Oleh Amir Machmud NS
//… kuziarahi sepak bola// di makam sementara// dalam takzim meminta corona// tak semakin mengumbar liar// kebengisannya//… kubisikkan pada sepak bola// ada rindu meronta// dalam misteri jeda// yang belum terjawab// siapa juara siapa kecewa//mereka pun menanti dalam sunyi…// (Sajak “Ziarah Sepak Bola”, 2020)
SEBAGIAN perasaan dalam hidup kita — setidak-tidaknya saya dan Anda — telah dihumbalangkan oleh sepak bola. Akuilah, atau jika Anda tidak mengakui, sama saja maknanya: Anda sedang merasa kehilangan.
Bukankah kita bisa membayangkan apa yang berkecamuk dalam pikiran Jordan Henderson dan kawan-kawan, saat-saat ini? Hanya dua hal, yakni secepatnya memainkan kembali sepak bola, dan segera mengangkat trofi Liga Primer 2019-2020. Bagi mereka, itu adalah hak yang telah diperjuangkan dengan seluruh jiwa-raga.
Jika gambaran itu yang terjadi, artinya pandemi Covid-19 sudah berlalu, sehingga kerinduan terhadap sepak bola tuntas terlampiaskan. Pemastian gelar untuk Liverpool juga bakal menghentikan sejarah 30 tahun rindu dendam untuk membawa trofi Liga Primer ke lemari arsip di Anfield.
Tanyakan kepada Mohamed Salah, Sadio Mane, Roberto Firmino, juga kepada Marcus Rashford, Luis Suarez, Neymar Junior, atau Raheem Sterling, apa yang mereka ingini? Betapa mereka lapar, ingin segera “berbuka” dari “puasa sepak bola”, kembali menari-nari, berlari, dan memesrai si kulit bundar di lapangan hijau.
Lalu apa yang Juergen Klopp nantikan? Apa yang Ole Gunnar Solskjaer rindukan? Apa yang membuat Pep Guardiola gemas terdahaga?
“Koki-koki” itu rindu meracik skematika, beradu intelegensia, berdiri dalam gegalau perasaan di technical area di depan bangku cadangan, berteriak menginstruksi, berpikir keras melancarkan antitaktik, dan memotivasi pemain di kamar ganti. Ah, momen-momen luar biasa itu sementara harus menyisih karena lilitan pandemi.
Apa pula yang suporter kehendaki? Hanya satu kata: menyaksikan lagi para jagoannya beraksi. Hampir dalam tiga bulan ini komunitas sepak bola kehilangan referensi diskusi. Hari-hari yang sepi, rasa yang meronta karena bola. Dalam tiap persinggungan pembicaraan mereka hanya mengulik rasa keadilan: tepatkah apabila Liverpool dinyatakan otomatis juara, atau pilihan pahit seperti apa andai liga dihentikan. Dalam gambaran keberlanjutan kompetisi tanpa kehadiran suporter, pastilah akan aneh keadaannya ketika para pemain mengangkat piala tanpa ingar-bingar fans yang berpesta.
Nyatanya, memang, penentuan kelanjutan Liga Primer ini terasa lebih rumit ketimbang memutuskan Paris St Germain menjadi juara Ligue 1. Memastikan nasib Juventus di Liga Serie A, Barcelona atau Real Madrid di La Liga, penuntasan Bundesliga, Eredivisie, atau liga-liga lainnya juga terasa tidak se-complicated urusan Liverpool di Liga Primer.
Sepanas itu ragam opini yang mengalir, seekstrem itu faksi-faksi pendapat yang bersilang. Selisih 25 poin antara Liverpool sebagai pimpinan klasemen dengan urutan kedua Manchester City, de facto merupakan realitas jarak yang gamblang. Namun de jure, The Reds masih membutuhkan enam poin lagi untuk mengunci gelar adalah juga realitas yang dijadikan celah bagi para penolak gelar otomatis bagi Liverpool.
* * *
DUA kutub suara fundamental itu sejatinya bergantung pada bagaimana Covid-19 menjadi “hakim” yang akan memutuskan: kompetisi bisa diselesaikan atau harus diformulasikan lain. Itulah ketika narasi rasa keadilan berhadapan dengan kenyataan prioritas tentang simpati, empati, dan sikap sepenanggungan dalam ruang kemanusiaan.
Sepanjang bumi belum dinyatakan bersih dari tarian bengis Corona, sepanjang itu pula sepak bola harus dipahami menjadi prioritas kesekian. Nasib Liverpool pun bisa terbenam ke dalam situasi yang menganggapnya seolah-olah bukan sebagai urusan hak. Andai kita mempermasalahkan hakikat penting atau tidak penting, orang pun bisa sengit mendebat, penting untuk siapa?
Bukankah ini penegasan bukti, betapa di tengah keindahan dan misterinya, sepak bola juga menyimpan suram sunyi “penziarahan”. Hati yang lara kecewa, hasil yang memencilkan perasaan manusia, lalu gumpalan awan duka yang menyertai keputusan-keputusan pertandingan dan sikap organisasi.
Dan, Liverpool kini mengalaminya. Ketika dua langkah lagi trofi sudah menanti, mereka harus menepi oleh sergapan pandemi. Yakinilah, kebesaran hati Juergen Klopp dan para pemain yang menyiapkan keikhlasan untuk menerima yang terburuk dengan label juara tak bermahkota, takkan mampu mengobati kecewa. Saat FA memutuskan kompetisi dilanjutkan, dan rasa-rasanya trofi tak tercegah untuk mereka miliki, pun sejarah akan mengenangnya sebagai ketersendatan proses yang sebagian gairahnya telah tersita.
Liverpool menanti cahaya dalam sunyi. Liga-liga lain menyiapkan “takziyah sepak bola” dalam ziarah rindu yang kelu. Perjuangan, nasib, perjalanan, masa depan, ungkapan perasaan, dan pasrah kepada takdir, dalam berbagai sisi menyemburat sebagai refleksi kehidupan manusia. Sepak bola menyempurnakan kenyataan sebagai kefanaan tata nilai yang bukan sekadar “urusan sepak bola”.
Bahasa penantian Liverpool merupakan contoh lengkap konfigurasi kehidupan, betapa legitimasi keperkasaan yang diperjuangkan dan dibuktikan di “padang kurusetra” tetap bergantung pada elemen-elemen di dalam, di luar, dan di seputar diri kita.
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng