Oleh: Amir Machmud NS
// diakah singa itu?/ mewujud satu di antara tiga/ yang perkasa/ ketika dia pergi/ bisakah yang tiba menjadi singa berikutnya?//
(Sajak “Tiga Singa”, Juli 2024)
KETIKA Asosiasi Sepak Bola (FA) Inggris memercayakan tim nasional The Three Lions kepada Fabio Capello pada 2008, banyak pundit yang mereaksi dengan penuh kekagetan, sekaligus harapan.
Selama ini ada anggapan, yang paling mengerti sepak bola Inggris dengan detail filosofinya adalah orang Inggris sendiri. Para tokoh seperti Alf Ramsey, Bobby Robson, Terry Venables, atau Kevin Keegan dianggap lebih paham tentang apa dan bagaimana sepak bola Inggris, yang memang punya karakteristik khas.
Kegegeran wacana publik pada era Capello dulu kira-kira sama dengan ketika Pep Guardiola atau Carlo Ancelotti dispekulasikan mengarsiteki Selecao, tim nasional Brazil, beberapa tahun kemudian, walaupun itu baru sebatas wacana.
Ketika itu, pertanyaannya: apakah Inggris sudah kehilangan rasa percaya diri dengan menghadirkan “orang luar” — dari Italia — yang memiliki filosofi sepak bola berbeda, sebagai pelatih? Benar-benar sudah frustrasikah FA untuk mengembalikan kejayaan dengan mengusung tagline “Football Comes Home” dalam turnamen mayor setelah sukses 1966?
Sebelum Fabio Capello — yang punya sejarah sukses menukangi AC Milan — sebenarnya sudah ada nama pelatih asing, Sven Goran-Eriksson yang diharapkan membawa visi baru dalam permainan Inggris. Yakni dari kick and rush yang seperti “robot” ke arah gaya Eropa daratan.
Kita bisa menyimak seni liukan pinggul, teknik menahan bola, juga kutak-kutik taktik memainkan tempo. Pelatih asal Swedia itu lima tahun (2001-2006) bersama Tim Tiga Singa.
Kini, pengganti Gareth Southgate pasca-Euro 2024 agaknya lebih mengarah ke pelatih lokal ketimbang kemungkinan memilih nama-nama yang diapungkan: dari Juergen Klopp, Pep Guardiola, hingga Mauricio Pochettino.
Di antara yang dijagokan terdapat nama lokal Eddie Howe, Graham Potter, dan Lee Carsley; tetapi FA belum memastikan pilihan.
Perubahan Gaya
Apakah ketika itu Eriksson dan Capello bisa merevolusi gaya bermain di timnas Tiga Singa?
Sedikit perubahan gaya memang mereka bawa. Tapi keduanya mengalami kegagalan justru dalam perhelatan putaran final. Memukau di perjalanan kualifikasi dan sempat menumbuhkan harapan, namun mengendur di medan utama. Seperti Eriksson yang gagal di perdelapan Piala Dunia 2006, dan Inggris bersama Capello terpuruk di Afsel 2010.
Di antara 16 pelatih nasional yang silih berganti dipercaya sejak sukses Alf Ramsey di Piala Dunia 1966, Gareth Southgate termasuk yang cukup lama menukangi timnas. Sebelum mengundurkan diri selepas Euro 2024, selama 10 tahun dia membentuk Harry Kane dkk menjadi kekuatan internasional yang tak hanya berada di tataran medioker. Dia bahkan disebut-sebut sebagai pelatih terbaik setelah Alf Ramsey yang memberi trofi Piala Dunia 1966.
Pada 2018, Inggris dia bawa ke semifinal Piala Dunia, dan akhirnya menempati peringkat keempat di bawah Prancis, Kroasia, dan Belgia. Dia juga berturut-turut mengantar tim ke final Euro, 2020 (kalah adu penalti dari Italia), dan 2024 (kalah 1-2 dari Spanyol).
Capaian ini tidaklah kaleng-kaleng. Dia sukses menyatukan potensi-potensi muda seperti Bukayo Saka, Jude Bellingham, Kobbie Mainoo, Declan Rice, dan Ollie Witkins dengan para bintang sekualitas Harry Kane, Jordan Pickford, Alex Trent, Kieran Trippier, Luke Shaw, dan Kylie Walker. Dia berani meninggalkan pemain berkategori elite, Marcus Rashford dan Jack Grealish.
Harry Maguire, bek sentral yang menjadi tulang punggung Gareth Southgate sejak 2016, berkomentar, sang pelatih telah berhasil menyuntikkan kepercayaan diri untuk kebangkitan Three Lions.
Chemistry
Memang tidak mudah menemukan chemistry pelatih dan timnya seperti kisah Southgate dengan Inggris. Dia telah menyatukan visi, filosofi, dan taktik bermain ke Pasukan Tiga Singa. Selama 10 tahun terakhir, Southgate betul-betul identik dengan apa pun kiprah timnas.
Walaupun para legenda banyak mengkritik Inggris “kurang punya karakter” dan miskin taktik pada awal penampilan di Euro 2024, namun perlahan tapi pasti Southgate membawa tim ke performa yang meningkat dari perempatfinal, semifinal, hingga final.
Ya, sedikit saja kekurangberuntungan saat menghadapi Spanyol di partai puncak, namun Inggris mampu menghadirkan pertarungan sengit melawan La Furia Roja.
Itu adalah cermin, bagaimanapun, selama satu dasawarsa Southgate telah membawa Inggris ke percaturan elite.
Siapa pun penggantinya, tak mudah memberi bandingan performa timnas Inggris di bawah Gareth Southgate dengan gambaran penampilan-penampilan berikutnya.
Dia telah melangkah dengan memadukan elemen-elemen perkembangan dinamis klub-klub sepak bola di Liga Primer, menyerap kehadiran pelatih sekualitas Klopp dan Pep di liga, kemampuan bersaing di pelataran Eropa dan dunia
Yang tak kalah penting, mengintroduksi taktik yang sesuai dengan tuntutan persaingan, tanpa harus merasa inferior “kurang pergaulan” di level elite…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —