GROBOGAN (SUARABARU.ID)– Beberapa waktu terakhir ini, warga Desa Tambakselo dan Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari merasa resah, yang disebabkan adanya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), yang dibuang orang tak dikenal. Dengan adanya limbah B3 ini, membuat masyarakat menjadi tidak nyaman.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Grobogan yang mendapatkan laporan itu, langsung mengirimkan tim untuk terjun ke lokasi, pada Kamis (13/2/2020). Dari pemeriksaan sementara, limbah itu diduga berasal dari Fly Ash Bottom Ash (FABA), atau limbah batu bara. Pihak DLH menduga, limbah itu berasal dari daerah lain.
BACA JUGA : Ratusan Siswa SMKN 1 Purwodadi Ikuti Latihan Ketarunaan
”Di Kabupaten Grobogan tidak ada industri yang menggunakan energi dari batu bara. Kita sudah lakukan koordinasi dengan DLH Provinsi Jateng serta Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup,” jelas Kepala DLH Grobogan N Agus Prastowo.
Pihaknya juga sudah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk kepolisian untuk menindaklanjuti kejadian ini. ”Dari dampak yang ditimbulkan, kami menduga limbah B3 itu merupakan limbah FABA atau batu bara. Namun pembuktiannya perlu diperiksa dalam laboratorium,” tambahnya.
Agus mengungkapkan, hasil pemeriksaan sementara, limbah jenis ini telah membuat beberapa pohon mati. Jika limbah ini terbawa angin, debu-debu yang berterbangan akan menyebabkan warga mengalami gangguan pernapasan. Tak hanya itu, jika turun hujan, limbah ini akan mengalir ke sungai dan membuat kerusakan ekosistem sungai.
”Pengelolaan limbah B3 ini harus dilakukan di tempat yang sudah mendapatkan izin dari kementerian. Dari pabrik ke distribusi pengangkutan hingga ke tempat pembuangan atau pengelolaan limbah, harus tercatat. Jika ada penyelewengan, maka bisa ditindak secara hukum,” tambahnya.
Sejak 2013
Semula masyarakat di kedua desa itu tidak mengetahui bahwa limbah ini sangat berbahaya. Kepala Desa Tambakselo, Sareh Joko Prasetyo menyatakan, peristiwa pembuangan limbah FABA ini sudah terjadi sejak enam tahun silam atau sekitar 2013.
”Warga mengira, awalnya itu pasir biasa dan dipergunakan untuk urug. Akan tetapi, setelah diberikan sosialisasi, bahwa itu bukan pasir biasa tetapi justru limbah yang berbahaya, warga tidak lagi melakukan urug dengan bahan itu. Kami berharap permasalahan ini segera ditindaklanjuti, sehingga tidak terjadi kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi,” harap Sareh Joko.
Hana Eswe-Riyan