SEMARANG (SUARABARU.ID)– Di Jawa Tengah sebanyak 570 pemohonan sertifikasi halal hingga kini tidak terlayani alias tidak dapat diproses akibat belum siapanya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk membuka pendaftaran. Diantara jumlah tersebut, 500 pemohon merupakan pengusaha UMKM yang diprogramkan sertifikasi halal secara gratis oleh Gubernur Jawa Tengah di 2020 ini. Sedangkan 70 lainnya pendaftar umum.
Penegasan tersebut disampaikan Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Jawa Tengah Prof Dr KH Ahmad Rofiq MA pada dialog interaktif, Live Televisi Kampus Udinus (TVKU), Senin (13/1/2020). Dialog yang dipandu Fitri Kholillah juga menampilkan Direktur Halal Walisongo Research Centre Dr KH Achmad Izzuddin MAg.
Kemacetan hingga antrian panjang terjadi, tegas Prof Rofiq yang juga Waketum MUI Jawa Tengah, karena BPJPH belum siap membuka pendaftaran dan belum menyelesaikan logo halal termasuk besaran biaya sertifikasi halal yang masih diproses di Kementerian Keuangan.
Sementara dalam UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, LPPOM MUI yang biasanya menangani pendaftaran hingga keluar sertifikasi, sejak 17 Oktober 2019 perannya melayani pendaftaran sudah digantikan BPJPH.
“Bila BPJPH siap melayani sertifikasi halal, ini sesuai yang dikehendaki Negara. Namun, realitanya hingga kini belum siap sehingga pelayanan macet. Prof Rofiq berharap bila BPJPH memang belum siap mengemban tugas sebaiknya segera ‘lempat handuk’ dengan menyerahkan kembali kepada LPPOM MUI, sampai dengan ada kesiapan. LPPOM teruji menangani sertifikasi halal dengan pengalaman 32 tahun,” katanya.
Sebenarnya, lanjut prof Rofiq, untuk mengatasi kebuntuan pelayanan, sudah dikeluarkan Keputusan Menteri Agama No 982 tentang Layanan Sertifikasi Halal. Mengatur besaran tarif layanan sertifikat halal dan tarif layanan sertifikasi halal yang dilaksanakan sesuai ketentuan berlaku pada MUI dan LPPOM MUI sembari menunggu terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK). KMA terbit sebagai diskresi agar layanan sertifikasi halal tetap berjalan dengan merujuk pada besaran tarif yang selama ini diberlakukan LPPOM MUI.
Namun, tambahnya, KMA tersebut tidak memberi diskresi kepada LPPOM MUI membuka pendaftaran, sehingga pelayanan sertifikasi halal sejak 17 Oktober 2019 tidak dapat ditangani. Mestinya, selama BPJPH belum siap, pendaftaran dapat dilakukan LPPOM MUI.
Dalam layanan sertifikasi halal yang diatur dalam KMA 982, jelasnya, BPJPH berwenang dalam pengajuan permohonan dan penerbitan sertifikasi halal. MUI pengkajian ilmiah dan pelaksanaan sidang fatwa halal. Sedang Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) berwenang pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk.
“Terhambatnya proses sertifikasi halal ini jelas sangat merugikan para pengusaha, terutama yang berbasis ekspor yang dituntut harus menyertakan sertifikasi halal. Pemerintah diharapkan segera menuntaskan kemacetan ini agar tidak ada stagnasi pelayanan,” pintanya.
Direktur Halal Walisongo Research Centre Dr KH Achmad Izzuddin Mag menegaskan dukungannya terhadap pemikiran Prof Rofiq, dalam rangka mengeliminasi stagnasi pelayanan sertifikat halal. Menurutnya sangat ironi, bila pemerintah belum siap menjalankan tugas sertifikasi ini, sementara respons pengusaha untuk mengurus jaminan halal justru semakin meningkat.
Ditegaskan, kajian yang dilakukan terhadap fenomena sertifikasi halal pasca 17 Oktober 2010, menunjukkan belum siapnya pemerintah melalui BPJPH. Bila belum siap, maka serahkan dulu proses keseluruhannya kepada LPPOM MUI yang berpengalaman 32 tahun. Selain itu, sosialisasi produk halal kepada masyarakat agar terus digelorakan karena di tengah kita masih banyak produk makanan dan minuman yang belum bersertifikasi halal, contohnya air kemasan.
“Lembaga riset halal yang kami pimpin juga telah mengerahkan mahasiswa UIN Walisongo untuk terlibat dalam proses sertifikasi halal beserta sosialisasinya, bekerja sama dengan LPPOM MUI Jawa Tengah,” tegasnya.
Agus Supri/Sol