KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID) – Jaringan Perempuan Pembela HAM (PPHAM) pendamping korban kekerasan ternyata memiliki berbagai pengalaman. Sebagaimana dituturkan Direktur Sahabat Perempuan wilayah Magelang, Putri Andhani Prabasasi, hari ini (Jumat 29/11/24).
Disebutkan, Perempuan Pembela Hak Asasi manusia (PPHAM) merupakan masyarakat sipil, baik laki-laki, perempuan dan individu dengan keragaman gender dan seksualitas non-biner lainnya yang memperjuangkan hak asasi perempuan korban kekerasan, kelompok rentan dan marginal untuk mendapat akses keadilan, perlindungan dan kesetaraan. PPHAM sebagai gerakan masyarakat sipil, hadir untuk mengisi kekosongan peran negara dalam perlindungan korban kekerasan, kelompok rentan dan marginal dengan berbagai risiko pendamping. Baik keselamatan, kekerasan, kriminalisasi, kesehatan,
dan minimnya kesejahteraan.
Dijelaskan, PBB mendeklarasikan hari PPHAM pada tahun 1984 dan mengesahkan pada tanggal 29 November 1998. Komnas Perempuan RI telah menyusun Manual Perlindungan PPHAM sebagai alternatif untuk mengisi kekosongan kebijakan perlindungan.
“Itu artinya hingga saat ini negara tidak hadir secara sungguh -sungguh untuk memberikan perlindungan pada masyarakat sipil yang berperan sebagai PPHAM untuk memperjuangkan pemenuhan hak korban kekerasan, kelompok rentan dan marginal,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman dia,
pendamping, rentan mengalami ancaman kekerasan fisik, digital dan psikologis saat melakukan
pendampingan kasus. Bentuk kekerasan fisik misalnya didatangi pelaku dan/atau pengacara pelaku,
dikriminalisasi, publikasi media yang tidak sesuai dengan fakta yang disampaikan pendamping. Atau penyerangan fisik terhadap staf dan relawan saat pendampingan kasus, ada pula yang ditarik kerah bajunya oleh pihak pelaku.
“Habis subuh pelaku datang ke kantor lembaga layanan untuk mencari korban dengan marah-marah. Namun ketika mengetahui korban tidak ada di kantor, pelaku melempari jendela kaca kantor hingga pecah,” katanya.
Bentuk kekerasan psikologis lainnya yang dialami pendamping, dituduh mencemarkan nama baik. Pernah ada juga, ditemukan bunga, garam dan tanah di depan kantor.
Berdamai
Di balik itu ada pula tawaran mediasi untuk berdamai dan mencabut kasusnya. Pendamping ditawari umroh bersama dengan semua korban. Ada juga yang ditawari akan dibangunkan kantor.
Di wilayah Jawa Tengah, kata dia, pernah ada pendamping yang ditelpon oleh pihak pelaku pada pukul 12 malam. Ada yang didatangi pelaku untuk meminta klarifikasi dengan marah-marah. Kecuali itu pernah ada yang
dibocorkan strategi penanganan kasusnya, dimaki-maki oleh keluarga pelaku.
“Selain ancaman pada saat melakukan pendampingan kasus, sebuah lembaga PPHAM juga mengalami ancaman kekerasan dan pembubaran even secara paksa oleh kelompok tertentu,” tuturnya.
Ancaman secara digital juga pernah dialami lembaga jejaring PPHAM dengan diretas akun sosial media lembaganya, emailnya, juga teror melalui media sosial dan penyadapan. “Saya dan teman-teman di kantor pernah ditawari umroh bersama dengan korban oleh pengacara pelaku, agar bisa berdoa di depan Ka’bah dan kasus berakhir dengan damai,” imbuhnya.
Situasi kerentanan PPHAM lainnya adalah tantangan mengakses hak ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya tidak memiliki jaminan kesehatan, jaminan tenaga kerja dan standar upah yang layak. Berdasarkan situasi tersebut, dalam rangka memperingati hari Perempuan Pembela HAM (PPHAM) pada tanggal 29 November ini, Jaringan Perempuan Pembela HAM Pendamping Korban Kekerasan Jawa Tengah meluncurkan produk pengetahuan dari dokumentasi pengalaman Perempuan Pembela HAM (PPHAM) Pendamping Korban Kekerasan di Jawa Tengah. Berupa video dan tulisan cerita
pengalaman, infografis dan photovoice. Untuk mengetahui produk pengetahuan tersebut dapat diakses melalui sosial media Instagram dan facebook : @lrckjham, website : lrckjham.id dan youtube : LRC KJHAM.
Dia berharap produk pengetahuan tersebut bisa memperkuat pengetahuan publik tentang kerja-kerja pendampingan korban kekerasan dan kerentanan pendampingnya, sehingga masyarakat bisa turut serta mendukung kerja-kerja pendampingan korban kekerasan.
Juga berharap agar negara memberikan jaminan perlindungan atas hak sipil politik maupun ekonomi, sosial dan budaya bagi Perempuan Pembela HAM (PPHAM) pendamping korban kekerasan.
Eko Priyono