DI sebuah desa di wilayah pegunungan, ada anak muda belajar ilmu menghilang atau menutup pandangan. Tujuan awalnya agar dia aman dari berbagai kejahatan. Ilmu ini dikalangan umum biasa disebut Aji Panglimunan. Sedangkan dikalangan santri disebut “Hijabul Abshar”.
Antara konsep tradisional dengan ilmu hikmah pendekatannya berbeda. Ilmu tradisional pembangkitannya melalui laku tirakat yang secara umum lebih berat pada awalnya, sedangkan konsep ilmu hikmah (Santri) berbalik, yaitu pada tahap awal tidak dengan tirakat yang berat, seperti puasa, melek (menahan tidur) mutih, namun beratnya dibelakang, yaitu, harus mampu menjaga kerutinan (istikamah) dalam wirid atau doa.
Tradisi lain, di kalangan santri pada umumnya murid tidak perlu melakukan uji coba (tes). Guru sering memberi nasihat,”Ilmu itu tidak perlu dicoba-coba, jika suatu saat ada bahaya atau hal lain yang genting. Insya Allah kelihatan manfaatnya.
Di antara dua konsep ilmu hikmah dan tradisional, ada juga konsep yang mengombinasikan antara keduanya, yang disebut Ilmu “Jawa – Kewalian” Ilmu ini memiliki khas : awalan bacaan basmallah, dan bagian akhir kalimat tauhid. Dan mantranya kombinasi antara bahasa Jawa dan Arab.
Khusus Ilmu Panglimunan, zaman dulu memang ada Guru yang menyuruh muridnya setelah tirakat lalu melakukan “uji coba”, misalnya, melakukan pencurian. Namun ada juga guru menggunakan cara yang lebih santun atau disamarkan.
Misalnya, salah satu pelaku ilmu Panglimunan Jawa Kewalian ala “Hijabul Abshar” oleh gurunya, murid itu dites tanpa dia menyadari dirinya. Yaitu, dia disuruh jualan kelapa di Pasar, dan selama jualan itu dia disarankan membaca amalan wiridnya.
Guru memantau seberapa power ilmu yang barusan dijalani muridnya, apakah sudah aktif atau belum itu dapat dilihat dari jumlah kelapa yang laku. Hasilnya? Pada hari pertama, kelapa laku semua, hari kedua kelapa laku separo, dan berikutnya hingga hari ketujuh kelapa masih utuh, tidak ada yang membeli.
Nah, pada hari ketujuh itu murid dinyatakan lulus, karena ilmu yang dipelajari itu jika sudah mapan, bukan hanya orangnya yang tidak tampak, termasuk barang yang ada disekitarnya pun tidak tampak oleh mata awam.
Setelah lulus dari ujian pertama, berikutnya murid disuruh naik bus antarkota tanpa membawa uang. Untuk jaga-jaga, dia boleh membawa bekal dalam bentuk barang agar jika ilmunya belum aktif, barang itu bisa dijual untuk membayar tiket bus.
Dalam perjalanan, murid itu membaca mantra. Hasilnya, kondektur tidak minta ongkos, padahal penumpang sebelahnya dimintai ongkos. Sayangnya, ketika dia sudah sampai kota tujuan, saat turun dari bus dan berdiri di pinggir jalan (menyalakan rokok), dari arah belakang dia ditabrak becak. Bisa jadi, tukang becak itu tidak melihat ada orang berdiri disitu.
Berbagai uji coba secara rahasia dilakukan agar murid tidak menjadi orang yang merasa wah hingga terlalu percaya diri hingga dikhawatirkan mengarah pada ketakaburan dan buntutnya bisa menyalahgunakan ilmu untuk hal-hal yang melanggar hukum, pencurian atau jenis tindakan serupa.
Karena itu, para guru winasis biasanya membatasi menjanjikan keajaiban–keajaiban ilmu sampai muluk-muluk pada muridnya, karena hal itu bisa mengarah pada ketakaburan.
Membantu Orang Lain
Ilmu pada tahap awal kecenderungannya lebih berlaku bagi diri sendiri. Setelah terus diasah, pelakunya akan menemukan rumus sendiri yang terkadang Guru pembimbingnya pun tak memilikinya. Karena itu, istilah “setinggi pundak tak bisa melebihi kepala” bahwa sepandai murid tak bisa melebihi Gurunya, itu perlu dipertanyakan. Karena pada kenyataannya, banyak murid yang kemudian lebih berkembang dibanding gurunya.
Kisah lain dialami pelaku “Ilmu Panglimunan”. Setelah dia menjalani puasa mutih 18 hari dari yang semestinya 40 hari. Ketika dia terpaksa harus menyelamatkan orang yang berurusan dengan rentenir karena punya utang R 90 juta dan setiap Rp 1 Juta, kena bunga tujuh persen.
Satu-satu cara menyelamatkan diri, dia harus keluar dari kampung halamannya dengan membawa seisi rumahnya. Dia lalu minta bantuan orang yang sudah lulus saat diuji gurunya berjualan kelapa sebagaimana tersebut di depan.
Dia lalu dibacakan mantranya agar yang dibantu itu bisa membawa seisi rumahnya dengan truk dengan tujuan Pulau Sumatra. Anehnya tetangga dan mata-mata rentenir itu tidak melihat dan tidak mendengar aktivitas saat truk mengangkut barang-barang pada malam hari. Pagi harinya mereka heran, padahal perkampungan itu padat penduduk.
Setahun kemudian, setelah ekonominya mapan, orang itu kembali ke desa asalnya dalam posisi sukses berkebun. Intinya, semua ilmu itu ketajaman dan keberkahannya tergantung proses mengasahnya. Bahkan ada pelaku ilmu ini yang sudah 16 tahun mengasahnya, jika ada orang yang berniat kurang baik atau pikirannya sedang tidak tenang (tergesa-gesa), maka orang lain tidak mampu melihat rumahnya.
Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati