Oleh Hendra J. Kede
PEMERINTAH secara masif mengampanyekan supaya masyarakat meningkatkan kehati-hatian dan kewaspadaan agar jangan sampai tertular virus corona yang level penyebarannya sudah lada level tertinggi, level pandemi. Dokter dan para penggiat kesehatan dengan gencar mengampanyekan agar masyarakat sering mencuci tangan dan menjaga jarak untuk mengurani resiko tertular virus corona, terutama sebelum mengusap mata, hidung, dan telinga.
Media masif memberitakan betapa mudahnya penularan virus corona sehingga dilabeli Pandemi. Pemberitaan tidak lagi hanya masif, bahkan nampaknya juga sudah sistematis dan terstruktur.
*****
Media secara terstruktur, sistematis, dan masif mengampanyekan ini, hampir dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu. Mengampanyekan bahwa kena cipratan butiran air ludah dan terhirup orang lain, bisa menularkan. Berjabat tangan dengan orang yang sudah tertular bisa ketularan karena boleh jadi di telapak tangan orang yang sudah tertular mungkin ada virus corona, walaupun orang tersebut tidak menunjukkan gejala sama sekali dan masih proses inkubasi.
Mengampanyekan bahwa menyentuh benda-benda sekeliling, bisa saja berakibat tertular virus corona karena mungkin saja pada benda-benda tersebut ada virus corona, yang berasal dari bersin atau telapak tangan orang yang sudah tertular, yang sebelumnya bersentuhan dengan benda-benda tersebut. Hal ini karena kemampuan virus corona hidup cukup lama di benda-benda mati.
Mengampanyekan bahwa menjaga jarak dengan siapa saja yang permah berkunjung ke negara atau daerah yang penyebaran virus corona sudah pada status Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat memutus mata rantai.penyebaran virus corona secara signifikan sehingga dijadikan strategi utama oleh pemerintah.
****
Pilihan masyarakat dalam situasi seperti ini hanyalah patuh dan menerima karena informasi tersebut disampaikan oleh orang dan lembaga yang berwenang dan kompeten di bidang tersebut. Kepercayaan dan kepatuhan yang tentunya diwujudkan sesuai penangkapan masyarakat atas informasi yang dikampanyekan tersebut.
Kepercayaan dan kepatuhan yang tentunya diwujudkan sesuai dengan latar belakang pendidikan, budaya, dan lingkungan masyarakat tersebut. Apa pun bentuknya, semua itu merupakan terjemahan masyarakat untuk mematuhi anjuran meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian menghadapi virus corona dan membantu menahan laju penyebaran virus corona.
Kalau di lapangan bentuk kewaspadaan dan kehati-hatian masyarakat yang semakin tinggi terkadang berlebihan, itu wajar saja. Kenapa? Karena masyarakat tidak pernah diberi tahu siapa saja Pasien Positif Corona (PPC), siapa saja Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan siapa saja Orang Dalam Pemantauan (ODP), dan daerah mana saja yang perlu diwaspadai. Masyarakat tidak bisa memastikan dari siapa dan dari tempat mana harus berhati-hati dan waspada.
Hal itu melahirkan situasi dimana yang dikedepankan masyarakat adalah mengambil resiko paling minimal, salah satu wujudnya adalah melakukan identifikasi sendiri orang dan tempat yang harus diwaspadai dan harus berhati-hati terhadapnya.
Identifikasi tersebut tentu saja mendasarkan dan berdasarkan materi yang dikampanyelan melalui media masa dan melalui media komunikasi yang lain oleh pemerintah, dokter, dan tenaga medis sesuai penangkapan masyarakat yang heterogen.
Kehati-hatian dan kewaspadaan yang bersifat terjemahan sendiri oleh masyarakat tersebut makin menjadi-jadi, untuk tidak menyebut paranoid, setiap mendengar pernyataan juru bicara Gugus Tugas penanggulangan virus corona bahwa penambahan Pasien Positif Corona sebagai indikator imbauan untuk menjaga jarak, meningkatkan kehati-hatian, meningkatkan kewaspadaan belum dilaksanakan dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat.
Apalagi setelah wacana darurat sipil dilontarkan untuk menertibkan masyarakat, situasi makin tambah menjadi-jadi. Bahkan mungkin sudah benaran panaroid pada sebagian kecil masyarakat, yang diwujudkan seperti dan tidak saja dalam bentuk penolakan pemakaman jenazah pasien positif corona sampai pembongkaran kembali kuburan untuk dipindah dari di lingkungannya.
*****
Semua tindakan masyarakat itu menurut hemat penulis semata-mata sebagai akibat langsung dari kampanye dan imbauan yang sangat masif dari pemerintah dan profesional kesehatan melalui media masa. Semua tindakan itu dimaknai masyarakat sebagai tindakan kepatuhan semata. Semua tindakan tersebut semata karena percaya pada media masa dan siapa yang bicara di media masa tersebut, termasuk dan tidak terbatas dokter yang menjadi narasumber di media masa.
Atau ada alasan lain yang lebih logis? Penulis belum menemukan alasan lainnya sampai tulisan ini penulis tulis. Itulah alasan penulis kenapa tidak pernah percaya ada masyarakat Indonesia yang tidak menghargai dedikasi dokter, perawat, dan tenaga medis yang tengah berjuang melawan corona. Penulis tidak percaya ada masyarakat memberikan stigma negatif kepada dokter dan tenaga medis yang sedang berjuang melawan pandemi corona.
Sekali lagi, semua yang penulis jelaskan di muka adalah bentuk kepercayaan dan penghormatan masyarakat kepada dokter, perawat, dan tenaga medis yang sudah maju di garis depan melawan virus corona ini dengan terjun langsung di medan pertempuran pada lingkaran paling dalam dan terdekat dengan virus corona.
Kalau masyarakat menjaga jarak dari dokter, perawat, dan tenaga medis yang terjun langsung di garis depan melawan virus corona terebut, penulis yakini semata-mata itu karena dan sebagai wujud menghormati dan mematuhi anjuran para dokter untuk berhati-hati, waspada, dan menjaga jarak terhadap ODP dan PDP.
Bukankah masyarakat diminta menjaga jarak, berhati-hati, dan waspada terhadap orang yang baru pulang dari negara atau daerah yang berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) virus corona supaya tidak tertular?
Masyarakat menerjemahkan anjuran tersebut dengan mengidentifikasi sendiri bahwa Rumah Sakit Rujukan adalah sebagai daerah atau tempat yang paling banyak orang tertular virus corona dibandingkan tempat mana pun.
Masyarakat menterjemahkan anjuran tersebut dengan mengidentifikasi orang yang bekerja di Rumah Sakit Rujukan sebagai orang yang mungkin saja berpotensi tertular virus corona. Bukankah gencar juga diberitakan tentang kekurangan Alat Pelindung Diri (APD)? Bukankah juga gencar diberitakan dokter dan petugas medis terinfeksi? Bukankah gencar diberitakan dokter dan petugas medis memilih menjaga jarak dari suami/istri dan anak-anak beliau karena beliau tidak bisa memastikan dirinya bukan pembawa virus corona?
Apalah lagi masyarakat juga diberi tahu media kalau semua dokter dan petugas medis yang merawat orang terpapar virus corona masuk dalam kategori Orang Dalam Pemantauan (ODP). Percayalah…..
Seluruh lapisan masyarakat Indonesia sangat menghormati dokter dan tenaga medis yang sedang berjuang di garis depan melawan Virus corona dengan penghormatan tertinggi. Penghormatan yang tidak saja pada lahiriah namun merupakan penghormatan tulus dari lubuk hati yang paling dalam.
Seluruh lapisan masyarakat Indonesia penulis yakini berlinang air mata saat mendengar ada dokter dan tenaga medis yang terpapar virus corona. Seluruh lapisan masyarakat merasakan kesedihan mendalam saat mengetahui ada dokter dan tenaga medis yang meninggal dunia akibat Virus corona. Bukan hanya sedih mendalam namun juga takut, takut kehilangan tempat bersandar dan berlindung dari serangan ganas virus corona ini.
Seluruh lapisan masyarakat Indonesia sangat menaruh hormat yang paling tinggi dan paling dalam kepada para dokter dan tenaga medis sebagai pelindung masyarakat dari keganasan Corona.
Tidak ada masyarakat Indonesia yang memnerikan stigma negatif kepadanpara dokter dan tenaga medis, pejuang utama dan terdepan, pelindung masyarakat yang tak tergantikan, melawan Virus corona.
Tidak ada masyarakat Indonesia yang memberikan stigma negatif kepada keluarga dokter dan keluarga tenaga medis, pejuang dan pahlawan negara, menghadapi serangan Virus corona ini. Masyarakat bisa merasakan beban batin keluarga dokter dan keluarga tenaga medis sebagaimana masyarakat merasakan beban batin keluarga prajurit yang maju ke medan perang membela dan melindungi bangsa, negara, dan masyarakat.
Kalau ada masyarakat sedikit menjaga jarak dengan dokter, menjaga jarak dengan tenaga medis, dan mungkin sedikit berlebihan dengan sedikit menjaga jarak juga dengan keluarga dokter dan keluarga tenaga medis, itu bukanlah karena memberikan stigma negatif kepada dokter, bukanlah memberikan stigma negatif tenaga medis, dan bukanlah memberikan stigma negatif kepada keluarga beliau-beliau, sama sekali bukan.
Sebagian kecil masyarakat mungkin sedikit berlebihan, namun sekali lagi itu bukan karena memberika stigma negatif dokter, tenaga medis, dan keluarganya. Sekali lagi bukan, bukan memberikan stigma negatif, bukan !!!
Semua itu semata-mata karena masyarakat percaya dan patuh pada anjuran dokter. Semua itu semata-mata karena masyarakat percaya dan patuh pada anjuran petugas medis. Semua itu semata-mata karena masyarakat percaya dan patuh pada anjuran pemerintah.
Percaya dan patuh untuk berhati-hati, untuk waspada, untuk menjaga jarak dengan siapapun yang pernah berinteraksi dengan orang yang pernah berkunjung ke daerah yang banyak orang terpapar virus corona, termasuk dan tidak hanya daerah rumah sakit rujukan.
Percaya dan patuh untuk berhati-hati, untuk waspada, untuk menjaga jarak dengam siapapun yang pernah berinteraksi dengan orang yang pernah berinteraksi dengan orang terpapar Virus corona, termasuk dan tidak terbatas dokter dan petugas medis yang merawat langsung pasien positif corona.
Itulah wujud kepatuhan dan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap anjuran dokter, tenaga medis, dan pemerintah yang mereka hormati dan junjung tinggi. Bukankah masyarakat seperti ini patut kita apresiasiasi dan diberikan stigma yang menggembirakan, sebagai masyarakat yang memberikan peluang terkendalinya penyebaran virus corona yang sudah pada level Pandemi ini sesuai anjuran ahlinya yaitu dokter, tenaga medis, dan pemerintah?
Pendapat penulis : Iya, masyarakat yang patut diberikan stigma yang menggembirakan.
Hendra J Kede, Wakil Ketia Komisi Informasi Pusat RI