Oleh : Hadi Priyanto
“Adoh ratu cedhak watu atau Adoh lonceng cedhak celeng” mungkin dua peribahasa Jawa yang tepat untuk menggambarkan desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Sebab desa yang dikelilingi gunung.
Sebelah timur Gunung Watu Tumpuk, Termulus dan Gunung Watu Payon. Sedangkan sebelah selatan ada Gunung Sapto Argo dan Gunung Toklik serta sebelah barat Gunung Candi Angin dan dan Gunung Gajah Mungkur. Sementara disebelah utara Desa Tempur ada Gunung Tugel dan Gunung Ngepah.
Karena letak geografisnya menjadikan Desa Tempur masuk daerah yang unik. Sebab desa ini berada di dalam Kawah Gunung Muria sekaligus merupakan daerah hulu aliran Sungai Gelis.
ecara geomarfologi Desa Tempur berada di suatu lembah dikelilingi empat bukit yang semakin rapuh karena penebangan tidak terkendali, Bukit Sekedug, Semerak, Gilimalang dan Bukit Kalikondang. Bukit ini terbentuk karena sisa vulkanik dengan kelerengan miring hingga curam. Sedangkan secara geologi, Desa Tempur tersusun diatas litologi lava dan tanah lapukan bebatuan.
Karena telah terjadi penebangan tidak terkendali kala itu, empat bukit yang harusnya berfungsi sebagai pelindung desa ini justru bisa menjadi ancaman. Apalagi jika musim penghujan tiba dengan curah hujan yang tinggi.
Semua cemas berharap belas kasihan Tuhan, agar tanah longsor tidak terjadi seperti pada Oktober 2011. Semua infrastruktur yang menghubungan Tempur – Damarwulan hancur, luluh-lantak. Memang hampir tiap tahun ada saja tanah yang longsor di desa ini, seperti yang terakhir terjadi di Dukuh Duplak yang membuat 160 KK sesaat terisolir.
Karena itu desa ini dipetakan menjadi salah satu desa rawan bencana di Jepara hingga mulai tahun ini harus dipasang 3 alat diteksi dini tanah longsor dan 1 alat untuk memantau curah hujan.
Namun dari desa yang dikelilingi oleh bukit kaki gunung Muria ini kita dapat belajar. Bukan saja tentang anugrah Tuhan berupa keindahan alam yang luar biasa, tanah yang subur, air yang melimpah, tetapi juga kerukunan hidup umat beragama. Wujudnya begitu kongkrit.
Sejak lama di desa ini, tepatnya di dukuh Pekoso telah berdiri bangunan masjid dan gereja yang berhadapan, hanya dipisah jalan kecil tidak lebih empat meter, tidak jauh dari pohon Nangka peninggalan Mbah Abiyoso – Mbah Kamunoyoso.
Pohon Nangka raksasa yang diyakini oleh banyak orang usianya lebih tua dari Desa Tempur ini menjadi salah satu simbul persahabatan dan persaudaraan kedua leluhur desa.
Masjid didirikan oleh seorang tokoh bernama H. Syafudin dan gereja oleh seorang tokoh bernama Bu Poniyah. Tentu dibantu oleh tokoh dan warga setempat. Masjid itu kini bernama Masjid Jami’ Assuhada dan gerejanya bernama GITJ Tempur.
Memang di desa Tempur ada agama Islam dan Kristen. Namun juga ada jejak peninggalan Budha yang dirawat dengan baik oleh warga. Namun mereka hidup rukun dan saling tolong menolong seperti yang telah diajarkan turun temurun oleh para pepunden mereka seperti Mbah Wariyo, Buyut Sewo, Mbah Romban, Mbah Muhamad Salim dan pepunden yang lain.
Juga sikap arif dan kasih sayang Eyang Wikujati dari pedepokan Candi Angin yang konon memilih meninggalkan Majapahit di penghujung kerajaan ini bersama tiga murid tercintanya, Bagus Padang, Mayapati dan Wangsaguno.
Demokrasi Bermartabat
Dari desa Tempur kita juga bisa belajar tentang demokrasi yang benar-benar menjunjung tinggi nilai dan martabat kedaulatan rakyat, utamanya dalam Pemilihan Petinggi.
Sejak lama di desa ini politik uang dalam Pilpet tidak ada dan bahkan ditentang oleh warga. Itu pengakuan mantan Petinggi Tempur Mbah Gunawan dan Sutoyo, yang kini menjabat sebagai Petinggi Tempur. Hanya saja saat pemilu legeslatif, bangunan ini dinodai oleh ulah para caleg untuk meraih dukungan pemilih.
Namun demikian, pada Pilpet yang nanti akan digelar tanggal 17 Oktober, warga, dua orang calon dan panitia sepakat menolak praktek politik uang untuk meraih dukungan. Bukan hanya sebatas formalitas menandatangani surat pernyataan sebagai sebuah persyaratan pencalonan.
Warga Tempur meyakini, bahwa dalam Pilkades, Tuhan sedang menggunakan kuasa-Nya untuk memilih pemimpin di desa. Juga tradisi kejujuran dan tanggung jawab yang diwariskan oleh para leluhurnya dalam memilih seorang pemimpin.
Harapannnya, petinggi yang nanti dipilih dapat amanah dan fokus mengemban tugas mensejahterakan warganya. Tanpa harus berusaha memainkan anggaran desa untuk mengembalikan modal politiknya.
Saat ini Desa Tempur yang terdiri dari 25 RT dan 6 RW yang berada dii dukuh Kemiren, Petung, Pekoso, Glagah, Karangrejo dan Duplak memiliki hak pilih 2.845 orang. Sedangkan calon yang ikut kontestasi dalam Pilpet adalah dua orang, yaitu mantan Petinggi Sutoyo dan Mariyono.
Kedua calon sepakat tidak akan menggunakan politik uang dalam proses demokrasi ini. Warga juga akan memegang teguh tradisi, tidak ada politik uang dalam Pilpet. Mereka sadar, bahwa kemurnian pilihan dalam Pilpet sangat berarti bagi pembangunan desa
Padahal mata pencaharian penduduk desa ini sebagian besar adalah petani, buruh tani, tukang dan sebagian menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Sementara, di desa-desa yang lebih maju, baik pendidikan maupun kondisi sosial ekonominya, justru masih dihantui oleh politik uang. Bahkan banyak warga yang menentukan pilihannya atas dasar pemberian uang dari para calon. Bahkan tidak jarang mereka melacurkan hak politiknya, menerima pemberian semua calon tanpa rasa bersalah.
Mungkin peribahasa Jawa, yang tertulis dalam Jongko Joyoboyo, saiki jamane jaman edan, yen ora edan ora bakal keduman. Nanging sak bejo-bejone wong edan, luwih bejo wong kang eling lan waspodo bisa menjadi penuntun sikap kita dalam menjaga kedaulatan rakyat.
Bukan saja dalam membangun demokrasi yang lebih berkeadaban, tetapi juga dalam membangun peradaban bangsa ini. Persoalan sebenarnya pada pillihan yang sangat sederhana, apakah kita mau menjadi bagian dari wong edan atau menjadi bagian wong kang eling lan waspodo.(*)
Penulis adalah pensiunan PNS di Jepara dan penulis buku.