blank
Foto: steemit.com

Oleh: Dr. Muh Khamdan

JEPARA (SUARABARU.ID)- Kurang dua puluh hari lagi, kontestasi politik pemilihan kepala daerah memasuki babak mendebarkan. Tahapan pendaftaran calon bupati dan calon wakil bupati resmi akan dibuka hanya tiga hari, yaitu 27-29 Agustus. Pada masa itu, dimungkinkan akan terjadi keterkejutan publik karena sudah lamanya muncul halusinasi politik bagi sebagian calon kontestan maupun pendukungnya.

Halusinasi pertama adalah menyebut pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai proses yang mudah dan sangat mengenakkan. Faktanya, ketiadaan calon independen perseorangan seolah mempertegas beratnya persaingan dan persyaratan.

Saat pendaftaran calon dari partai baru akan dibuka Agustus ini, calon independen sudah harus lebih dulu mendaftar pada awal Mei kemarin. Sungguh berat rupanya pilkada oleh para peminat di luar jalur partai, karena pembiayaan mesin politiknya mesti ditanggung sendiri akibat politik kerelawanan belum terbangun.

Halusinasi kedua, rekomendasi partai tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bagi para calon kontestan jalur partai, strategi memasang banner, spanduk, flyer, bahkan menggelontorkan bergunung-gunung bantuan untuk memikat masyarakat akan mubadzir jika rekomendasi partai belum diberikan. Inilah halusinasi yang paling merugikan bagi para calon karena muara akhir rekomendasi adalah kewenangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di masing-masing partai.

Tidak ada jaminan seseorang yang sudah “membeli” dukungan para tokoh dan komunitas dengan sejumlah alat peraga politiknya, mendapatkan rekomendasi partai. Sebagaimana sosok Witiarso Utomo yang lebih dikenal dengan Wiwit, upayanya membangun diri sebagai calon tunggal dengan koalisi besar tujuh partai belum tuntas.

Sampai saat ini, yang terpublikasi baru dua partai sudah mengeluarkan rekomendasi dukungan untuk memasangkan Wiwit dan Ibnu Hajar, yaitu Nasdem dan PAN. Artinya, rekomendasi tidak semudah yang dibayangkan, terlebih bagi kader partai yang berpotensi tidak selurus dengan dukungan DPP.

Sebagian besar publik tentu mengetahui bahwa PPP sebagai pemenang pemilu di Jepara, punya dua kader muda yang mengajukan diri sebagai calon. Ibnu Hajar sebagai anak mantan bupati serta keponakan ketua DPC PPP Jepara, dianggap memiliki kans dukungan lebih tinggi.

Pada pihak lain, Jadug Trimulyo yang menjabat sebagai komisaris PT Sari Kreasi Boga yang terkenal dengan waralaba kebab Baba Rafi, tak kalah menjanjikan. Kedua politisi muda PPP itu sama-sama kelahiran 1990-an, sehingga berpotensi menjadi kekuatan segar bagi PPP mengembalikan kedigdayaannya.

Situasi belum menentunya rekomendasi partai, PKB sudah memantaskan diri dengan mengusung KH. Nuruddin Amin atau dikenal dengan Gus Nung sebagai calon bupati. Jalinan komunikasi koalisi hijau yang sempat viral, terlalu berat untuk dilanjutkan. Romantika PKB dapat mengarah pada Gerindra dan Golkar dengan kemunculan sosok Purwanto.

Magnet politik PDIP secara perlahan setidaknya tersalip oleh Gerindra. Kader terbaik PDIP dengan dukungan mayoritas dari PAC-nya, mengarah pada Dian Kristiandi, mantan bupati Jepara. Sayangnya, poros koalisi PDIP seolah meredup karena telanjur “terjebak” pada aliansi tujuh partai yang tidak resmi terikat.

Pada kesempatan itu, langkah alternatif PDIP membangun koalisi adalah memasangkan dengan politisi muda PPP, Jadug Trimulyo, untuk menjaga tren abang-ijo politik Jepara, sembara menggunakan klaim berpengalaman dan milenial nan energik.

Beragam halusinasi politik di atas, rasanya tiga poros sudah tampak mengerucut. Koalisi besar Wiwit-Hajar, setidaknya tetap melaju dengan kekuatan empat partai, yaitu Nasdem, PAN, Demokrat, dan PAN. Poros penantang muncul atas kreativitas komunikasi Gus Nung-Purwanto, yang sekiranya mampu menggaet PKB, Gerindra, dan Golkar. Sebagai poros kuda hitam, PDIP dan PPP dapat memasangkan Dian Kristiandi-Jadug untuk menghadirkan keterkejutan.

Hal yang jelas, mari kita nikmati dengan riang gembira. Mari membiarkan halusinasi masing-masing berkembang, yang terpenting adalah tetap dengan akal sehat. Pilkada itu enak, strateginya tidak jelimet. Katanya.

(Dr. Muh Khamdan, Lulusan Program Doktoral Studi Perdamaian UIN Jakarta, Pembina Paradigma Institute)