blank

YANG namanya hobi, memang biasanya bisa mengalahkan segalanya. Orang yang suka burung, bisa pagi siang malam cuma mengurusi burungnya saja. Entah kurungannya, makannya, sampai bulu-bulunya atau nyetheti agar si burung manggung. Begitu halnya dengan Djo Koplak yang punya kegemaran adu jago.

Yang namanya adu jago memang sudah menjadi tradisi di beberapa masyarakat kita. Di Bali, adu jago sudah jadi kegiatan adat. Dalam budaya kita juga ada lakon wayang “Kangsa Adu Jago”. Di suatu daerah adu jago dijadikan suatu jenis pertandingan. Caranya juga sangat manusiawi (eh, hewani) yakni jalu-nya di bungkus kayak petinju pakai hand box.

Cuma sayangnya, aktivitas ini sering dikait-kaitkan dengan judi. Jadi kalau ada orang menyabung ayam, maka pikiran kita biasanya langsung menuduh bahwa mereka lagi berjudi. Dan, kebanyakan memang begitu.

Ini suatu kisah ketika Djo berada di arena sabung ayam di Semarang bagian selatan. Ternyata yang hadir di sana juga bukan baen-baen. Orang-orangnya kebanyakan punya duit tebal. Lha bagaimana wong totohannya konon sampai puluhan juta rupiah.

Tetapi karena kegiatan ini bukan hal yang terang-terangan, maka waswas juga mereka yang berada di sana. Polisi, itu sosok yang paling ditakuti. Walaupun konon ada juga sih “oknum” polisi yang berjaga di sana. Tetapi kalau ada yang bukan oknum, pastilah bubaran arena itu.

Maka wajar saja kalau hadirin dalam arena arena itu punya trauma dan sedikit paranoid. Kalau polisi datang biasanya kemudian memberikan tembakan peringatan agar pengunjung tidak bergerak. Nah, pada saat itulah ketika arena sedang ramai-ramainya, tiba-tiba terdengan suara, “Dhuar … dhuaar… grombyang…”

Serentak orang berhamburan berusaha menyelamatkan diri. Djo Koplak juga ikut lari tunggang-langgang. Mereka semua menduga pastilah polisi melakukan penggerebekan. Ternyata tak ada operasi polisi. Yang ada seng kabur dari atas rumah, karena angin kencang. Ketika jatuh bunyinya seperti suara pestol meletus. Kapok ra kowe.

Widiyartono R.