohamed Salah, Roberto Firmino, atau Trent Alexander-Arnold bakal hadirkah Liverpool dengan kualitas seperti sekarang?
Juru racik tim sekelas Pep tentu berpikiran dasar tentang konsep, aplikasi, dan cara memenuhinya. Maka ketika menggelar detail A, B, C, sampai Z rencananya, semua harus sesuai juego de pocision. Inilah yang dia lakukan bersama Barcelona, dterapkan di Bayern Muenchen, dan dibangun untuk Manchester City. Pep, dalam soal-soal ini adalah “ideolog saleh” yang “imannya” tidak akan terpancing dan terdikte oleh counter-tactics lawan walaupun itu berkonsekuensi kekalahan.
Bagaimana dengan Juergen Klopp? Watak bermain Borussia Dortmund enam-tujuh tahun silam adalah gambaran karakternya. Wajah Die Borusen adalah karisma Klopp yang mengintroduksi gegenpressing sebagai corak permainan yang menekan dan terus menekan, membalik serangan lalu menekan.
Ini kekuatan lain Klopp: menjadikan pemain semenjana sebagai bintang. Firmino, Salah, Sadio Mane, Alisson Becker, Andy Robertson, Jordan Henderson, Virgil van Dijck, Fabinho, dan yang lain memang hadir ke Anfield karena proyeksi talenta. Akan tetapi, metode pendekatan Klopp-lah yang kemudian mengangkat mereka ke habitat elite sekarang. Dengan konsep demikian pria Jerman itu menyusun kedalaman tim, seperti sebelumnya dia bangun di Dortmund untuk melahirkan sejumlah nama yang menjadi besar dan menyebar.
Pep sejatinya tak harus menguji reputasi, karena deretan trofi dari tiga klub telah menunjukkan maqam kearsitekannya. Tetapi, rupanya, kegagalan mempersembahkan trofi Liga Champions untuk Bayern dan City masih membuat dia penasaran, karena di luar Barca, metode dan ilmu taktiknya selalu mentok tak sampai puncak Eropa.
Klopp-lah yang kini ditunggu pembuktian konsistensi. Performa Liverpool diyakini masih bertahan musim depan, dengan menjaga kedalaman tim untuk antisipasi rotasi. Dia sudah mengincar sejumlah nama yang diperkirakan nyetel dengan orkestrasi simfoninya. The Reds pun kini diyakini menjadi “padepokan” dengan daya tarik menggoda mereka yang ingin dilatih Her Klopp.
Jalan taktik kedua maestro itu bakal bersaing menemukan muara “kebenaran” untuk membuka pintu kemenangan. Sejarah ilmu sepak bola memprasastikannya.
Berbeda dari “jalan pedang” Panji Tengkorak dan ritual Pertarungan Siklus 50 Tahun, dalam adu lari doktrin sepak bola Pep dan Klopp akan dihasilkan siapa yang nomor satu, siapa yang nomor dua. Berkejaran, saling menyalip mengungguli dalam tensi rivalitas yang superlatif.
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng