JEPARA( SUARABARU.ID)– Dalam pesta Lomban di Jepara, ada tradisi budaya yang terus diperbarui secara dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat. Salah satu yang kemudian adalah lomba-lomba yang diadakan di Muara Kali Wiso yang dimulai saat H. Sidiq menjadi Petinggi Ujungbatu pada zaman Hindia Belanda.
Awal mula lomban ini hanya milik masyarakat yang bermukim di Teluk Jepara atau yang kemudian menjadi Ujungbatu. Kegiatan yang bermula sebagai syukuran 2 pejabat masa Adipati Citrosomo VII yang nyaris tenggelam disekitar pulau Bokor ini kemudian berkembang menjadi milik nelayan dan masyarakat. Bahkan kemudian menjadi kalender tetap even wisata di Jepara dan Jawa Terngah
Kemasan acara juga ada yang berubah Salah satunya adalah keberadaan kupat dan lepet dalam prosesi lomban. Semula kupat lepet hanya menjadi penghias perahu. Kemudian pada tahun 1991 kemudian menjadi peluru dalam “pertempuran” para prajurit Ratu Kalinyamat dan Portugis.
Ketupat dan lepet digunakan sebagai peluru untuk saling menyerang satu dengan yang lain ditengah laut. Padahal kupat lepet memiliki makna filosofis yang dalam, sebagaimana diajarkan oleh Sunan Kalijaga.
Bermula dari sini kemudian muncul ide, untuk menggunakan kupat lepet sebagai daya tarik baru Lomban Jepara. Gagasan itu muncul dari Bupati Jepara kala itu, Drs Hendro Martojo, MM yang disampaikan pada para seniman dan pegiatan budaya yang tergabung dalam Dewan Kesenian Daerah waktu itu untuk membuat atraksi yang baru.
Ada banyak yang terlibat dalam kerja kebudayaan itu. Mulai Sholikul Huda, Okky Setyawan, Kustam Eka Jalu, Ngateman Bagus, Asyari Muhammad, Tohar Rambo, Nur Huda Tauchid, Angkas, Wulan, Anggun, Fitri, Sintya, Bowo, Ali, Cinung, Bagong, Sudi Haryanto. Dibalik layar ada juga Ketua DKD Jepara Hadi Priyanto, dan pengurus DKD lainnya, Udik Agus DW, Aminan Basyarie, Mustaqim Umar, Sunardi KS, Inayah, Aqidah Apsari dan Ali Emje.
Dari diskusi panjang akhirnya lahirlah sebuah konsep baru untuk menghadirkan kupat lepet dalam kemasan yang lebih estetis dan bermakna. Sebab kupat dan lepet adalah simbul dari pengakuan atas kesalahan, kekurangan dan kilaf, baik dalam dimensi hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama. Kerendahan hati dan pengakuan atas ketidak sempurnaan ini senantiasa mewarnai suasana idul fitri.
Konsep itulah yang kemudian dituangkan dalam kirab Gunungan Kupat Lepet yang menjadi salah satu acara lomban sejak tahun 2007. Pada tahun pertama, hanya ditampilkan 1 gunungan kupat lepet yang dikolaborasikan dengan seni teater, sastra dan seni tradisonal.
Prosesi dimulai untuk menyambut rombongan peserta larungan di pantai Kartini, diantaranya rombongan Bupati dan jajaran Pimpinan Daerah yang kemudian dilanjutkan dengan atraksi budaya.
Baru pada tahun berikutnya gunungan kupat lepet berubah menjadi dua buah sebagai simbul keberadaan laki-laki dan perempuan yang harus berjalan bersama dan hidup secara harmonis. Jumlah kupat lepet juga disesuaikan dengan tahun yaitu 2008 buah.
Acara semakin semarak karena kemudian kupat lepet ini menjadi rebutan warga setelah secara simbolis Bupati mengambil dua buah kupat lepet dan diserahkan kepada Ketua DPRD, sebagai simbul dari rakyat yang diwakili.
Semoga bermanfaat
Hadi Priyanto