Bencana, Pesisir dan Kelestarian Mangrove
Oleh :
Sri Puryono, KS
Akhir-akhir ini bencana alam kerap melanda Indonesia, mulai dari tanah longsor, gempa dan tsunami yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan dan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Pada tulisan ini lebih menyoroti masalah bencana yang mengakibatkan kerusakan pesisir dan upaya meminimalisir kerusakan lingkungan dengan kelestarian sumberdaya hayati hutan mangrove.
Hutan mangrove
Hutan pada hakekatnya mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Perbedaanya adalah pada fungsi utama yang diemban oleh hutan tersebut. Demikian pula hutan mangrove, meskipun ada wilayah mangrove yang ditetapkan untuk fungsi utama sebagai penghasil benih ikan/udang maka tidak boleh meninggalkan fungsi konservasi dan fungsi lindung. Sebaliknya apabila hutan mangrove yang ditetapkan sebagai fungsi perlindungan, masih dapat dimanfaatkan untuk kepentingan produksi yang bukan produksi kayunya melainkan produksi bukan kayu atau jasanya (misalnya jasa wisata alam).
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem penyusun pesisir dan lautan. Ekosistem alamiah yang unik ini mempunyai nilai ekonomi dan ekologi tinggi. Fungsi fisik dan biologis mangrove tidak bisa digantikan ekosistem lain. Fungsi fisik sebagai pelindung pantai dari pukulan gelombang laut, sedangkan fungsi biologis sebagai habitat bertelur, sumber makanan, dan pertumbuhan bagi spesies-spesies biota laut.
Fungsi mangrove yang optimal tentunya dapat meredam abrasi gelombang tinggi termasuk tsunami sebagai barrier penahan hantaman ombak. Berdasarkan pengamatan selama 20 tahun (1998-2017), baik berdasarkan pengalaman empiris di lapangan maupun hasil interpretasi Peta Citra Satelit dan Peta Topografi menunjukkan, pada umumnya kawasan hutan hutan mangrove di wilayah pantai utara Jawa Tengah cenderung mengalami kerusakan biofisik lingkungan berupa akresi ataupun erosi sehingga menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitasnya. Hal ini karena muncul daerah-daerah sedimentasi di wilayah pantai akibat ada degradasi tutupan lahan vegetasi dan erosi di daerah daratan sekitar hilir yang terbawa hingga ke pantai.
Kondisi Mangrove Jawa Tengah
Kondisi hutan mangrove di Jawa Tengah berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah tahun 2017 seluas 58.905,89 Ha dengan kondisi rapat 15.278,63 Ha (25,94%), kurang rapat 3.758,23 Ha (6,38%) dan tidak rapat 39.869,03 Ha (67,68%). Dari data tersebut menunjukkan bahwa mangrove di Jawa Tengah lebih didominasi kondisi tidak rapat oleh karena itu perlu penanganan intensif dalam memingkatkan kerapatannya agar fungsi mangrove dapat optimal.
Upaya-upaya pemerintah melestarikan kawasan hutan mangrove telah berlangsung sejak lama lewat Program Rehabilitasi Kawasan Pesisir Terpadu, Program Sejuta Bibit Mangrove dan sebagainya, tetapi belum maksimal. Demikian pula program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) di kawasan hutan mangrove yang telah mulai pada 2003, belum menunjukkan hasil menggembirakan. Walaupun pada tahun pertama menampakkan persentase tumbuh relatif baik, keberlanjutannya masih menjadi pertanyaan besar. Karena itu, perlu penanganan lebih intensif dengan melibatkan masyarakat secara nyata.
Beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan pengelolaan mangrove di Jawa Tengah antara lain dikotomi antara kepentingan ekonomi dengan konservasi kawasan/ekosistem mangrove, rendahnya kesadaran dan pemahaman tentang mangrove menjadi penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove, jumlah penduduk yang meningkat menyebabkan kebutuhan lahan yang meningkat untuk pembangunan, pemanfaatan mangrove yang bersifat ekstraktif dan tidak memikirkan kelestariannya, konversi ekosistem mangrove untuk peruntukan lain secara tidak terkendali (pemukiman, tambak dan garam), kawasan mangrove seringkali menjadi sasaran buangan limbah domestik/industri, lemahnya peraturan terkait kelestarian ekosistem mangrove dan lemahnya penegakan hukum serta kurang nya upaya rehabilitasi ekosistem mangrove.
Regulasi
Dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu perubahan krusial dari Undang-Undang tersebut adalah tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pada Bidang Kehutanan yang semula kewenangan di bagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kini hanya diberikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi.
Kewenangan Kabupaten/Kota yang hilang diantaranya adalah inventarisasi hutan, pengelolaan taman hutan, pertimbangan teknis, pemberian izin dan lain sebagainya.Dalam perkembangannya Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Edaran SE.5/MenLHK-II/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Surat Edaran ini diperlukan dalam memberikan arah pelaksanaan terutama bagi Pemerintahan Daerah.
Perubahan kewenangan tersebut membawa implikasi antara lain kelembagaan menyangkut struktur organisasi perangkat daerah, peraturan perundang-undangan dimana Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang memuat kewenangan lama harus segera dicabut dan Peraturan Daerah Provinsi yang belum mengakomodir kewenangan baru harus direvisi, dan rencana pembangunan khususnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rencana Strategis (Renstra) Organisasi Perangkat Daerah. Diperlukan penyesuaian Tujuan, Sasaram, Strategi, Arah Kebijakan, Program maupun Indikator Kinerja.
Partisipasi Masyarakat
Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti adalah upaya pelestarian sumber daya alam hutan mangrove secara profesional dengan tetap memperhatikan peningkatan sosial ekonomi masyarakat; perbaikan manajemen dan penyempurnaan hukum perundang-undangan sebagaimana yang telah dilakukan di beberapa Kabupaten Provinsi Jawa Tengah perlu dikembangkan di wilayah lain; sesegera mungkin memunculkan cara untuk meningkatkan taraf kesejahteraan dan sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir; mengupayakan peningkatan aktivitas untuk berbudi daya di sektor perikanan dan pertanian yang berbasis pada upaya pelestarian hutan mangrove seperti silvofishery mangrove (bandeng, kepiting, rumput laut).
Berdasarkan tujuan pengembangan mangrove tersebut, dan melihat tingkat kerusakan yang berbeda-beda mulai dari tingkat ringan, sedang, berat maupun dukungan partisipasi masyarakat yang berbeda-beda pula satu wilayah dengan wilayah lain, perlu ada klasifikasi kawasan mangrove menjadi klaster-klaster pengembangan mangrove.
Klaster-klaster tersebut akan bermanfaat untuk melakukan prioritas penanganannya. Misalnya klaster I adalah wilayah untuk perlindungan, kondisi rusak berat, partisipasi masyarakat rendah. Klaster II adalah wilayah untuk perlindungan, kondisi rusak sedang, partisipasi masyarakat rendah, dan seterusnya.
Selanjutnya masing-masing klaster tersebut perlu dilakukan identifikasi terhadap sosial ekonomi penduduknya, jenis tanaman yang sesuai, jenis tanaman yang diinginkan masyarakat, dan sebagainya. Pengembangan kawasan mangrove dengan membentuk klaster-klaster tersebut diharapkan memudahkan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.Daerah pesisir dengan kondisi mangrove berkualitas rapat merupakan salah satu upaya mencegah terjadi nya bencana alam di daerah pesisir, namun satu hal yang penting dan perlu digarisbawahi adalah peran serta, partisipasi dan kepedulian masyarakat menjaga dan merawat hutan mangrove.(suarabaru.id/Sri Puryono, KS/Alumni Program Doktor Manajemen Sumber Daya Pantai Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009.Tulisan ini merupakan bagian dari Disertasi Doktor dan telah dibukukan dengan judul : Pelestarian Hutan mangrove dan Peran Serta Masyarakat Pesisir).