Oleh Amir Machmud NS
STUDI yang seilmiah apa pun akan sulit memastikan, siapa yang sesungguh-sungguhnya terbaik di antara Pele, Diego Armando Maradona, Lionel Andres Messi, atau Cristiano Ronaldo. Apalagi jika parameter itu sekadar didasarkan pada klaim dan subjektivitas. Bahkan indikator kuantitatif pun hanya akan menghasilkan komparasi deret angka trofi, namun sulit menjadi penjamin objektivitas kualitatif.
Terdapat indikator-indikator beda zaman, beda kondisi, beda tantangan, dan beda competitiveness. Juga beda masa edar. Misalnya, Maradona unggul raihan Piala Dunia dibandingkan dengan Messi, namun La Pulga menang dalam koleksi trofi klub dan pengakuan individual. Edson Arantes Do Nascimento “Pele” mengakumulasi tiga Piala Dunia, tetapi Ronaldo menderetkan prestasi yang tidak dimiliki sang “Raja”, yakni lima Ballon d’Or dan lima trofi Liga Champions.
Pun, ke mana kita akan membenamkan jejak pemain yang juga berklafisikasi mahabintang lainnya? Bukankah sejarah mengakui kehebatan Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, Franz Beckenbauer, Bobby Charlton, George Best, Johan Cruyff, Kevin Keegan, Michael Platini, Zico, Eric Cantona, Ruud Gullit, Marco van Basten, Roberto Baggio, George Oppung Weah, Ronaldo Luis Nazario, Zinedine Zidane, Ronaldinho, Andres Iniesta, Zlatan Ibrahimovic, serta talenta masa kini Neymar Junior?
Mereka punya historika sendiri, momen-momen, dan fenomena masing-masing. Objektivitas sejarah juga mencatat keistimewaan para “avenger” itu sebagai pembeda, penentu, dan prasasti show eksepsional yang tak sembarang pemain memilikinya.
* * *
DI TENGAH pergerakan zaman dengan deret pemain istimewa itu, jejak sepak bola yang ditandai oleh tren mediatika seolah-olah memosisikan tiga era besar. Pertama, era keemasan Pele. Kedua, masa-masa Maradona, dan ketiga tahun-tahun persaingan Messi dan Ronaldo.
Saya mencatat, pada era Messi-Ronaldo selama hampir dua dekade ini, bertabur banyak bintang di liga-liga dunia, namun mereka tidak bisa total meroket sebagai “penguasa era”. Kedua “makhluk” istimewa itu, hingga 2019 tak bisa digoyahkan dari puncak orbit.
Iniesta harus rela menjadi “pelengkap” kedahsyatan Messi. Luka Modric dan Mesut Oziel menjadi pendamping Ronaldo. Ibrahimovic bertualang membangun eksistensi dengan gaya dan karakternya sendiri. Neymar dan Kylian Mbappe terpatok hanya sebagai “kesatria ketiga”. Apalagi yang lain-lain, sehebat apa pun tetap mengakui Messi ibarat “alien”, dan Ronaldo membentuk citra kebugaran yang tak ada duanya.
Pada era Maradona, dunia mengakui pengaruh Michael Platini sebagai pemimpin dan pengatur permainan berkarakter kuat. Oleg Blokhin dan Igor Belanov mewakili keaktoran sepak bola Eropa Timur, atau Paul Gascoigne yang mendekonstruksi karakter individual pemain Inggris Raya.
Akan tetapi, kemaharajaan El Pibe de Oro tak tergoyahkan. Bintang yang muncul realitasnya hanya akan mendapat predikat imitasi, misalnya “Maradona dari Carpathian” untuk Georghe Hagi, “Maradona dari Balkan” untuk Dragan Stojkovic, atau deretan “new Maradona” yang disematkan sebagai inspirasi harapan bagi bakat-bakat yang lahir di Argentina. Bahkan termasuk Leo Messi remaja yang mendapat julukan “Next Maradona”.
Baru setelah kejayaan Maradona lewat — sebelum muncul era Messi –, panggung sepak bola dunia dikuasai oleh Ronaldo Nazario da Lima dan Zinedine “Zizou” Zidane. Kemegahan penampilan mereka diselingi edar bintang-bintang yang tak kalah cemerlang. Tercatat nama-nama George Weah, Luis Figo, Eric Cantona, Frank Lampard, Steven Gerard, dan Samuel Eto’o.
Pelatih legendaris Manchester United, Alex Ferguson bahkan sempat menyatakan, kemampuan Paul Scholes sebagai holding midfielder sebenarnya tidak kalah dari Zidane, namun Scholessy rupanya “kurang memikat” media karena bukan tipe bintang yang biasa berbla-bla-bla unjuk “magician skill”.
George Weah punya tempat khusus dalam sejarah para bintang. Pemain asal Liberia yang merintis karier dari AS Monaco, Paris St Germain lalu ke AC Milan itu menjadi wakil Afrika pertama yang meraih pengakuan komplet. Pada 1995 Weah — sekarang Presiden Liberia — terpilih sebagai Pemain Terbaik Afrika, FIFA, sekaligus meraih Ballon d’Or.
Skill hebatnya menghebohkan dunia, di PSG dan memuncak di AC Milan. Weah membubungkan harga diri Afrika di samping nama-nama Thomas N’Kono, Roger Milla, Samuel Eto’o, Didier Drogba, Nwankwo Kanu, lalu sekarang Mohamed Salah dan Sadio Mane.
Masa-masa sebelum Messi dan Ronaldo, walaupun singkat sempat didominasi oleh dua aktor jogo bonito Brazil, Kaka dan Ronaldinho. Sempat pula melejit nama Rivaldo. Ketiganya meraih Ballon d’Or. Rivalvo (1999), Dinho (2005), dan Kaka (2007).
Ronaldinho punya kemampuan “sihir” yang tidak dimiliki rata-rata pemain dunia lainnya. Jugling, dribling, aneka nutmeg, dan gol-gol dengan proses ajaib yang mengekspresikan “happy football”, menempatkan Dinho bukan sebagai mahabintang biasa.
Boleh dibilang, dalam sejarah sepak bola, Dinho adalah pemain dengan bakat dari lahir dan skill istimewa. Aksi-aksi sirkusnya bahkan tidak kita saksikan dari Pele, Maradona, maupun Messi. Sayang, karena gaya hidupnya yang tidak teratur, begitu pendek masa edar Dinho di level top. Dia gagal menjaga konsistensi kebugaran.
* * *
PELE hidup pada era ketika sistem permainan sepak bola belum seketat sekarang. Walaupun cara bertahan yang cenderung keras telah melekat dalam kultur sepak bola Uruguay, Chile, atau Italia, namun skema bermain masih memungkinkan seorang pemain mengumbar show kemampuan individunya. Taktik bermain seperti itu masih kita lihat pada era Di Stefano, Raymond Kopa, Best, Beckenbauer, hingga Cruyff dan Gerd Mueller.
Secara dinamis, calon bintang terus bermunculan, walaupun tidak membentuk era tersendiri. Kini, ketika Messi dan Ronaldo mulai memasuki tahun-tahun pengujung karier, kita nantikan siapa di antara sederet wonderkid yang antre untuk merebut level elite untuk mematok era tersendiri.
Apakah dia Neymar, seniman bola yang seperti lahir pada waktu yang salah? Apakah Kylian Mbappe, yang sejak tiga tahun silam sudah diputramahkotakan? Atau nama-nama ini: Ansu Fati, Vinicius Junior, Rodrygo Goes, Joao Felix, Gabriel Martinelli, Jason Sancho, Phil Foden, atau Billy Gilmour? Dan, pasti secara dinamis masih bakal muncul nama-nama lainnya?
Pembentukan era, pemetaan persaingan, antrean, dan lika-liku perebutan bintang di bursa transfer, sejatinya adalah bagian dari produk “mainan media”. Dalam kancah kapitalisme sepak bola, yang diuntungkan adalah publisitas sebagai jiwa industri liga-liga dunia.
Klub-klub mengelola para calon bintang itu untuk membangun “kerajaan”, sebagai cara terdekat menciptakan aset investasi. Pergulatan wacana di media tentang kehiduan dan masa depan seorang pemain adalah bagian dari pernik budaya pop. Prinsipnya, makin sering muncul dan dibicarakan, makin viral mereka; makin berpotensi pula mengangkat popularitas. Dan, itu berarti membentuk harga pasarnya…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng.