Oleh : Hendra J Kede
SALAH satu produk reformasi adalah diakuinya hak atas informasi sebagai Hak Asasi Manusia oleh konstitusi Indonesia (UUD 1945), sekaligus diberikannya kepada seluruh warga negara Indonesia hak konstitusional baru, yaitu hak atas informasi tersebut. Pengakuan dan pemberian hak ini terlihat jelas dari rumusan Pasal 28F UUD 1945 hasil Amandemen Kedua.
Berikut teks Pasal 28F UUD 1945:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
Konsekuensi dari keluarnya Pasal 28F UUD 1945 berakibat pada terjadinya 5 (lima) perubahan signifikan yaitu:
1. Rezim pengelolaan informasi dari sebelumnya seluruh informasi bersifat tertutup kecuali yang dibuka, menjadi seluruh informasi bersifat terbuka kecuali yang dikecualikan;
2. Tidak dibenarkannya ada aturan apapun dibawah UUD 1945 yang mengurangi apalagi menghambat hak baru warga negara tersebut;
3. Tidak dibenarkannya pengelola negara dalam level jabatan manapun melalui kewenangan yang dimilikinya untuk menghalang-halangi apalagi menghambat warga negara mendapatkan haknya tersebut;
4. Kewajiban yang diperintahkan konstitusi untuk memastikan hak warga negara tersebut terlayani oleh Badan Publik dan terlindungi dengan baik;
5. Adanya sanksi pidana.
Tulisan ini difokuskan untuk menjelaskan bagaimana warga negara untuk mendapatkan hak atas informasi tersebut. Sekaligus sebagai bentuk jaminan, bahwa hak atas informasi warga negara terlindungi sebagai Hak Asasi Manusia, yang diakui konstitusi dan hak konstisusional.
Regulator, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menindaklanjuti ketentuan pasal 28F UUD 1945 dengan mengeluarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008, Tentang Keterbukaan Informasi Publik pada tanggal 30 April 2008. Dan dilanjutkan dengan Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Serta dibentuknya Komisi Informasi Pusat yang pertama pada periode 2009-2013, di bulan April 2009, sebagai pelaksanaan perintah UU 14 Tahun 2008.
Permohonan Informasi
Perwujudan pertama atas pengakuan yang diberikan konstitusi terhadap hak atas informasi sebagai hak asasi dan hak konstitusional adalah, diberikannya hak seluas-luasnya kepada seluruh warga negara, untuk memgajukan permohonan informasi kepada seluruh Badan Publik, khususnya kepada seluruh Badan Publik Negara tanpa kecuali.
Tanpa kecuali disini dapat dimaknai, tak ada Badan Publik punya imunitas atas ini, dan dapat pula dimaknai tidak ada substansi informasi yang tidak dapat diminta oleh warga negara. Setiap orang yang bisa membuktikan dirinya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dengan alat bukti kependudukan yang sah, memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon Informasi, tanpa kecuali.
Begitu juga dengan Pemohon informasi yang lain, yaitu sekelompok warga negara dan Badan Hukum. Untuk memudahkan penulisan, disini yang dibahas hanya warga negara. Hal ini dikarenakan, tidak ada hal prinsipil yang membedakannya dalam proses permohonan, kecuali alat bukti dalam pembuktian kedudukan hukum (legal standing).
Kalau warga negara alat buktinya adalah Kartu Tanda Penduduk dan atau Paspor, sementara sekelompok warga negara ditambah surat kuasa khusus, jika ada anggota kelompok pemohon yang menguasakan kepada anggota kelompok pemohon yang lain. Sedangkan Badan Hukum alat buktinya adalah akta notaris dan surat keterangan berbadan hukum Nasional dari Kemenkumham RI, serta surat kuasa dari pengurus badan hukum.
Permohonan diajukan kepada pejabat atau petugas yang ditunjuk oleh badan publik untuk mengelola informasi, sebagai kewajiban yang ditetapkan pasal 28F UUD 1945 dan UU 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik beserta aturan turunannya. Saat ini dikenal sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Utama.
Permohonan bisa diajukan secara tertulis maupun lisan. Petugas di badan publik-lah yang berkewajiban menjadikannya dokumen tertulis. Bisa diajukan melalui surat biasa maupun surat elektronik. Bisa pula diajukan langsung oleh warga negara, maupun melalui kuasanya yang dikuasakan khusus untuk itu.
Prinsip utamanya disini adalah, warga memiliki hak asasi dan hak konstitusional atas informasi, maka kewajiban Badan Publik-lah untuk melayaninya. Tidak bisa hak tersebut dikesampingkan hanya karena alasan teknis dan administratif.
Jika ada hal teknis dan administratif yang harus dipenuhi, maka itu masuk dalam ranah kewajiban badan publik untuk memudahkan agar terpenuhi. Bahkan kalau perlu warga negara tinggal membubuhkan cap jempol saja.
Beban yang harus dibuktikan oleh warga negara disini, hanyalah sebatas bahwa warga negara tersebut sudah menyampaikan permohonannya kepada PPID.
Semenjak itu, argo waktu pelayanan oleh PPID mulai berjalan. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008), dengan jelas dan tegas menentukan bahwa, PPID memiliki kewajiban untuk menjawab permohonan informasi oleh warga negara tersebut.
Keberatan
Pemohon yang berpendapat bahwa permohonannya ditolak atau tidak dipenuhi atau dipenuhi sebagian, atau permohonan tidak ditanggapi sama sekali oleh PPID, diberi ruang oleh regulasi, untuk memperjuangkan hak asasi dan hak konstitusional-nya atas informasi melalui mekanisme, mengajukan keberatan kepada Atasan PPID Badan Publik tempat warga negara mengajukan permohonan informasi.
Jaminan hak atas informasi sebagai hak asasi dan hak konstitusional tersebut, diwujudkan dengan aturan jelas dalam regulasi yang mengatur kapan pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), untuk mengajukan keberatan. Sehingga ada kepastian hukum untuk melindungi hak warga negara atas informasi tersebut.
Terdapat dua situasi yang memunculkan kedudukan hukum untuk mengajukan keberatan, yaitu;
1. Situasi dimana PPID menjawab permohonan informasi;
2. Situasi dimana PPID tidak menjawab permohonan informasi.
Terhadap situasi dimana PPID menjawab permohonan informasi, juga terdapat dua situasi, yaitu;
1. Menjawab substansi permohonan;
2. Menjawab terkait perlunya penambahan waktu.
Jika dalam kurun waktu yang ditentukan (10 hari kerja) PPID tidak menjawab permohonan informasi, maka akan memimbulkan hak pada publik yang mengajukan permohonan informasi, untuk menyampaikan keberatan kepada Atasan PPID. Tidak bisa sebelumnya. Dan memiliki limitatif waktu juga, kapan hak mengajukan keberatan tersebut hilang atau daluarsa.
Jika dalam kurun waktu yang ditentukan (selama 10 hari kerja semenjak permohonan informasi diterima) PPID Badan Publik memberikan jawaban, maka hak Pemohon untuk mengajukan Keberatan dihitung semenjak diterimanya jawaban PPID tersebut. Pemohon bisa menggunakan hak untuk mengajukan keberatan atau tidak mengajukan keberatan, tergantung pada penilaian Pemohon terhadap jawaban PPID tersebut.
Jawaban PPID yang dinilai pemohon tidak sesuai dengan informasi yang dimohonkan atau tidak semua informasi yang dimohonkan pemohon dijawab PPID, atau PPID menjawab bahwa informasi tidak bisa diberikan, baik karena alasan tertentu atau karena alasan sudah dikecualikan, maka seketika itu timbul hak pemohon untuk mengajukan keberatan kepada Atasan PPID. Dan sekaligus perhitungan jangka waktu daluarsa hak pengajuan keberatan tersebut dimulai.
Jawaban PPID yang disampaikan dalam rentang waktu 10 (sepuluh) hari kerja semenjak permohonan diterima yang berisi permintaan penambahan waktu selama-lamanya 7 (tujuh) hari kerja, memiliki implikasi pada waktu timbulnya hak pemohon informasi untuk mengajukan keberatan. Hak mengajukan keberatan baru muncul, setelah ada jawaban dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari tersebut dari PPID, atau saat berakhirnya 7 (tujuh) hari penambahan waktu itu.
Pada masa 10 (sepuluh) hari waktu untuk menjawab permohonan pemohon dan 7 (tujuh) hari tambahan tidaklah melanggar, jika waktu itu juga digunakan PPID untuk melakukan Uji Konsekuensi dan Penetapan Informasi dimaksud, sebagai Informasi Dikecualikan melalui surat keputusan yang berbasis pada dokumen Berita Acara Uji Konsekuensi, yang dilaksanakan pada kurun waktu tersebut.
Pada tahapan permohonan informasi ataupun pada tahapan keberatan, kedua belah pihak (Pemohon dan Badan Publik) dapat melakukan diskusi dan musyawarah, agar didapatkan saling memahami satu sama lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan, dilaksanakannya mediasi dengan bantuan mediator bersertifikat yang disepakati kedua belah pihak, maupun pihak lain yang disepakati kedua belah pihak.
Upaya Penyelesaian Sengketa Informasi Melalui Komisi Informasi (Mediasi/Ajudikasi Nonlitigasi)
Demi menjamin hak asasi dan hak konstitusional atas informasi, UU 14/2008 memerintahkan dibentuknya Komisi Informasi Pusat (KI Pusat), Komisi Informasi Provinsi (KI Provinsi), dan dapat juga dibentuk Komisi Informasi Kabupaten/Kota, yang salah satu tugas dan fungsinya adalah, menyelesaiakan sengketa informasi.
Komisi ini adalah tempat dimana warga negara yang berpendapat, bahwa hak asasi dan hak konstitusionalnya atas informasi tetap terhalang oleh kebijakan badan publik, baik karena badan publik telah mengecualikan informasi dimaksud, ataupun karena alasan lain.
Upaya warga negara untuk mendapatkan hak asasi dan hak konstitusiolnya atas informasi setelah melalui proses permohonan dan proses keberatan, disebut sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Informasi.
Hal itu berarti, bahwa ketika warga negara mengajukan persoalan hak asasi dan hak konstitusionalnya atas informasi kepada Komisi Informasi, dan permohonannya dicatatkan dalam buku register di Kepaniteraan Komisi Informasi, maka saat itu bisa dimaknai sudah terjadi sengketa informasi, antara warga negara dengan badan publik.
Badan publik berpendapat, bahwa demi kepentingan publik dan hukum, maka informasi dimaksud dikecualikan atau tidak bisa diakses, dimiliki, dan digunakan publik. Sementara warga negara berpendapat sebaliknya, yaitu informasi dimaksud demi kepentingan publik dan hukum, harusnya bisa diakses, dimiliki, dan digunakan publik.
Informasi yang sudah dikecualikan boleh dan tidak tertutup, kemungkinan untuk diajukan penyelesaian sengketa informasinya ke Komisi Informasi oleh warga negara. Hal ini dikarenakan, penetapan status Dikecualikan yang dilekatkan pada sebuah informasi oleh badan publik melalui surat keputusan yang berbasis Berita Acara Uji Konsekuensi, walaupun bersifat berlaku dan mengikat seketika, namun belum bersifat final (biding).
Sebuah informasi baru berstatus Dikecualikan secara mengikat dan final, setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap, sebagai produk sengketa informasi. Putusan Mediasi pun tidak memiliki implikasi final dan mengikat, kecuali bagi satu pihak saja, tidak pada warga negara lain.
Catatan penting yang harus dipahami dengan baik disini adalah, warga negara punya kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan penyelesaian sengketa informasi, setelah menempuh proses permohonan dan keberatan, sesuai dengan ketentuan batas waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Penetapan status suatu informasi oleh badan publik, sejauh dilaksanakan mengikuti proses uji konsekuensi dan tanpa melanggar hukum, tidak bisa dikategorikan pelanggaran. Walaupun nantinya dibatalkan oleh proses Ajudikasi Nonlitigasi di Komisi Informasi, maupun oleh proses litigasi di pengadilan.
Catatan penting lain yang harus dipahami warga negara disini adalah, kapan mulai muncul kedudukan hukum untuk mengajukan penyelesaian sengketa informasi dan kapan daluarsanya.
Dimana dan bagaimana penyelesaian sengketa informasi tersebut diselesaikan? Kapan Mediasi dilaksanakan? Kapan Ajudikasi Nonlitigasi dilaksanakan? Apa yang harus dibuktikan oleh para pihak? Kepada siapa beban pembuktian dibebankan?
Penyelesaian sengketa informasi dilaksanakan di dan oleh Komisi Informasi melalui mekanisme mediasi dan atau mekanisme Ajudikasi Nonlitigasi, baik di Komisi Informasi Pusat maupun di Komisi Informasi Provinsi/Kabupaten/Kota, tergantung status badan publik termohonnya.
Komisi Informasi Pusat melaksanakan proses penyelesaian sengketa informasi dengan Termohon Badan Publik Pusat/Nasional dan Termohon Badan Publik Provinsi/Kabupaten/Kota, jika belum terbentuk Komisi Informasi Provinsi/Kabupaten/Kota, dimana sengketa tersebut terjadi.
Komisi Informasi Provinsi melaksanakan proses penyelesaian sengketa informasi dengan Termohon Badan Publik Provinsi dan Termohon Badan Publik Kabupaten/Kota, jika tidak ada Komisi Informasi Kabupaten/Kota dimana sengketa tersebut terjadi.
Komisi Informasi Kabupaten/Kota melaksanakan penyelesaian sengketa informasi dengan Termohon Badan Publik Kabupaten/Kota dan Badan Publik dibawah Kabupaten/Kota, dimana sengketa tersebut terjadi.
Gugatan Sengketa Informasi Melalui Pengadilan (Litigasi)
Ada beberapa bentuk putusan yang dikeluarkan Komisi Informasi Pusat (Majelis Komisioner yang menerima, memeriksa, dan memutus), terkait penyelesaian sengketa informasi. Putusan karena registernya dicabut oleh pemohon, putusan gugur karena ketidakhadiran pemohon, putusan karena tidak terpenuhinya kedudukkan hukum (legal standing), putusan karena tercapainya perdamaian atau kesepakatan para pihak dalam proses mediasi, dan putusan hasil proses Ajudikasi Nonlitigasi.
Atas Putusan Komisi Informasi (baca: Majelis Komisioner yang memeriksa dan memutus sengketa a quo) yang dihasilkan melalui proses Ajudikasi Nonlitigasi, merupakan putusan yang dapat diajukan gugatan kepada pengadilan, agar diperiksa dan diputus melalui proses litigasi. Walaupun para pihak (pemohon dan termohon) diberikan kedudukan hukum (legal standing) sebagai penggugat, namun filosofi dasarnya haruslah sama, yaitu demi kepentingan publik.
Para pihak juga tidak boleh keliru ke pengadilan mana gugatan akan dilayangkan atau dengan kata lain, pengadilan mana yang berwenang menerima, memeriksa, dan memeriksa gugatan dimaksud.
Undang Undang Nomer 14 Tahun 2008 dan aturan turunannya maupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan menggariskan bahwa, ada 2 (dua) pengadilan yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus atas adanya gugatan adanya Putusan Komisi Informasi atas suatu sengketa informasi, yaitu Pengadikan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri (PN).
Para pihak dalam gugat menggugat di pengadilan tetaplah para pihak dalam proses penyelesaian sengketa informasi Ajudikasi Nonlitigasi di Komisi Informasi. Komisi informasi bukanlah pihak terkait. Kewajiban Komisi Informasi hanya sebatas mengirimkan putusan beserta berkas perkaranya kepada pengadilan, atas permintaan dari Panitera Pengadilan, dimana gugatan tersebut didaftarkan.
Namun jika diperlukan keterangan oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus gugatan dimaksud, Majelis Hakim dapat meminta keterangan dari Komisi Informasi. Namun Majelis Komisioner yang memeriksa dan memutus sengketa a quo, tetap tidak dibenarkan memberikan keterangan dimaksud. Komisi informasi akan mengirim di luar Majelis Komisioner yang memeriksa dan memutus sengketa informasi a quo.
Kasasi Sengketa Informasi ke Mahkamah Agung
Atas Putusan PTUN atau PN yang memeriksa dan memutus atas gugatan sengketa informasi itu, dapat menerima mapun tidak menerima.
Demi melindungi hak asasi dan hak konstitusinal pencari keadilan, maka terbuka peluang kepada para kedua belah pihak untuk menempuh upaya hukum lebih tinggi atas Putusan PTUN atau PN, atas Sengketa Informasi a quo, yaitu uapaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Berkekuatan Hukum Final dan Mengikat dan Ekseskusi
Sebuah pertanyaan yang selalu muncul saat sebuah sengketa masuk ke proses penyelesaian sengketa melalui Ajudikasi Litigasi maupun Nonlitigasi adalah, kapan putusannya berkekuatan hukum tetap mengikat dan final. Dan bagaimana eksekusi atas Putusan a quo itu. Pertanyaan ini pun selalu muncul saat penyelesaian sengketa informasi.
Hal ini sangat terkait dengan kepastian hukum dan juga keadilan bagi kedua belah pihak. Termasuk kepastian tegaknya hak asasi dan hak konstitusional warga negara atau kepastian terlindunginya hak asasi dan hak konstitusional publik umum, yang tidak sedang bersengketa.
Harus diingat, dibuka atau dikecualikan sebuah informasi, semata-mata demi melindungi kepentingan publik, demi melindungi hak asasi dan hak konstitusional publik, tidak karena alasan yang lainnya.
Ada 2 (dua) makna berkekuatan hukum tetap dalam penyelesaian sengketa informasi.
Makna pertama, berkekuatan hukum tetap bagi para pihak yang bersengketa saja. Putusan Majelis Komisioner yang didasarkan pada hasil kesepakatan para pihak dalam proses mediasi penyelesaian sengketa informasi, adalah contoh putusan yang tidak saja berkekuatan hukum, namun juga bersifat final dan berkekuatan hukum tetap.
Namun tidak bagi pihak lain, diluar para pihak yang bersengketa. Artinya adalah, para pihak tidak dapat mengajukan gugatan sengketa informasi ke PTUN atau PN atas Putusan ini. Dan juga bermakna, pemohon tidak bisa lagi di kemudian hari mengajukan sengketa informasi atas informasi a quo kepada badan publik yang menjadi pihak dalam sengketa informasi a quo.
Makna Kedua, berkekuatan hukum tetap disamping bagi para pihak yang bersengketa juga bagi status informasi yang mengikat setiap orang, atau badan yang memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pemohon informasi dikemudian hari dan badan publik.
Pidana dan Perdata Atas Sengketa Informasi
Pidana atas sengketa informasi dapat timbul, jika para pihak melakukan pelanggaran atas putusan sengketa informasi yang sudah memiliki kekuatan hukum mengikat. Badan publik yang tidak melaksanakan putusan atau warga negara yang mengunakan informasi publik tidak sebagaimana putusan, dapat diproses secara pidana maupun perdata.
Proses pidana diproses oleh penegak hukum, namun merupakan delik aduan. Sehingga proses pidana baru bisa dilaksanakan penegak hukum bila ada aduan atau laporan, atas adanya dugaan pelanggaran pidana. Putusan yang sudah berkekuatan hukum merupakan bukti dalam pembuatan laporan polisi. Sementara proses perdata dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri.
Dibukanya peluang proses pidana dan perdata ini, semata-mata agar tidak ada orang atau lembaga yang menganggap remeh hak atas informasi ini. Agar setiap orang atau lembaga bersungguh-sungguh menegakan hak asasi dan hak konstitusinal warga negara atas informasi.
Selain itu juga, agar ada jaminan terlindunginya dengan baik hak asasi dan hak konstitusional warga negara dalam mengakses, mendapatkan, mengolah, menyimpan, menggunakan, menyebarluaskan informasi, untuk pengembangan diri dan lingkungannya sebagai bentuk pelibatan dan partisipasi warga negara dalam mengelola dan membangun bangsa dan negara tercinta, Indonesia.
(Penulis Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia)