blank

Oleh: Ahmad Fajar Inhadl, Lc. ME

Tidak sedikit umat Islam yang mengeluhkan Ramadan tahun ini tidak seasyik Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Keluhan ini didasari realita banyaknya kegiatan Ramadan yang dibatasi dalam rangka memutus rantai penularan Covid-19.

Tapi, jika kita mau jujur keluhan itu berbanding tidak lurus dengan realita kita hari ini. Entah disadari atau tidak, ada kecederungan penurunan intensitas ibadah jelang akhir Ramadan karena banyak yang sibuk menyiapkan momentum 1 Syawal. Pikiran dan tenaga terpusat kepada “Pakai apa nanti saat lebaran?”, “Makan apa ya nanti pas 1 Syawal?”. Dan banyak pertanyaan lainnya yang secara tidak kita sadari mereduksi kualitas ibadah Ramadan kita.

Sebelum melanjutkan, mari kita simak bersama apa yang disampaikan oleh Imam Ibn Al-Jauzi: “Sesungguhnya kuda pacu apabila sudah mendekati garis finis, ia akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk memenangkan lomba.

Karenanya, jangan sampai engkau kalah cerdas dari kuda. Karena sesungguhnya amalan itu ditentukan oleh penutupnya. Jika engkau belum menyambut Ramadan dengan baik, setidaknya engkau melepas Ramadan dengan baik”.

Nasehat serupa juga diucapkan oleh Hasan Al-Bashri, beliau berkata: “Perbaiki dan tingkatkan ibadah di waktu yang tersisa di bulan Ramadan. Karena engkau tidak tahu kapan engkau menemukan Rahmat Allah. Bisa jadi engkau memperolehnya di penghujung Ramadan”.

Setelah membaca 2 nasehat di atas, kemudian kita bertanya “Ada apa gerangan, kenapa para ulama menganjurkan dengan sangat kepada kita untuk tidak mengabaikan hari-hari jelang berakhirnya Ramadan?”.

Jika kita membaca pesan Rasulullah SAW dalam beberapa hadisnya, kita akan mendapati fakta bahwa beliau meningkatkan ibadahnya di sepuluh terakhir bulan Ramadan. Beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarga untuk beribadah dan berharap dipertemukan dengan Lailatulqadar.

Tapi, banyak di antara kita yang pesimis, karena tidak bisa iktikaf di masjid, maka peluang untuk bertemu lailatulqadar menipis. Benarkah anggapan yang demikian?.

Tentu saja tidak. Jika kita telaah dan renungkan dengan seksama esensi dan nilai spiritual ibadah Ramadan kita tahun ini sama, hanya teknis pelaksanaannya saja yang berbeda.

Dan juga, ini perlu menjadi catatan penting bagi kita semua, masih banyak ibadah yang bisa kita lakukan untuk menyambut Lailatulqadar. Seperti Zakat, sedekah, memberikan hidangan berbuka, membantu sesama yang terdampak Covid-19 dan ragam ibadah sosial lainnya yang sangat penting dilakukan saat pandemi.

“Banyak jalan menuju takwa”, inilah filosofi yang harus selalu menyala dalam hati kita. Jangan hanya fokus kepada 1 ibadah dan mengabaikan ibadah lainnya.

Jadi, peluang itu masih ada dan terbuka bagi siapapun. Justru pertanyaan terbesarnya kembali kepada diri kita masing-masing. Apakah kita akan menggadaikan kesempatan emas berjumpa dengan Lailatulqadar demi kepentingan duniawi yang sesaat?.

Sehingga kemudian kita merasa nyaman dan mengendorkan frekwensi ibadah kemudian memilih memadati pusat perbelanjaan di tengah pandemi dibandingkan menghias malam kita dengan ibadah. Jangan selalu menyalahkan pandemi, apalagi berujar bahwa ini adalah Ramadan terburuk dalam sejarah. Kita lupa bahwa sejatinya kita adalah seburuk-buruknya umat dalam sejarah Ramadan.

Jadi, jangan biarkan seekor kuda lebih pandai daripada kita. Semoga bermanfaat.

Ahmad Fajar Inhadl Lc. ME. Ketua Komite Syari’ah dan Hukum RSI Sultan Hadlirin Jepara