Oleh : Abdul Kholiq, SIP

Tanggal 25 September 2024 nanti adalah waktu dimulainya kampanye Pilkada Jepara 2024 oleh pasangan calon yang ditetapkan. Tentu beragam mode kampanye akan dijalankan untuk menarik simpati dari calon pemilihnya. Lalu sejauh mana bahasa dan isi kampanye mereka akan mempengaruhi pilihan kita? Apakah semua bahasa verbal yang disampaikan melalu berbagai media adalah sebuah ‘kebenaran mutlak’ yang harus diyakini?

Kenneth Burke, seorang filsuf dan sastrawan kontemporer Amerika dalam analisanya menyebutkan bahwa setiap bahasa yang diekspresikan manusia adalah simbol-simbol. Dan simbol bisa menjadi manifestasi dari dua hal yang berbeda. Bisa jadi simbol akan merefleksikan kenyataan dan sifat sebenarnya dari apa yang diekspresikan, tetapi bisa jadi simbol adalah alat yang dengan sengaja digunakan untuk mengelabuhi obyek yang menjadi sasaran dari apa yang disampaikan.

Dengan demikian, dari apa yang disampaikan oleh setiap individu, kita seharusnya berada dalam posisi kritis yang tidak boleh menelan mentah-mentah dari apa yang diucapkan, ditulis atau yang disampaikan lewat media apapun. Tidak semua yang kelihatan adalah kenyataan, dan tidak semua kenyataan bisa diperlihatkan. Semua yang diekspresikan manusia adalah simbol-simbol yang bisa jadi adalah kebenaran yang muncul dari si penyampai, tapi bisa jadi adalah bentuk penegasian atas kondisi yang sebenarnya.

Disinilah maka kemudian Burke menyebut ada sebuah ‘dramatisme’ dalam perilaku sosial dan terutama perilaku politik. Secara lebih ekstrim “Jangan mudah percaya apa yang disampaikan, tapi buatlah telaah mendalam justru dari apa-apa yang tidak disampaikan”, begitu kira-kira pesan tersembunyi dari Burke.

Mengacu pada analisis teoritikal ini, kita dituntut untuk menempatkan nalar dan kesadaran kita sebagai nahkoda dalam memahami setiap bahasa kampanye calon. Semua calon pasti akan menyuguhkan segala bentuk persuasi dengan janji dan iming-iming terbaik. Berbagai tawaran program dan kebijakan menarik tentu saja akan dikemas sedemikian rupa dan diarahkan ke semua lini kehidupan masyarakat terutama yang berkait dengan hajat hidup dan kesejahteraan. Perbaikan infrastruktur, Kesehatan, pelayanan public, pembangunan ekonomi, pendidikan, seni budaya sampai berbagai bantuan sosial, sudah pasti akan menjadi konten utama dalam setiap kampanye, bahkan terkadang dijanjikan dalam level yang di luar kemampuan anggaran daerah. Sesuatu yang menggelikan, tapi selalu tersaji.

Setidaknya ada beberapa hal yang harus kita pegang dan pertanyakan untuk bisa memberikan penilaian obyektif sebelum menentukan pilihan. Pertama, pahami dengan jelas setiap poin yang ditawarkan dalam kampanye. Kedua, apakah program dan kebijakan yang ditawarkan sudah sesuai dengan kebutuhan daerah. Ketiga, apakah Jepara memiliki kondisi dan potensi yang bisa mewujudkan semua itu. Keempat, seberapa besar dampak positif yang bisa dicapai dalam kerangka pembangunan Jepara secara keseluruhan. Kelima, bagaimana setiap calon membuat prioritas-prioritas, karena semua dibatasi oleh anggaran dan kemampuan daerah.

Diatas lima hal tersebut, sebenarnya ada perhatian dan telaah paling utama yang harus kita buat, yakni harus bisa mengidentifikasi apakah calon memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mewujudkan tawaran program dan kebijakannya. Sebaik apapun program, di tangan individu yang tidak memiliki kecakapan, hanyalah akan menjadi sesuatu yang bulshit.

Untuk menjadi pemilih yang rasional, kita harus mampu mencerna apa yang disampaikan setiap kontestan dalam setiap bahasa kampanyenya, karena ini hanyalah penampakan dari simbol dan narasi dalam bingkai dramatisme berpolitik. Dan diatas itu semua, profil dari kontestan sesungguhnya adalah hal paling mendasar yang harus kita cermati secara mendalam untuk menentukan pilihan.

Artinya tidak cukup bagi kita menentukan sebuah pilihan obyektif, ketika hanya tergiring oleh janji-janji atau rencana program yang sudah pasti terdengar baik dan menjanjikan. Lebih dari itu, kita secara lebih teliti harus menggerakkan akal dan nurani kita untuk menautkan pilihan berdasar referensi dan portfolio yang melekat pada diri semua calon. Bagaimana latar belakang pendidikannya, fondasi spiritualnya, kecerdasannya,  sikap dan perilakunya dalam keseharian, kiprah dan perannya dalam masyarakat,  bahkan sampai pada seberapa peran dan andilnya dalam pembangunan Jepara sebelum mencalonkan diri.

Sekali lagi, bahasa kampanye hanyalah narasi-narasi dramatisme yang bisa jadi adalah sebuat niat kebenaran. Tetapi bisa juga sebaliknya, bisa jadi hanyalah sebuah ‘pembohongan yang dibalut wajah kenabian’.  Baju yang sesungguhnya dari setiap kontestan adalah apa yang melekat dan peran serta apa yang telah mampu ditunjukkan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

So, pilihan kembali pada kita, apakah cukup teryakinkan dengan simbol-simbol dramatisme dalam setiap bahasa kampanye calon? Ataukah mau bersusah diri untuk mengedepankan rasionalitas berdasar seluruh referensi yang memang harus dicari dan dipahami. Atau, jangan-jangan pilihan kita sudah terkunci oleh ‘nikmatnya belenggu recehan’ yang secara periodik lima tahun sekali kita antri??

Penulis adalah alumni Cumlaude dari Fisipol Universitas Gajahmada