Sampah Plastik dan Harapan Petani Singkong
Oleh :Arrazi Rahadiyan
INDONESIA masuk ke dalam peringkat kedua penghasil sampah plastik ke laut terbesar di dunia. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam waktu satu tahun dari 100 anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menghasilkan lebih dari 10 juta lembar sampah kantong plastik. Jumlah tersebut setara dengan 65,7 hektare luas kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola.
Kampanye pelarangan penggunaan plastik sekali pakai dalam mengurangi sampah plastik yang dilakukan oleh pemerintah dirasa kurang efektif. Di beberapa minimarket sudah menerapkan penggunaan kantong plastik berbayar untuk mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai, namun langkah tersebut dinilai sangat tidak efektif berdasarkan nominal yang dibayarkan untuk menggunakan kantong plastik tersebut sangat murah.
Plastik merupakan produk serbaguna yang saat ini tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Keunggulan yang dimiliki plastik sangat beragam mulai dari bentuknya yang fleksibel, ringan, dan kuat. Plastik juga memiliki harga yang relatif murah dengan berbagai macam fungsi yang sangat membantu memudahkan berbagai pekerjaan manusia. Di balik keunggulannya, plastik juga memiliki kelemahan yang bisa membahayakan makhluk hidup di bumi ini, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Plastik yang tidak berbahaya bagi makhluk hidup terutama bagi manusia adalah plastik jenis polyethylene terephthalate, high density polyethylene, low density polyethylene, dan polypropylene, sedangkan plastik yang berbahaya adalah plastik jenis polyvinyl chloride, polystyrene, dan polycarbonate. Meski demikian, masih ada jenis plastik yang tidak dapat digunakan secara berulang-ulang bahkan ada yang membutuhkan waktu yang sangat lama untuk musnah jika hanya ditimbun dengan tanah, dimana plastik tersebut semakin lama akan semakin menumpuk dan sulit terurai jika tidak segera dilakukan pengolahan dan daur ulang dengan cara yang benar.
Berbagai inovasi dari hasil daur ulang sampah plastik telah banyak bermunculan dan berkembang menjadi sesuatu yang bermanfaat seperti kerajinan, batu bata, paving, bahkan menjadi bahan bakar minyak, namun implementasi yang terlaksana di lingkungan masyarakat masih sangat sedikit. Kesadaran masyarakat yang masih rendah dan perilaku konsumtif milenial yang ingin serba instan saat ini membuat sampah plastik menumpuk di tempat sampah sehingga banyak sampah plastik yang terbuang tidak pada tempatnya. Banyak sampah plastik yang terbuang atau sengaja dibuang di pinggir jalan, selokan, bahkan aliran sungai hingga ke laut yang bisa menyebabkan pencemaran lingkungan yang berdampak pada kelangsungan hidup biota laut yang dapat mengakibatkan cacat, kematian, bahkan kepunahan pada biota laut.
Plastik Berbahan Dasar Singkong
Alternatif lain dalam mengurangi penumpukan sampah plastik yaitu dengan mengganti bahan dasar yang digunakan untuk membuat plastik yaitu dengan menggunakan tanaman singkong. Singkong merupakan salah satu bahan dasar pembuatan plastik yang berasal dari bahan organik yang dapat dibeli dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan tanaman pangan lain seperti jagung. Sudah banyak perusahaan yang membuat plastik dengan bahan dasar singkong di antaranya Avani Eco, Greenhope, Telobag Natural, dan beberapa perusahaan lainnya.
Keunggulan plastik berbahan dasar singkong ini hanya membutuhkan waktu 2-6 bulan untuk dapat terurai secara alami, sedangkan plastik pada umumnya membutuhkan waktu 100-500 tahun untuk dapat terurai dengan baik. Menurut data hasil survei pertanian dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2014 jumlah produksi ubi kayu termasuk jenis singkong sebesar 23.436.386 ton. Angka tersebut selalu mengalami penurunan hingga pada tahun 2018 jumlah produksi ubi kayu termasuk jenis singkong hanya sebesar 19.341.233 ton, dimana angka tersebut menunjukkan pertumbuhan pada jumlah produksi tanaman ubi kayu termasuk jenis singkong mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir.
Kelemahan pada plastik berbahan dasar singkong ini adalah biaya produksi yang cukup mahal, sehingga belum banyak perusahaan yang mau bergerak di bidang pembuatan plastik berbahan dasar singkong. Hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perusahaan enggan membuat plastik dengan bahan dasar singkong sebagai plastik ramah lingkungan.
Diharapkan kepada pemerintah dapat dengan bijak membuat keputusan untuk mengatasi permasalahan sampah plastik non-organik. Bukan hanya dengan membuat kampanye atau gerakan larangan saja untuk menggunakan plastik, melainkan dapat mensosialisasikan kepada masyarakat khususnya generasi milenial untuk menggunakan plastik ramah lingkungan berbahan dasar singkong. Solusi ini juga diharap dapat berlangsung di beberapa pusat perbelanjaan serta pasar swalayan dengan menerapkan tarif untuk setiap kantong plastik belanja ramah lingkungan berbahan dasar singkong.
Penerapan penggunaan plastik berbahan dasar singkong dapat menjadi solusi yang terbaik untuk mengatasi permasalahan daur ulang sampah plastik yang sulit terurai, permasalahan pola perilaku konsumtif generasi milenial yang serba ingin mudah dan instan, sekaligus menjadi solusi untuk meningkatkan produksi singkong di Indonesia yang dapat memengaruhi kesejahteraan petani dan mengurangi dampak dari pencemaran lingkungan bagi makhluk hidup. (Arrazi Rahadiyan Mahasiswa Politeknik Statistika STIS)
Suarabaru.id