WONOSOBO-Muhibbin Afton (21)), pemuda asal Kemiri RT 03 RW 02 Kelurahan Wringinanom Kertek Wonosobo, terbilang gigih dan ulet. Di usia yang masih muda, sudah sukses merintis usaha peternakan kambing Marino dan Domba Wonosobo (Dombos) di rumahnya.
Pria yang lahir di Wonosobo, 1 April 1998 ini, coba menyingkirkan image kalau menjadi peternak itu susah lantaran setiap hari mesti ngarit (merumput) untuk makanan ternaknya. Afton pun kini menjadi peternak milenial dengan manajemen modern.
Kenapa peternak milenial? Ya, pasalnya, dirinya memanfaatkan tehnologi digital untuk belajar seluk-beluk mengelola usaha peternakan kambing. Saat memasarkan kambing pun,
lulusan MAN 1 Wonosobo 2016 ini, melakukan dengan cara online.
“Kalau jadi peternak harus selalu merumput itu repot. Karena komoditi rumput terbatas dan jumlah kambing banyak, pasti makanan ternak tidak tercukupi. Peternak malah jadi budak kambing. Saya nggak mau itu. Mesti kambing yang harus jadi budak saya,” katanya.
Dengan cara modern, pemuda berpembawaan santai ini, meramu kleci (kulit ari) kedelai, kosentrat dan daun kangkung kering untuk dijadikan sebagai makanan kering atau instan bagi kambing-kambing piaraannya. Cara ini dipandang lebih praktis dan irit.
“Menu instan tersebut saya berikan dua kali sehari, setiap jam 07.00 dan pukul 16.00. Jadi saya nggak perlu susah-susah mencari rumput yang membutuhkan waktu dan tenaga banyak. Tinggal bikin makanan instan, cukup,” sebutnya, Minggu (1/12).
Bagi kaum milenial, pemilik Griya Ternak Farm Milenial ini berpesan, bisa mulai merintis usaha apa saja sesuai passion-nya. Dengan kerja keras, terus belajar dan membangun networking (jaringan), usaha yang dirintis pasti akan berkembang pesat.
Jual Kiloan
Menurut pemuda yang masih lajang ini, meski makanan instan tapi punya nilai gizi yang tinggi untuk kambing, karena kulit kedelai dan kangkung kering mengandung serat dan protein yang baik bagi pertumbuhan dan penggemukan kambing.
Kini Afton memiliki sekitar 1.000 ekor kambing Dombos dan Marino yang ditarung dalam tiga kandang miliknya. Kambing dengan kualitas unggul piaraanya bisa laku sampai Rp30 juta, sedang kambing termurah Rp500 ribu per ekor.
“Bibit kambing saya dapat dari banyak cara. Ada yang dari peternak di kampung, beli di pasar hewan, pesan di penyedia kambing peranakan hingga membudidayakan peranakan sendiri. Saya berusaha mencari bibit kambing dengan kualitas bagus,” bebernya.
Bibit kambing yang dibeli, imbuhnya, masih berumur sekitar 4 bulan. Setelah digemukan selama 60 hari kambing sudah siap dipasarkan. Selain memenuhi pasar lokal, kambing Dombos dan Marino dijual ke Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi.
“Kambing dijual tidak dengan sistem ekoran, tapi kiloan. Satu kilogram kambing bisa laku Rp40 ribu dan satu kilogram bibit kambing Rp15 ribu. Setelah digemukkan bobot kambing bisa naik sampai 70 kilogram. Per kambing bisa untung Rp400 hingga Rp500 ribu,” paparnya.
Semula, kata Afton, dirinya hanya punya kambing empat ekor kambing yang dibeli Rp4 juta ketika masih sekolah di MAN 1 Wonosobo. Namun setelah besar empat kambing hanya laku Rp 4,5 juta. Selama delapan bulan merawat kambing hanya dapat untung Rp500 ribu.
“Pengalaman pahit itu memicu semangat saya untuk terus maju. Saya belajar dari peternak kambing yang sudah sukses di Kendal, Sidoarjo Jawa Timur dan Bogor,” ujar Afton yang juga pernah rugi hingga ratusan juta karena kambing mati dan kapusan (tertipu).
SuaraBaru.id/Muharno Zarka