Oleh: Mubarok, MSi
Sekitar 84% dari total belanja iklan digital dunia mengalir ke Google dan Facebook. Hal ini mengakibatkan seretnya pemasukan media online dari sektor iklan. Berkaca dari hal ini maka keberadaan media online akan terancam gulung tikar.
Perusahaan media membutuhkan investasi besar, sehingga mereka butuh pemasukan seimbang untuk bertahan.
Pendiri Facebook Mark Zuckerberg menyatakan bahwa perusahaannya bukanlah media massa melainkan perusahaan teknologi. Mathew Ingram, seorang wartawan veteran dan kini menjadi penulis teknologi, menyebut bantahan Zuckerberg itu asal-asalan. Dalam tulisan yang dimuat Fortune 30 Agustus 2016, Chief Digital Writter di Columbia Journalism Review itu, menyebut Facebook sebagai media terbesar dan paling berpengaruh abad ini. Dia berpengaruh, bukan hanya karena penggunanya hampir dua miliar manusia, tetapi juga karena pada lanskap media masa kini,mengontrol distribusi jauh lebih penting daripada memproduski konten. Dan persis di situlah kedigdayaan
Facebook (Manggut, 2019).
Media online berlomba-lomba meningkatkan traffic, subscription, like, comment agar menarik bagi pengiklan. Persoalannya mereka bergantung pada mesin pencari seperti Google dan media sosial seperti Facebook untuk mendapatkan posisi ideal dalam system.
Dalam industry media online traffic memegang penting daripada kualitas berita. Maka, tulisan wartawan senior berpengalaman dan wartawan kemarin sore dianggap sama oleh system. Berita bermutu atau remeh-temeh juga tidak ada bedanya. Setiap
media online membutuhkan sosial media seperti Facebook untuk meningkatkan share dan traffic. Media online juga membutuhkan mesin pencari Google agar terbaca oleh konsumen. Ketergantungan inilah yang membuat perolehan iklan digital dikuasai Facebook dan Google.
Kembali Ke Khittah
Melihat kondisi tersebut muncul pesimisme sejauh mana jurnalisme online akan bertahan. Perusahaan media membutuhkan permodalan dan operasional yang besar.
Ketika kran pemasukan terhambat mereka terancam gulung tikar. Kondisi ini dialami oleh media online di berbagai tempat termasuk media online lokal. Media online yang berafilisasi dengan perusahaan besar juga mengeluhkan kondisi ini. Imbas duopoly iklan digital sangat mereka rasakan.
Meski demikian ini bukan pesimisme ketika media online berani kembali ke khittah jurnalisme dengan mengedepankan konten berkualitas dan jelas target marketnya, mereka bisa eksis.
Dikutip dari tulisan Manggut (2019) Jeff Bezos pemilik Amazon.com pada 2013 membeli Washington Post. Koran tersohor di Amerika Serikat, yang membongkar skandal Watergate dan menyebabkan Presiden Richard Nixon terjungkal pada 1974, itu tengah sekarat. Donald Graham, yang diwarisi koran ini dari sang kakek Eugene Meyer bercucur air mata saat mengumumkan penjualan itu. Dalam tangisan itu dia berusaha meneguhkan ratusan karyawan yang bertahan, “Di tangan pemilik baru, media ini mungkin lebih bagus.” Meski besar di dunia teknologi, Jeff Bezos sungguh memahami nilai tertinggi dari media terletak pada kualitas, nilai, dan prinsip.
Bezoz berjanji bahwa, “Nilai-nilai The Post tidak perlu berubah.” Tugas koran ini, lanjutnya, tetap demi kepentingan umum, bukan kepentingan pemilik. Lebih dari 25 tahun membesarkan Amazon, Bezos membawa kekuataan teknologi ke dalam bisnis media massa. Arc Publishing, platform teknologi Washington Post untuk pelanggan berbayar, kini dipakai banyak grup. Setelah tersungkur, media ini kembali melangit. Hingga Agustus 2019 sudah memiliki 1,5 juta pelanggan berbayar. Serius menjajaki pasar berbayar ini adalah jalan menjaga jurnalisme.
Data dari Fédération Internationale de la Presse Périodique (FIPP)
memperlihatkan kegemilangan sejumlah media menggarap ceruk ini. Pada Juli 2019 New York Times (NYT) memilik 3,5 juta pelanggan. Wall Street Journal 1,8 juta pelanggan. Jauh sebelumnya, pada Juli 2012, The Financial Times mencatat jumlah pelanggan digital 300 ribu melampaui jumlah pelanggan versi cetak, dan jumlah itu terus melejit. Dari banyak contoh itulah, pada era digital ini, jalan untuk tetap berdiri di atas
nilai dan prinsip jurnalisme bukanlah gagah-gagahan atau sekedar romantisme, tapi itu adalah pilihan yang rasional secara bisnis. Hal yang diperlukan adalah memahami kekuatan platform teknologi, ditambah sedikit kesabaran pemilik modal.
Pengalaman Bezos tersebut bisa dijadikan pelajaran bahwa khittah jurnalisme harus dipertahankan. Media harus berani kembali ke jalan jurnalisme dengan mengedepankan idealisme.
Komunitas dan Lokalitas
Penelitian Yun dkk (2018) menunjukkan bagaimana media lokal di Amerika bisa bertahan ditengah disrupsi teknologi dan tekanan oligarki media global. Kemampuan memaksimalkan komunitas lokal dan lokalitas pemberitaan menjadi kunci media lokal
bertahan.
Komunitas lokal tidak dipandang sebagai konsumen media semata. Mereka harus dipandang sebagai bagian tak terspisahkan dari kehidupan media lokal. Kegiatan yang mereka lakukan, ide dan gagasan yang disumbangkan, dan relasi yang mereka miliki
adalah modal bagi media lokal. Artinya media lokal harus banyak melakukan kegiatan off air dengan aktif dalam beragam kegiatan komunitas lokal dan menjadikannya sebagai nafas berita.
Para jurnalis media lokal haruslah menjadi bagian dari komunitas lokal di sekitarnya. Aktif dalam beragam kegiatan komunitas lokal dan menempatkan media lokal tempat mereka bekerja sebagai bagian dari komunitas tersebut. Penelitian Yun (2018) menyebutkan ketika komunitas lokal terbangun rasa memilikinya terhadap media lokal maka mereka akan menempatkannya sebagai medium bisnis. Beriklan, jual beli,
penawaran jasa bisa dilakukan melalui media lokal tersebut.
Lebih lanjut penelitian tersebut menyatakan bahwa media lokal harus berhenti berfikir seperti media nasional maupun internasional. Isu-isu besar, nasional dan internasional harus dipandang dalam kerangka pemikiran komunitas lokal.
Digital duopoly adalah ancaman kehidupan media online. Meski demikian selalu ada celah untuk bertahan ketika media lokal mampu mengolah pontesi lokalitas yang dimiliki.
Mubarok, MSi Dosen Program Studi ilmu Komunikasi Unissula Semarang