AKU bangun tidur dengan hati yang sangat senang. Hari ini, aku akan mengikuti upacara
pemotongan rambut gimbal, orang di sini menyebutnyaruwatan. Ini upacara sakral yang sudah dilakoni nenek moyang entah sejak berapa puluh tahun yang lalu.
Namaku Lera. Sebulan lagi, tepat di bulan Mei usiaku genap 7 tahun. Aku adalah anak yang tinggal di daerah dataran tinggi Dieng yang memiliki rambut gimbal. Iya, gimbal sungguhan, bukan buatan salon. Rambut gimbal tak bisa disisir, dan tampak kumal.
Sebelum aku cerita tentang ruwatan dan prosesi rambut gimbalku, apakah kamu tahu Dieng itu ada di mana? Deing berada di tengah pulau Jawa. Jadi kalau pulau Jawa diberi garis kotak, lalu kita beri tanda silang, maka Dieng persis ada di pertemuan dua garis menyilang itu.
Cobalah buka peta kalau tidak percaya! Dieng berada di ketinggian sekitar 2000 meter. Suhu disini memang sangat dingin, bahkan pada bulan-bulan tertentu bisa melebihi titik beku. Walau begitu aku sudah terbiasa dengan suhu seperti itu.
Menurut kepercayaan penduduk Dieng, konon, dulu di Dieng ada seorang pemuda bernama Kolodete. Pemuda ini dikenal sebagai orang sakti dan mempunyai rambut gimbal. Suatu hari, Kolodete meminta kepada Kerajaan Mataram, agar dia bisa melindungi rakyat.
Namun, Kerajaan Mataram tidak mau mengabulkannya. Kolodete sangat kecewa dan bersumpah apabila keinginannya tidak dikabulkan, maka semua keturunannya akan berambut gimbal. Jadi semua anak yang berambut gimbal, menurut kepercayaan adalah keturunan Kolodete.
Dulu saat aku awal mulai muncul rambut gimbalku, aku masih berusia 6 tahun. Waktu itu aku demam tinggi. Setelah diperiksa, dokter hanya mengatakan kalau hanya panas biasa. Lalu bersamaan dengan sembuhnya sakitku mulailah rambut gimbal muncul di kepalaku.
***
Rambut gimbal ini tidak bisa dipotong secara sembarangan, tapi harus dilakukan ruwatan. Pernah ada penduduk yang tak percaya dan nekat memotong rambut gimbal anaknya. Esoknya, anaknya diserang demam dan rambut gimbalnya tumbuh lagi.
Bapak dan Mamakku tak mau aku mengalami hal yang sama, dan karenanya memilih menjalani ruwatan ini. Hari inilah akan diadakan ruwatan pemotongan rambut gimbal. Tak hanya aku, tapi ada sekitar sepuluh anak yang akan mengikuti upacara ini.
Anak-anak ini bukan hanya berasal dari Dieng, tapi juga ada yang tinggal di Kota Wonosobo dan Banjarnegara. Ketika aku tengah bersiap mengikuti ruwatan, Bara, kakakku masuk ke kamarku dan bertanya:
“Lera, nantimau minta apa?,”
“Aku ingin sepeda roda dua, Mas!,” jawabku.
“Kenapa harus sepeda roda dua? Minta sepeda motor saja! Jadi kita bisa pergi kemana-mana tanpa harus berkeringat,” kata kakakku.
Aku berpikir, sebenarnya enak juga ya menggunakan sepeda motor. Aku pun menyetujui usul Mas Bara. Kulihat Mas Bara tersenyum seperti puas dengan sesuatu. Aku heran dengan sikap Mas Bara itu.
Kabut tipis masih terlihat ketika aku, Bapak,Mamak, dan Mas Bara berangkat ke tempat ruwatan akan digelar. Upacara ruwatan ini dimulai dengan menanyai satu-satu permintaan anak-anak berambut gimbal, yang itu harus dipenuhi oleh orang tua mereka.
Masing-masing anak mulai menyebutkan permintaannya. Dan tibalah giliran aku ditanya,
dan seketika aku menjawab: “Sepeda motor. Ya, aku mau dibelikan sepeda motor!”
Bapak kaget dan tampak bingung dengan permintaanku itu.
Orang-orang yang mengelilingiku tersenyum dan sebagian ada yang tertawa. Apakah permintaanku terdengar lucu? Entahlah.
“Lera, sepeda motor terlalu berbahaya buatmu. Umurmu sajabaru tujuh tahun. Lagi pula, Bapak Mamak mboten sanggup membelikanmu sepeda motor. Ayah belikan sepeda roda dua saja ya!” kata Ayah kepadaku.
“Sepeda seperti punya Toni dan Soimah itu?” sahutku.
“Iya, yang lebih bagus dari punya mereka,” jawab Bapak.
Sebenarnya aku ingin mengatakan iya, aku mau. Tapi Mas Bara yang berada di sebelahku berbisik: “Lera, kamu harus tetap meminta sepeda motor. Bapak pasti punya uang!” bisik Mas Bara pelan.
****
Bisikan Mas Bara itulah yang membu atiku tetap bersikeras agar dibelikan sepeda motor.
Sementara itu, warga di sekitarku mulai menakut-nakuti orang tuaku. Mereka mengatakan kalau orang tuaku tidak mau mengabulkan permintaanku, rambut gimbalku akan tumbuh lagi.
Bapak hanya mengangguk, barangkali akan betul-betul mengabulkan permintaanku. Dan upacara ruwatan diteruskan. Aku bersama anak-anak yang lain mengikuti arak-arakan keliling kampung dari rumah tetua adat.
Kemudian kami dibawa ke kompleks Dharmasala untuk mengikuti jamasan rambut atau kami akan dimandikan. Katanya, air jamasan rambut diambil dari tujuh sumur.
Setelah mengikuti jamasan rambut, kami di arak ke kompleks candi Arjuna di Dieng.
Banyak wisatawan yang turut serta menyaksikan upacara ruwatan itu.setelah doa-doa dipanjatkan, rambut gimbalku kemudian dipangkas oleh sesepuh kampung kami.
Rambut gimbalku dan anak-anak lain kemudian dilarung ketelaga Balekambang, tak jauh dari Dieng. Setelah itu, semua anak yang sudah dipotong rambut gimbalnya boleh pulang dan mendapatkan apa yang tadi diminta saat awal upacara.
Ketika aku masuk rumah, sudah ada sepeda mini seperti punya Toni, teman sebayaku.
Anehnya saat aku melihat sepeda baruku itu, dan bukan sepeda motor, aku sangat senang.
Saking senangnya, aku bahkan memeluk dan mengelus sepedaku itu. Sampai di rumah, Mas Bara langsung mendatangiku.
”Lera, kamu kan awalnya sudah meminta sepeda motor? Rambut gimbalmu pasti akan tumbuh lagi, lihat saja nanti!” Mas Bara seperti marah, dan segera pergi.
Aku sangat takut mendengarnya. Aku menangis karena saking takutnya. Mamak langsung mendatangiku dan memelukku.
“Kenapa to,Nduk? Tidak usah menangis. Coba bilang samaMamak, ana apa?”
“Tadi, Mas Bara menakuti aku kalau nanti rambut gimbalku akan tumbuhlagi. Aku emoh, Mak. Emoh!” jawabku sambil terus menangis.
“Sudah, nggak papa. Rambut gimbalmu nggak akan tumbuh lagi. Tenang saja,” Mamak kembali menenangkan. Aku masih sesenggukan ketika Toni dan Soimah memanggilku. Segera aku seka air mataku dan mengeluarkan sepeda baruku.
****
Tapi, malam hariku aku terpikir laku tentang rambut gimbalku. Kadang, aku bermimpi rambut gimbalku tumbuh lagi dan teman-temanku menertawakanku. Setelah itu, aku akan terbangun dengan sangat takut. Hal itu terjadi berulang ulang dan sangat menggangguku.
Namun, akhirnya setelah dua bulan berlalu, rambut gimbalku ternyata tidak tumbuh lagi.
Aku sangat lega. Ucapan Mas Bara bohong belaka, barangkali ia cuma ingin memenuhi keinginannya yang belum terkabul, dibelikan sepeda motor.
Dengan enggan, Mas Bara meminta maaf kepadaku dengan sikapnya yang tidak baik. Aku memaafkan Mas Bara. Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi bermimpi buruk tentang rambut gimbal.
Sekarang aku telah berumur sebelas tahun. Upacara pemotongan rambut gimbal yang dulu aku ikuti, sudah berlalu sekitar empat tahun yang lalu. Walau begitu, aku tidak bisa melupakan semua kenangan yang pernah aku alami waktu itu. Aku akan tetap terus mengingat semuanya.
Jeaninta Ulya Muhammadi, siswa Kelas VI SD Muhammadiyah Bilingual Full Day School (MBF) Al-Adzkiya Wonosobo, pemenang juara harapan 1 nasional lomba menulis cerpen Festival Lomba Literasi Nasional (FL2N) tahun 2019.