SEMARANG (SUARABARU.ID) – Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di Aula Kresna Basudewa, Selasa (21/5/2024).
Dalam FGD membahas tentang analisa dan evaluasi terhadap hukum industri kreatif. Kakanwil Tejo Harwanto melalui Kadiv Administrasi, Anton Edward Wardhana membuka kegiatan yang diikuti oleh Pemerintah Provinsi Jateng, Akademisi, stakeholder terkait dan para pelaku industri kreatif.
Anton mengatakan, FGD ini diselenggarakan untuk menyaring data dan permasalahan hukum terkait industri kreatif di Jawa Tengah khususnya Kota Semarang, sehingga bisa menelurkan masukan yang komprehensif, guna menjadi rujukan dalam penataan regulasi.
“Kami menyambut baik pelaksanaan FGD Analisis dan Evaluasi Hukum ini di Semarang, semoga dapat memberikan gambaran dan informasi secara menyeluruh berbagai permasalahan hukum yang berkaitan dengan Industri Kreatif, baik di Semarang secara khusus maupun Provinsi Jawa Tengah secara umum,” katanya.
Ia menjelaskan, Jateng sebagai Provinsi yang dinilai berhasil mengembangkan ekonomi kreatif memiliki peluang industri yang menarik di sektor kuliner, fashion, dan kriya. Bahkan kontribusi terhadap pendapatan daerah cukup tinggi, yakni pada sektor kuliner 69,8%, diikuti sektor fashion 16,96%, dan kriya 8,71%.
Sementara Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN, Nur Ichwan menyebut, ekonomi kreatif menjadi salah satu penggerak ekonomi bangsa yang memiliki banyak sektor untuk mewujudkan visi Indonesia. Pemerintah pun berkomitmen untuk mendukung perkembangan ekonomi kreatif ini.
“Industri kreatif menjadi penggerak nilai ekonomi, produk yang dihasilkan menjadi produk berharga dan bernilai ekonomis tinggi. Komitmen (Pemerintah) dalam mengembangkan ekonomi kreatif dimanifeskan ke dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019,” kata mantan Kadiv Pelayanan Hukum dan HAM Jateng itu.
Permasalahan terbesar yang dihadapi para pelaku industri kreatif saat ini adalah kurangnya akses pendanaan, serta perlindungan dan pemanfaatan Kekayaan Intelektual (KI). Padahal, untuk mengembangkan sebuah industri kecil juga diperlukan modal yang tidak sedikit. Untuk itu diharapkan pemerintah bersama stakeholder terkait bisa memberikan perhatian terkait pendanaan bagi pelaku industri kreatif.
Sementara terkait Kekayaan Intelektual, masih banyak dari para pelaku kreatif yang belum menyadari pentingnya perlindungan hukum terhadap produk yang dihasilkan. Sebagian besar menyayangkan untuk mengeluarkan budget demi mendaftarkan merek mereka misalnya.
Jika ditarik dari untung ruginya, dengan mendaftar KI, para pelaku industri ini akan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dari produk buatan mereka. Bahkan bisa melaporkan apabila ada yang menjiplak produk ciptaan mereka. Pemahaman ini yang perlu disosialisasikan kepada pelaku kreatif. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak yang ingin Indonesia maju melalui industri kreatif.
Kegiatan dilanjutkan dengan paparan dari dua orang narasumber yaitu Berty Diah Rahmana (pelaku industri kreatif dan ketua gerakan ekonomi kreatif nasional wilayah Jawa Tengah) dan Syanaz Nadya Winanto Putri (pelaku industri kreatif dan founder & owner rorokenes Indonesia).
Ning S