Oleh Widiyartono R.
SAYA tidak pernah punya KTP Wonosobo, yakin! KTP pertama saya Temanggung, karena saya tinggal di Soropadan Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung. Di situlah ayah-ibu saya tinggal, sehingga saya pun berstatus penduduk di tempat tersebut. Kini juga tidak tinggal di Wonosobo, karena sejak selepas SMA Negeri 1 Wonosobo tahun 1981 melanjutkan studi di Semarang, bekerja, beristri orang Semarang, dan menetap (jelas dengan KTP resmi Semarang) di Semarang hingga sekarang.
Tetapi Wonosobo dalam hati saya, adalah kota pertama, Semarang kedua, Temanggung saya anggap ketiga, bahkan angka yang hampir sama untuk Magelang. Ya, karena di Temanggung saya cuma numpang tinggal beberapa hari setelah lahir sampai kelas 4 SD. Lalu pindah ke Wonosobo sampai lulus SD dan satu kuartal di SMP Kristen, kemudian pindah lagi ke Temanggung tetap sekolahnya di SMP Kristen Magelang.
Selulus SMP balik lagi ke Wonosobo sampai lulus SMA. Dari tiga kota itu, teman saya paling banyak dari Wonosobo, kemudian Magelang, yang sampai sekarang masih sering berkomunikasi. sementara teman dari Temanggung sangat sedikit.
Jadi maaf, kalau ditanya asli saya mana, saya bingung. Hanya pasti, saya lahir di Wonosobo, 11 September 1962. Lalu tinggal bersama orang tua beberapa tahun saja di desa, ke Wonosobo lagi ndherek simbah sambil sekolah, dan cukup lama. Dan, sepenuh hati saya merasa, inilah kota saya, karena banyak yang tertinggal di kota ini, banyak yang tersimpan di hati berbagai kenangan di kota tercinta ini.
Kota Dingin?
Semenjak pandemi covid-19 belakangan ini, banyak orang yang merasa “berkewajiban” untuk berjemur. Selain untuk mendapatkan sinar matahari yang mengandung provitamin D, juga dipercaya bisa menangkal virus corona masuk ke dalam tubuh.
Tetapi, soal berjemur, anak-anak Wonosobo setidaknya tahun 70-an sudah biasa. Begini ceritanya, dulu, tahun 70-an semasa saya sekolah di SD Kristen 2 Wonosobo, di Jalan Bhayangkara. Setiap pagi sebelum kelas dimulai, yang terjadi adalah, anak-anak berjemur di depan sekolah.
Mereka berjemur tanpa perintah dari guru, tetapi otomatis saja, setelah memasukkan tas ke dalam kelas lalu ke halaman, berjemur. Dinginnya minta ampun, sehingga berjemur pagi hari sebelum masuk kelas adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa. Maka waktu itu Wonosobo dikenal sebagai “Kota Dingin”. Kemul sarung malam-malam sambil jalan-jalan juga biasa, apalagi kota masih sepi dan penerangan hanya dengan lampu boglamp yang nyalanya kriyip-kriyip.
Sepanjang Jalan Bhayangkara, terutama di depan Tangsi (Mapolres), berjajar tanaman damar, orang juga menyebut sepatudia, dengan bunga pipih merah yang banyak ditemukan di bawahnya. Pada pohon damar itu pula, bersarah ribuan burung pipit (emprit). Maka pada sore hari, pemandangan langit di kawasan itu sangat indah, dengan ribuan burung yang terbang bergerombol untuk pulang ke sarang.
Di kiri-kanan Jalan Bhayangkara ada sungai, terutama di sisi timur yang cukup dalam. Di sungai-sungai ini kami bersama teman-teman biasa nyeser ikan, dapatnya unjar gondhok, paling banter mujahir sebesar ibu jari. Tetapi ada yang juga berani merogoh liang-liang, dan menemukan banyak sekali ikan lele.
Sekarang dua sisi kali itu sudah ditutup untuk trotoar,, dan pepohonan damar sudah berganti pinisium. Mungkin karena sungai ditutup itu, membantu menjadikan Wonosobo tidak sedingin dulu lagi.
Nyeser ikan adalah aktivitas dinamis anak-anak di kala itu. Yang belum pernah nyeser belum sempurna sebagai anak. Sore hari mandi di kolam depan Losmen Dieng, karena air memang masih sangat terbatas. Aliran sungai itu dialirkan ke kolam buatan di depan Losmen Dieng, ada pancuran kecilnya. Dan, dengan nakalnya pula, kami bendung pembuangan air sehingga kita bisa berendam sama-sama sambil berenangan kecil.
Ya, kala itu kota Wonosobo masih dingin, sangat dingin. Saya yang belajar menulis puisi selalu menandai akhir puisi dengan tulisan Kota Dingin, diikuti angka bulan dan tahun. Itu awal-awal 70-an.
Tetapi ketika balik kembali menjadi “warga” Wonosobo menjelang 80-an, iklim mulai berubah. Masih dingin, tetapi tidak sedingin sewaktu saya SD. (Atau karena tubuhku yang sudah lebih kuat?). Tetapi memang, senyatanya sekarang kota dingin itu tak dingin lagi. Beberapa waktu lalu saya menginap di Wonosobo sudah tidak merasa perlu kemulan lagi, karena memang sudah tidak dingin lagi.
Global warming memang sampai kepada kita semua, termasuk Wonosobo. Identitas sebagai “kota dingin” sudah tidak terlalu pas lagi. Tak mungkin lagi saya berjemur pagi hari. Mending langsung antre serabi di kampung Nirmalasari. Tetapi, kota ini tetap aku rindukan, meski telah terjadi perubahan yang amat luar biasa. Terminal dan bioskop Dieng menjadi Taman Plasa, pasarnya sudah berubah tetapi tetap bisa kutemukan sagon dan jipang di sana.
Masjid Al Manshur yang bersejarah di Kauman, Gereja Kristen Jawa “Akoe Iki Pepadange Jagad”, gereja Katolik, GKI di Alun-alun, Klenteng di Gunung Tugel semua masih ada. Hanya saja, aku tidak perlu lagi makan mi ongklok di klenteng Gunung Tugel tempat Pak Muhadi jualan dulu. Pak Muhadi almarhum masih meninggalkan mi ongkloknya tak jauh dari Klenteng Gunung Tugel, di dekat perlintasan rel KA (yang sudah ditutup tentunya).
Alun-alun yang biasa digunakan untuk upacara tujuh belasan, kini juga sudah berubah. Lebih tinggi dari jalan raya. Paseban barat dan timur juga masih ada, meski kemudian terkesan jadi pendek. Tetapi pohon beringinnya masih merindang, menyejukkan kota yang tidak sedingin dulu lagi.
Aku selalu merindukanmu, Wonosobo tercinta.
Penulis adalah wartawan tua kelahiran Wonosobo, kini tinggal di Semarang.