blank
Foto udara suasana gedung bertingkat di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Foto: Ant

JAKARTA (SUARABARU.ID) – Perbincangan cukup hangat sejumlah warga mengenai atmosfer Jakarta mengemuka sepekan terakhir. Cuitan dan unggahan foto mengenai langit Ibu Kota cukup menghibur di tengah kecemasan akibat virus corona jenis baru (covid-19). Kemudian muncul pemahaman baru tentang dahsyatnya virus itu hingga langit pun berubah warna.

Ada beberapa analisis yang diperkirakan menjadi penyebab perubahan warna langit. Yang jelas, selama ini terpatri pemahaman bahwa polusi menyebabkan udara kotor. Dalam beberapa hari terakhir langit di atas Jakarta secara kasat mata terlihat lebih jernih. Kalau cuaca cerah, langit tampak lebih biru dan malam hari bulan bersinar terang.

Rupanya, pemandangan langit seperti itu tidak luput dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Pemandangan langit yang biru kemungkinan dipengaruhi kualitas udara. Sejak sebulan lalu dilakukan beragam pembatasan aktivitas warga DKI Jakarta. Pembatasan dilakukan terhadap angkutan umum, meliburkan sekolah dan mengalihkan kerja dari rumah dan berdiam di rumah.

Sebagian besar aktivitas kota terhenti. Industri juga berhenti dan jalanan sepi sehingga tidak ada polusi. Kebijakan kerja dari rumah atau work from home (WFH) selama pandemi covid-19 serta curah hujan intens dinilai memperbaiki kualitas udara Jakarta.

“Hujan yang turun di Jabodetabek juga turut membantu tercucinya atmosfer dari polusi,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Andono Warih.

Curah Hujan

WFH bukanlah faktor tunggal untuk memperbaiki kualitas udara Jakarta. Faktor lainnya, curah hujan dan terhentinya aktivitas yang memicu polusi udara. Berdasarkan pemantauan di lima Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) yang dikelola Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, hasilnya menunjukkan perbaikan kualitas udara, terutama menurunnya konsentrasi parameter PM 2.5 selama penerapan WFH.

Namun penurunan ini juga konsisten dengan tingkat curah hujan. Ketika curah hujan tinggi, konsentrasi parameter PM 2.5 menunjukkan penurunan dan ketika hari-hari tidak hujan, konsentrasi parameter PM 2.5 sedikit meningkat.

Selain itu, arah angin juga berpengaruh terhadap polutan jenis PM 2.5 ini atau partikel debu halus berukuran 25 mikrogram/m³. Arah angin yang mengarah ke Jakarta juga mempengaruhi konsentrasi parameter PM 2.5.

Buktikan adanya perbaikan kualitas udara di Jakarta bisa dilihat dari pantauan Air Quality Index (AQI) AirVisual pada 31 Maret 2020 yang diakses pukul 11.10 WIB. Saat itu, Jakarta pada urutan ke-40 dari urutan kota-kota berpolusi tinggi. Artinya kualitas udara Jakarta lebih baik dari 39 kota lainnya di dunia, dengan Air Quality Index (AQI) di angka 60.

Pada periode yang sama hingga Oktober 2019, kualitas udara Jakarta menempati peringkat terburuk di dunia. Pembatasan kendaraan pribadi melalui ganjil-genap, mengalihkan orang agar naik kendaraan umum, pemeriksaan gas buang serta penindakan terhadap industri yang menghasilkan polusi dinilai mampu menekan polusi. Hasilnya, kualitas udara Jakarta membaik sejak November 2019.

Musim hujan dinilai sebagai faktor yang mempengaruhi perbaikan kualitas udara. Tetapi yang paling dahsyat adalah merebaknya  virus corona menyebabkan seluruh aktivitas kota terhenti dan terjadi perbaikan kualitas udara.

Ant-trs