blank

 

Napak Tilas Hari Jadi Lasem

Oleh : Abdullah Hamid

SEMOGA dari tulisan ini kita dapat belajar dari sejarah yang berkeseinambungan, mengambil saripati dan sumber inspirasi bagi masyarakat Lasem. Sebagai sebagai sebuah refleksi saya tidak ingin menulis Lasem  masa kejayaan saja. Sebagai sebuah sejarah harus utuh  juga menulis masa kepahitan kalau ada. Sebagai sebuah romantika penuh suka dan duka agar kita mengambil hikmahnya.

Dalam kitab Sejarahe Kawitane Wong Jawa dan Wong Kanung diceritakan Kekuwuan Lasem- Argasoka adalah nama sebuah kota kecil kuno (kekuwuan) yang berdiri di bekas reruntuhan Kerajaan Pucangsula pada abad ke-9, negeri Pucangsula diperkirakan hilang akibat bencana alam pada masa meletusnya Gunung Sangkapura di sebelah timur (Pulau Bawean) juga akibat meletusnya Gunung Muria di sebelah barat (Pulau Muria/Pulau Maura/Muryapada).

blank
Pendopo Tejokusuman dengan “makara” nya yang melambangkan Lasem Abad 9

Ekspedisi Kerajaan Pucangsula Lasem Masa Kalingga Abad 7 (Penelitian Bapak Gunadi Kasnowiharjo, M.Hum Peneliti Utama BALAR Yogya). Lasem masih bernama Pucangsula Kerajaan Besar  berdiri semasa hidup Ratu Shima adalah ratu penguasa Kerajaan Kalingga bawahannya yang terletak di pantai utara Jawa Tengah sekitar tahun 674 M

Sebenarnya Kekuwuan Lasem ini tidaklah yang pertama berdiri di tanah Nusa Argapura. Sebelumnya terbagi Kedhatuan Tanjungputri yang terletak di utara-timur Pegunungan Lasem Argapura (sekitar desa Tanjungsari sekarang) dan juga Kerajaan Pucangsula yang terletak di pesisir barat Pegunungan Lasem yang terkenal dengan armada laut di bawah Ratu wanitanya yang kuat.

Tanjungputri menjadi desa kecil (penduduknya mengungsi/membuka desa baru di tempat lain) dan Kerajaan Pucangsula hilang akibat bencana alam.

Kekuwuan Lasem menempati tanah bekas lautan di dataran rendah sebelah barat lereng Pegunungan Lasem yang mengalami pengendapan dan pendangkalan akibat bencana alam (gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, sedimentasi).  Kota kuno Lasem  ini didirikan oleh Ki Welug yang bergelar Rangga dan mendapatkan nama kehormatan Widyabadra, sehingga orang menyebutnya Ki Rangga Widyabadra. Ia mendapat gelar tersebut karena menyelesaikan masa belajarnya di padepokan Gambiran. Berbondong-bondong masyarakat Kanung dari daerah Criwik dan Sindawaya, rombongan ini turun gunung dan membuka lahan pemukiman di sebelah barat Pegunungan Lasem yang kala itu masih berupa rawa-rawa dan hutan belantara.

Tokoh yang berperan penting dalam rombongan tersebut adalah Ki Wêkêl dan Ki Wêlug. Mereka adalah kakak beradik dan kemungkinan mereka adalah orang-orang berpengaruh di kalangan masyarakat Kanung di sekitar Dataran Criwik hingga Sindawaya. Alasannya, mereka yang memimpin suatu kelompok masyarakat apalagi di zaman kuno, adalah mereka yang berperan penting di dalam masyarakat, orang yang dituakan, orang bijaksana serta cerdas, disegani dan mereka yang dianggap mampu memimpin masyarakat agar menjadi lebih baik.

Saat sampai di dataran baru tersebut, rombongan pun akhirnya terbagi 2. Mereka yang ikut Ki Wêkêl membuka perkampungan di sebelah barat Sungai Lasem tepatnya di bumi Tegalamba-Karas, sedangan Ki Wêlug membuka perkampungan di barat Gunung Argasoka (Tapaan) tepatnya di bumi Sumbersili.

Rombongan Ki Wêkêl mengadu nasib menjadi Tani-pokol, mereka menanam jagung-kodhok, kacang-tholo, dan télo-êlung. Perkampungan yang mereka dirikan ini disebut Têgalamba dan Karas (Karasmula, Karasgêdhé, Karaskêpoh).

Rombongan lain yang dipimpin oleh adik Ki Wêkel yaitu Ki Wêlug, enggan untuk membuka perkampungan terlalu jauh dari daerah asalnya. Mereka membuka kampung di sekitar lereng Gunung Bugêl dan Gunung Gêbang, serta daerah di lembah sebelah barat Peg.Lasem yang tanahnya banyak terdapat sumber mata air dan airnya menggenangi daratan sehingga menjadi rawa-rawa Di sini banyak terdapat ikan kutuk (ikan gabus) dan ikan sili yang ukurannya besar-besar. Dari sanalah, masyarakat tersebut menyebut daerah ini Sumbêrsili. Mereka hidup sebagai Tani-ngothèk, hidup dengan mengunduh buah-buahan yang ada di hutan, serta menangkap ikan-ikan di rawa-rawa.

Orang-orang Tani-pokol dan Tani-ngothèk yang dipimpin Mpu Widyabadra tersebut merasa guyub dan senang sekali. Masyarakat lalu mengangkat Ki Wêlug Widyabadra menjadi Rangga, Pemimpin Karya. Dia lalu pindah dan membuat tempat tinggal baru yang dinamai Kêranggan. Tak menunggu waktu lama, desa tersebut menjadi semakin ramai seperti kota. Kemudian daerah itu dinamakan “Lasem” di musim Bêdhidhing, taun Masehi 882 M, diadakan upacara agung. Mpu Rangga Widyabadra membuat Candrasêngkala untuk mengingat momen tersebut, yaitu “Akarya kombuling manggala“. Akarya: 4, kombuling: 0, manggala: 8. (Membaca tahun Candrasengkala adalah dengan dibalik angkanya, jadinya adalah 804). Mpu Widyabadra meninggal dunia pada tahun 920 M. Peristiwa bersejarah yang mengandung arti penting yang relative  paling bisa diidentifkasi.

Piagam Kerajaan Majapahit di masa awal berdirinya tahun 1300-an menetapkan Rakryan Semi Lasem sebagai salah satu pengawal prajurit utama Bhayangkara dalam susunan mahamantri katrini dalam membantu pemerintahannya. Jasa baik  Rakryan Semi serupa Ronggolawe tidak berbalas sepadan. Ra Semi gugur secara tragis terbunuh korban fitnah makar yang dihembuskan pengkhianat Negara. Untuk Ra Semi kita menghenngkan . sejenak…..Semoga amal baktinya mendapat balasan.

Kutha Lasem-Argasoka suwene nganti 425 taun tutug pangwasane Mpu Metthabadra ing taun Masehi: 1345, ora ana dahuru lan sambekala. Negara Lasem kuwi bumine cengkar uripe Rakyate kontit-kawuri banget katimbang karo Rakyate negara-negara gedhe Gunung Kidul (Mataram-Parambwana, Daha, Kedhiri, Singasari); nanging pikire wong Lasem kuwi padha ayem-mlekedhem sabar-darana. Mulane negara-negara gedhe mau ora ana sing sudi nglajak utawa njajah. Lagi wiwit jaman Pangwasane Prabu Ayam-Wuruk Majapait, birawane Patih Arya Gajah bandhol-perang Panglima Angkatan Laut Majapait wong saka desa Mada (salore Kecamatan Plosso, Kabupaten Jombang); Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditelukake, pemrentahan Lasem digingsir digantekake Wakile yakuwi Pr. Rajasawardhana kaipe Prabu Ayam-Wuruk.

Sekitar tahun 1351 M yang menjadi ratu di wilayah Lasem adalah seorang putri yang bernama Dewi Indu (Indu Dewi). Beliau adalah putri dari Raden Kuda Merta dengan Dewi Prabu Hayam Wuruk di Wilwatika. Karena kecantikannya beliau diberi gelar Dewi Purnama Wulan. Suaminya bernama Pangeran Rajasa Wardana dengan gelar Pangeran Panji Maladresmi. Beliau juga seorang Dang Puhawang (nahkoda) Wilwatikta, yang berkuasa di pelabuhan Kaerangan dan pelabuhan Regol Lasem merangkap sebagai Adipati di Metahun. Dalam zaman pemerintahan Dewi Indu, masyarakat Lasem sangat tenteram dan makmur karena beliau sangat bijaksana dalam memegang pemerintahan. Dewi Indu meninggal tahun 1382 M, sedang P. Rajasa Wardhana meninggal tahun 1383 M.

Masa Bhree Lasem tahun 1351 M cikal bakal Kadipaten Lasem dipimpin Dewi Indu adik perempuan Prabu Hayam Wuruk. Masa ini bisa disebut Masa Eksistensi sebagai negara bagian Majapahit (vassal) . Lasem sebagai institusi negara, Dewi Indu melakukan konsolidasi menata tanah atau wilayah kerajaan melalui pendekatan system keamanan dan hubungan pernikahan antar keluarga raja, dan mendorong kesetiaann rakyatnya agar bekerja untuk kebesaran Majapahit serta membuat tata kelola negara, konteks sekarang yang membawa pada dinamika pembangunan. Demi menjamin pembangunan, kedaulatan/langgengnya pemerintahan dan berjalan peran/fungsi negara.. Dilanjutkan Masa Keterbukaan sebagai negara terbuka, meneruskan diplomasi/ hubungan kerjasama dengan luar negeri yang saling menguntungkan dan penuh persahabatan. Diantara yang diterima negeri Tiongkok yang dipimpin utusannya Laksamana Chengho, armadanya juga berlabuh di Binangun Bonang. Buah dari kerjasama ini terjadi kombinasi kerajinan batik lokal Majapahit dengan Cina dan timbulnya pemukiman pecinan di sepanjang Sungai Dasun, mereka mendekatkann usaha di lingkungan pelabuhan, ciri khas Majapahit negara yang kekuatan ekonomi dan militernya bertumpu di baruna/ maritime. Juga mereka membawa berbagai jenis tanaman, hewan yang di Jawa tidak ada. Serta kedatangan orang-orang yang ahli di bidang kesenian dan kerajinan.

Dari hasil perkawinan Dewi Indu dengan Pangeran Rajasa Wardhana menurunkan Pangeran Bodro Wardhana. Bodro Wardhana menurunkan P. Wijaya Bodro, P. Wijaya Bodro berputra P. Bodronolo.  Sekitar tahun 1413 M datang seorang nahkoda bernama Bi Nang Un. Ia mempuyai 2 orang putra, lelaki bernama Bi Nang Na, dan yang perempuan bernama Bi Nang Ti (Putri Campa)  P. Bodronolo kawin dengan Bi Nang Ti (Putri Campa) dan mempuyai 2 orang putra P. Wirabadja dan P. Santi Badjra.  Putri Bi Nang Ti setelah kawin dengan P. Bodronolo namanya diganti menjadi Winarti Kusuma Wardhani.  Tahun 1468 M P. Bodronolo meninggal,

dengan meninggal kan wasiat kepada anaknya : a. Supaya abu layonya di makamkan kumpul dengan istrinya di Puntuk Regal. b. Supaya putranya yang bernama P. Wirabadjra pindah ke Bonang. c. Supaya rakyat nanti diperbolehkan memeluk agama Islam.

Selanjutnya yang menjadi dan menduduki Adipati Lasem ialah P. Wirabadjra.
P. Wirabadjra menjadi adipati pada tahun 1470 M. Ia tidak bertempat tinggal di Pura Kriyan, tetapi pindah di bumi Bonang Binangun, dekat makam orang tuanya di Puntuk Regal. Adapun Puri Kriyan ditempati adiknya yang bernama P. Santi Badjra.
Ketika P. Wirabadjra membangun dan berkuasa di Kadipaten Binangun, masyarakat nelayan yang biasa berlayar ke Tuban Gresik dan Ngampel Denta sudah memeluk Agama Rasul (Islam).
P. Wirabadjra berputra P. Wiranagara, yang pada waktu kecilnya sudah berguru ke Ngampel, dan akhirnya menikah dengan putra pertama Maulana Rohmat Sunan Ngampel yang bernama Malikhah.

Setelah P. Wirabadjra meninggal, diganti oleh putranya yang bernama P. Wiranagara. Ia menjadi Adipati hanya 5 tahun. P. Wiranagara menikah dengan putrid Malekhah mempunyai 2 putra : a. Solikhah (istri Raden Fatah Demak).  b. Seorang anak yang mati ketika masih bayi.

Masa kebangkitan Adipati Wiranegara Masa kemunduran/ kejatuhan Majapahit. Terutama di pusat kota Majapahit sering terjadi perang saudara, perebutan kekuasaan. Moral di masyarakat sangat rendah. Kemaksiatan, perjudian dan mabuk-mabukan merajalela, melibatkan rakyat jelata sampai kalangan istana. Perampokan, dan penipuan acapkali terjadi. Di masa kritis ini Wiranegara yang pernah nyantri di Ampel Denta memperbaiki keadaan, dimulai dari pendidikan karakter. Memanggil adik iparnya yaitu Makhdum Ibrahim berdakwah dan membuka kawah candridimuka penggemblengan mental, membuka pesantren di Desa Bonang. Sang Adipati juga memberlakukan Islam sebagai agama kerajaan yang diyakininya agama rasul yang mengajarkan tata nilai yang luhur. Tak lama memerintah, 5 tahun kemudian wafat tahun 1479 M.

Tahun 1479 M Pangeran Wiranagara meninggal, pemerintahan Kadipaten Binangun dipegang oleh Putri Malekhah (janda P. Wiranegara) yang masih berumur 28 tahun.
Tahun 1480 M, Kadipaten Binangun dipindah ke Lasem oleh Malekhah dan bertempat di Bumi Cologawan berhadapan dengan rumah kepanggenan Kriyan yang ditempati oleh P. Santi Puspa. Rumah Kadipaten Malekhah menghadap ke selatan sebelah utara jalan besar, banyak pohon sawo kecil dan kembang kantil.

Adapun bekas kadipaten Bonang, menempatkan adiknya yang bernama R. Makdum Ibrahim (putra R. Rahmat). Makdum Ibrahim seorang jejaka yang bertugas sebagai guru ngaji kraton dan penghulu agama. Ketika berumur 30 tahun, beliau diwisuda oleh Sunan Agung Ngampel sebagai wali Negara Tuban, dalam hal keagamaan dan ketauhidan dengan pangkat Sunan, dan menempati bekas ndalem/rumah kakaknya Malekhah.
Di Bonang, terdapat pula makam Putri Campa (Bi Nang Ti) sekalian di Puntuk Regol, dan makam P. Wirabadjra serta P. Wira Negar di Bumi Keben.  Batu yang terdapat di atas digunakan untuk sujud (pasujudan). Setelah Makdum Ibrahim menjadi Wali, beliau bertambah giat didalam menyiarkan agama Islam dari Lasem sampai Tuban. Sesekali pulang ke Pranggakan Tuban.

Putri Malikhah memindahkan Kadipaten Binangun ke Lasem dengan maksud :
a. Mendekati P. Sati Puspa, untuk digunakan benteng pengayoman dan penasehat di dalam memegang pusat pemerintahan Lasem.
b. Mengingat bahwa P. Sati Puspa adalah seorang yang dicintai dan disegani oleh masyarakat Lasem, dan warga nelayan dari pesisir Demak sampai Sedayu.
c. Supaya hatinya terhibur sebab ditinggal mati anaknya dan ditinggal anaknya Solekhah yang dibawa suaminya ke Demak yang bernama Aria Tum Bun.
Untuk menghibur hatinya, Malekhah membuat gedung dan pertamanan yang diberi nama Taman Setya Tresna, yang di kemudian hari berubah nama menjadi Caruban.
Putri Malekhah menjadi janda sampai umur 39 tahun dan memegang pemerintahan dalam keadaan aman dan tenteram atas bantuan P. Sati Puspa.

Masa Nyi Ageng Maloka. Wiranegara wafat digantikan permaisurinya, Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel. Kenegarawanan dan kepemimpinannya terlihat dengan mengangkat Santi Puspa sebagai wakilnya, sepupu suaminya yang cakap dan memililiki hubungan yang luas. Dia mengembangkan Pelabuhan Kairingan di Caruban sebagai galangan kapal dan kawasan industri.

Malokah lalu wafat 1490 M digantikan Santi Puspa. Perdagangan dan industri semakin berkembang, memproduksi kapal niaga dan jung-jung tempur, melanjutkan sebagai pangkalan utama sejak masa ekspedisi Majapahit, bahkan terus berkembang sampai masa kolonial Belanda dan Jepang.

Setelah Malikhah meninggal, kekuasaan Kadipaten Lasem dirangkap oleh P. Sati Puspa dengan dibantu oleh adiknya yang bernama P. Santi Yoga yang diperintahkan menempati Kadipaten Cologawan. Karena ditinggal ayahnya ke Majapahit, P. Sati Puspa yang lahir sekitar tahun 1451 M, ketika berumur 18 tahun, diutus ayahnya menempati rumah Pura Kriyan bersama ibunya beserta adik-adiknya yang berjumlah 9 orang. Hingga umur 39 tahun ia belum mau kawin dahulu sebelum adik-adiknya kawin. Adapun adik-adiknya antara lain adalah :
Santi Kusuma lahir tahun 1468 M. Umur 1 tahun ditinggal pergi ayahnya ke Majapahit selama 10 tahun, umur 2 tahun ditinggal mati ibunya.
Santi Kusuma kerapkali diajak kakaknya berlayar dan sowan Eyangnya yang bernama Sunan Bejagung ke Tuban. Sunan Bejagung adalah Adipati Tuban.
Umur 19 tahun Santi Kusuma mempelajari Islam dengan nama R. Mas Said (P. Lokawijaya) dan sangat erat hubungannya dengan Sunan Bonang.

  1. Sati Puspa lainnya adalah P. Kusuma Bodro, P. Kusuma Bodro berputra P. Santi Wiro, Santi Wiro berputra P. Tedjakusuma I. P. Tedjakusuma I menurunkan P. Tedjakusuma II-III-IV-V.

Masa Keemasan Lasem

Kabupaten Rembang sebelumnya selama berabad-abad bagian dari Kadipaten Lasem yang wilayahnya jauh lebih luas meliputi beberapa kabupaten sekarang.. Kitab Negarakertagama menyebut wilayahnya termasuk Sedayu Gresik, pantai selatan Pacitan, Madiun (Matahun) yang berpusat di Lasem. Babad Lasem bahkan menyebut ekspansi hingga Jepara. Dengan demikian, berbicara Hari Jadi Kota Lasem perlu menengok  kilas balik sejarah Lasem seutunya.

  1. Tedjakusuma I menikah dengan putri Sultan Pajang dan diangkat menjadi Adipati Lasem TAHUN 1585 M. Tedjakusuma V menurunkan R. Panji Margana (Ki Ageng Tulbaya) R. Panji menurunkan R. P. Witono, R. Witono menurunkan R. P. Khamzah. Untuk menyebarkan agama Islam di Lasem, Tedjakusuma I mendatangkan seorang guru dari Tuban bernama Syeh Maulana Sambua As-Samarkandi pada tahun 1625 M, dan pada akhirnya Syeh Sambu diambil menantu, dikawinkan dengan putrinya dari garwa selir.

Tedjakusuma I bersama Mbah Sambu mendirikan Masjid Lasem, bertempat di sebelah barat alun-alun. Tedjakusuma I, seorang pertapa di Puntuk Punggur. Dan ketika masih kecil diberi parap (gelar) ibunya Bagus Serimpet. Tedjakusuma I, alias Ky. Ageng Punggur alias Bagus Serimpet wafat pada tahun 1632 M dalam usia 77 tahun, dimakamkan di belakang Masjid Kota Lasem dibelakang imaman.  Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi wafat tahun 1653 M dalam usia 61 tahun dimakamkan di sebelah utara serambi masjid kota Lasem.

Masa Tejokusuma I Masa Perencanaan Kota. Tahun 1585 M dibangun Tata Kota Pusaka Pusat Kadipaten Lasem era Mataram Islam model Catur Pathus. Sumbangan ilmu pengetahuan morfologi kota Islam nusantara. Dimensi ruang kota Lasem secara ajeg sudah terbentuk di masa tersebut dengan pola catur pathus yaitu pusat kota berupa alun-alun dengan bagian sebelah timur adalah lapangan, sebelah barat adalah tempat peribadatan, sebelah utara adalah keraton, dan sebelah selatan adalah kompleks pemukiman.

Salah satu instrumen yang kuat dalam sejarah perkotaaan adalah pengaturan teritorial, ruang dan bangunan berdasarkan konsepsi kosmografis serta kaidah penataannya. Sistem tata kota tersebut dicanangkan pertama kali di ibu kota kerajaan pada masa kejayaan Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung, juga berlaku dan menjadi model kota praja di kadipaten negeri bawahannya termasuk Kadipaten Lasem.
Model tata kota ini adalah keraton, alun-alun, masjid jami’, dan pasar yang berada di satu kawasan terpadu. Sistem tata kota tersebut mengandung filosofi ketatanegaraan bahwa negara bisa ditata dan dibangun dengan sempurna bila struktur yang menjadi unsur-unsurnya terpenuhi sbb  :
1. Adanya rakyat yang mendukung, yang disimbolkan keberadaan alun-alun, sebagai ruang publik/ terbuka. 2. Adanya pemerintahan, yang terwakili dengan keberadaan bangunan kraton, pusat sabda raja/ dawuh adipati. 3. Adanya pasar kadipaten, pusat kegiatan perdagangan yang ramai dan sibuk. Tulang punggung perekonomian.
4. Adanya Masjid Jami’, simbol kekuatan spiritual dan keagamaan benteng moral bangsa itu
Alun-alun yang menjadi symbol dan kekuatan rakyat terletak di tengah-tengah kawasan dengan lapangan yang luas yang menjadi titik pusat empat penjuru jalan terbentuknya kota. Hal ini mengartikan partisipasi rakyat menjadi indikator sangat penting. Kewibawaan Raja haruslah terjaga, dihormati dan dan mendapat dukungan rakyatnya. Ulama yang disimbolkan masjid dapat menjalankan misi dakwahnya. Adipati Lasem I atau Mbah Srimpet dikenal figur ulama umaro, cukup alim, bersama Mbah Sambu menantunya mendirikan Masjid Jami Lasem.
Pasar yang menjadi representasi saudagar muslim dan tionghoa yang terkenal keuletannya sejak dulu dapat menjalankan fungsi ekonomi. Empat unsur tersebut menjadi pilar utama majunya sebuah negara.

Masa Tejokusumo III Lahir Ulama Pejuang dari Kraton Lasem. 1679 Adipati Tejokusuma III gugur memimpin perlawanan terhadap VOC, adiknya Panembahan Rama tertangkap dan dipancung di Alun-alun Toelis Babad Lasem).

Panembahan Rama adalah kakak Adipati Lasem, Tejakusuma III. Semasa hidupnya sangat gigih melawan penjajah Kompeni Belanda. ditangkap kompeni atas laporan teman seperguron yang berkhianat. Oleh sejumlah pengikutnya, jenazah pejuang Panembahan Rama akhirnya dimakamkan di perbukitan desa Sendangcoyo.

Panembahan Rama Tokoh yang dinilai berjasa besar bagi masyarakat Lasem bahkan perang Jawa, bersama Trunojoyo, menantunya.. Di Sendangcoyo, beliau RM Wingit juga dikenal dengan nama Guling Wesi. Atas jasanya yang tidak tidak terperikan, kita bacakan alfatihah……

Masa Tejokusumo IV. Masa Perencanaan Pembangunan. Raden Wicaksana Adipati Lasem III pasca perang kota yang dipimpin ayahnya konsentrasi rehabilitasi untuk pembangunan kembali. Menata Kampung Kranggan sebagai sentra industri kain, batik, menyulam, perkakas rumah tangga, dan pengemasan. Desa Sumbergirang sentra industri pande besi dan peralatan pertanian. Desa Ngemplak sentra kerajinan kayu dan pertukangan. Desa Pohlandak sentra produksi gula aren. Kampung Ketandan sentra pembuatan alat musik. Kampung Demungan pusat kesenian. Kampung Semangu Banjar pusat kesusastraan. Dan Puri Kawak pusat pendidikan Islam. Dengan demikian sektor industri, pertanian,perikanan, perdagangan dan pelabuhan dapat terpadu menciptakan stabilitas dan kemakmuran rakyatnya. Namun adipati tidak lupa diam-diam membela dan menanamkan jiwa anti penjajah.. . .

Masa RP Margono. Masa persatuan rakyat Kadipaten Lasem. (simbol harmonisasi). Th 1748 M VOC memindahkan pusat pemerintahan (regency) Suro Adimenggolo III dari Tulis Lasem ke Magersari Rembang. Setelah Oey Ing Kiat sudah diturunkan dari jabatan Temenggung menjadi Mayor, hanya mengurusi masyarakat tionghoa . Tahun 1751 RP Margono, Oey Ing Kiat, dan Ki Joyo Tirto atau Kyai Ali Baidlowi dari Masjid Jami Lasem mengobarkan Perang Sabil melawan Belanda, semua etnis bahu membahu maju ke medan perang..

Masa penguasaan penuh VOC. Tahun 1811-1816 Pemerintah Kolonial membangun Jalan Raya Pos atau pantura. Terjadi perubahan yang sangat signifikan di dalam morfologi Kadipaten Lasem. Jalur tersebut membentuk satu rangkaian kota-kota di daerah pesisir sekaligus menjadi jalur urban (Colombijn, 2002). Tahun 1870 hingga 1780 Juwana-Lasem menjadi pusat perdagangan candu di Jawa. Belanda sengaja membiarkan memanfaakan saudara kita Tionghoa yang pintar berdagang. Sengaja dibuat untuk merusak mental tatanan masyarakat pribumi sehingga banyak yang terjerat utang dan jatuh miskin. (Pratiwo dalam Peter Nas 2003, Rush 2007)

Kab. Rembang pada 1750 terjadi perang yang sangat dahsyat akibat perlawanan laskar bala sabil dan laskar dampuawang melawan kasewenang-wenangan Bupati Lasem yang diangkat VOC th 1745 ingin membalas dendam atas kematian Residen Mataram 27 – 7 – 1741 dengan menghancurkan segala peninggalan sejarah Budaya Lasem dengan menyebarkan tetuah dan adu domba berdasarkan Sara. Sehingga para tokoh pejuangnya belum diangkat sebagai tokoh kearipan lokal.

Dari peristiwa bersejarah sejak Pucangsula samapai Kadipaten Lasem dapat digali nilai-nilai luhur Lasem, dan diambil momentumnya, termasuk  pada peristiwa perang sabil bulan Agustus 1750 M dimana semua etnis dan golongan lasem bersatu padu untuk eksistensi Lasem.

Kabupaten Rembang telah memiliki Hari Jadi berdasarkan peristiwa bersejarah pada tahun 1741 dimana pasukan dari Lasem yang dipimpin RP Margono dan Adipati Widyaningrat menyerang Tangsi Kompeni Belanda di Rembang. Adipati Rembang Temenggung Anggadjaja dinilai juga berjasa diam-diam membantu suksesnya penyerangan itu. Beliau dinilai salah satu pelaku utama mengingat lokasi pertempuran di Rembang kotanya sendiri yang berwenang dan memiliki pengetahuan strategis titik lemah wilayahnya.

Jika Kabupaten Rembang telah memiliki hari jadi, perlukah Lasem memiliki hari jadi? Meskipun sekarang kecamatan namun memiliki sejarah panjang pernah menjadi Kadipaten besar termasuk Rembang menjadi salah satu bagiannya. Mengingat besar peranannya sehingga Pemkab menetapkan menjadi Kota Pusaka, suatu program yang digagas UNESCO. Maka wajar ditelusuri dasar penetapan hari jadinya.

Menurut Drs. Darmansyah, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulawesi Barat/ Ketua DPRD Kabupaten Majene. Hari jadi dan hari lahir memberikan defenisi dan pengertian yang berbeda, Hari lahir atau hari ulang tahun adalah hari dimana seseorang atau sebuah bangsa dilahirkan dan/atau diproklamirkan pertama kali. Sementara hari jadi adalah dimana sebuah daerah atau bangsa mengenal jati dirinya sebagai sebuah bangsa besar.

Selanjutnya kita telusuri peristiwa penting dalam lembaran Carita Lasem yang ditulis Raden Panji Kamzah tahun 1858 kemudian digubah oleh Raden Panji Karsono tahun 1920 dan Pembabar Pustaka Semarang tahun 1985 cuplikannya sbb : Ing nalika sasi Agustus taun Walanda 1750
wong-wong ora seneng diprentah lan dikuwasani “kebo bule. Ing sawijining dina wong-wong mau padha gumrudug ngumpul jejel pipit ing alun-alun sangarepe masjid jami lasem, padha sumpah prasetya maring Raden Panji Margana “Lega lila sabaya pati sukung raga lan nyawa ngrabasa nyirnakake Kumpeni Walanda ing bumi Jawa”.

Ing wektu kuwi kebeneran tiba dina Jumuwah wayahe santri-santri sembahyang Jumuwahan, kang diimami Kyai Ali Baidlawi ing Purikawak Sumur Kepel, Kyai ngulama Islam kang bagus rupane gedhe dhuwur gagah prekosa kuwi kapernah warenge Pangeran Tejakusuma I…Sawise wingi-wingine entuk dhawuhe RP Margana, sarampungi sembahyang Jumuwah Kyai Ali Baidlawi nuli wewara maring kabeh umat Islam, dijak perang sabil ngrabasa nyirnakake Kumpeni Walanda sapunggawane kabeh ing Rembang. Wong-wong samesjid padha saguh kanthi eklas, saur manuk sarujuk Perang Sabil bebarengan kambi brandal-brandal kang padha andher.
…Bala Sabil kang dipandhegani dening Kyai Baidlawi akeh kang migunakake ngelmu pengabaran petak senggara macan, jana mantra mandraguna ora tedhas ing gaman pedhang lan bayonete suradadu sarta tumbake prajurit-prajurit begundhale Walanda.

Perang ruket antarane prajurit Tumenggung Citrasoma kang dibantu mriyeme Walanda musuh Bala Sabil santri Lasem, silih ungkih adu kesekten.
Palagan ing sisih kuloni kutha Lasem katon nggrudug mbledug mangawuk-awuk…lempuk gaprukan. Perang rerempon adu arep dedreg ureg, adu kekendelan lan kasudiran sarta ketrengginasan lan kecukatan. Perang wis ruket adu dada lan dengkul, pedang nglawan bedana, tumbak nglawan keris.

Sebagai catatan dalam Carita Lasem atau Babad Lasem yang dikenal perang sabil. Sebagian orang Jawa menyebut Perang Godo Walik. Banyak warga tionghoa yang terusir dari Batavia dalam posisi lemah membutuhkan pertolongan langsung disambut/diterima masyarakat Lasem. Jadi bisa disebut juga perang rakyat Lasem, melibatkan orang Jawa dan Tionghoa, banyak dari mereka beragama Islam, bersama-sama bahu membahu melawan penjajah Belanda. Momentum kebersamaan itu simbol persatuan semua etnis dan agama membangun Lasem yang jiwa itu terpatri hingga kini dibawa generasi sekarang.

Nenek moyang Lasem meninggalkan warisan budaya pribadi santun nan luhur, padha guyub, aktif berjuang dan bekerja, menciptakan kehidupan yang nyaman remah gipah loh jinawi, tertib mengedepankan stabilitas dan dinamika yang kondusif, resik lahir batin tercipta kota yang indah, bersih, jujur jauh dari sampah, pemborosan dan korupsi, semua aktifitas pembangunan itu mengelola potensi alamnya mutlak ditopang oleh ilmu, majunya dunia pendidikan.

Lasem berkembang sebagai kota yang plural. Pluralitas Lasem diharapkan menghasilkan sinergi usaha. Terdiri etnis Jawa, Arab, Tionghoa. Akulturasi itu tidak semu atau formalistik, tapi secara budaya melebur jadi satu dan berkualitas. Dalam tataran ideal hubungan dagang antar etnis bukan hubungan atasan bawahan (subordinate), melainkan secara tulus menciptakan hubungan setara sesama wirausahawan meski skala usaha berbeda.
Moementum Hari Jadi Lasem Mozaik Kota Pusaka, diharapkan semua potensi teraktualisasikan. Wisatawan luar, warga Lasem pribumi Jawa, Arab dan Tionghoa yang sukses di rantau diharapkan menjenguk ikut membangun kampung halamannya agar perekonomian daerah semakin berdenyut kencang.

Harapan kami sederhana : Lasem ke depan segera ada penetapan cagar budaya semua situs di  kab.Rembang, Perbup RTBL Kota Pusaka , DED, dan realisasi kegiatan dan proyek fisiknya.

Lasem, 23 Juni 2019.

Kepustakaan :Raden Kamzah, Carita (Sejarah) LasemMbah Guru. 1996. Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

(Suarabau.id/ Abdullah Hamid, Ketua Padepokan Sambua, Anggota Tim Teknis Rencana Aksi Kota Pusaka  Pemkab Rembang. )