JC Tukiman Tarunasayoga
JUSTRU seorang teman yang saat ini tinggal di AS mengirimkan secara lengkap daftar nama tembang macapat berikut guru lagu, guru wilangan, dan sifat-sifat tembangnya.
Hebat dia. Masa kecil yang sudah akrab dengan tembang macapat, -karena diajarkan di sekolah- , terbawa terus sampai sekarang sudah senior, pun ketika bermukim di negeri orang.
Durma, seperti kita tahu, adalah salahsatu dari 11 (sebelas) tembang macapat dengan guru gatra 7 (tujuh), dan dari tujuh guru gatra itu kalau dirinci jumlah suku katanya (guru wilangan), adalah sebagai berikut: 12, 7, 6, 7, 8, 5, 7.
Baca juga Ngabar
Apa ini maksudnya? Dalam tembang Durma ini, gatra (kalimat) pertama terdiri dari 12 (duabelas) suku kata, kalimat kedua terdiri dari 7 (tujuh) suku kata, dan seterusnya sampai kalimat ketujuhnya.
Kecuali itu, setiap gatra ada patokan huruf vokal terakhirnya (guru lagu), yakni a, i, a, i, a, a, i. Contoh garta pertama: La-mun si-ra pin-ter be-cik lem-bah ma-nah; jika kaudiberi kepandaian, rendah hatilah. Begitu dan seterusnya disusunnya.
Durma vs Durna
Kata durma, tadi sudah disebutkan, adalah salah satu tembang macapat yang konon “bersifat” dan menggambarkan kesedihan, galau, seolah mendung, sendu.
Intinya, agak kurang hepi, begitulah. Dari kata durma, ada kata durmanggala, artinya ngalamat ala, ada sinyal-sinyal jelek; juga ada kata durmata, yang artinya ala kelakuane, berkelakuan tidak baik; dan juga berarti bodho, bodoh.
Karena itu, saran saja nih, sebaiknya jangan memberi nama anak atau cucu Anda Durmata, atau pun durmanggala. Mengapa harus dihindari? Yah…….. kasihanlah anak itu akan menanggung beban kesedihan, bahkan dipandang bodoh. Jangan, ya!
Topik bahasan kali ini sebenarnya tentang durna, bukan durma. Dalam dunia wayang kulit, Durna adalah tokoh penting di pihak Astina. Dia sering disebut sebagai resi, sebutlah orang pintar.
Baca juga Balada Menipisnya RIW: Rikuh, Isin, lan Wirang
Namun, oleh sejumlah dalang, tokoh Durna ini sering ditampilkan sebagai tokoh bermuka dua, atau sebutlah antagonis, bahkan cenderung tokoh yang sukanya memperuncing masalah lewat gaya bicaranya yang tumbak cucukan.
Maksudnya, suka mengadu domba, menjelekkan, bikin panas dengan info-infonya yang di-lebay-kan, dst… dst.
Arti kata durna ada dua sekurang-kurangnya, yakni wilah palangan dipasang ing kranjang, sebilah bambu penguat yang dipasang di keranjang; dan arti keduanya berasal dari Bahasa Kawi, yaitu pangayoman, tempat berteduh.
Berakar dari kata durna, lalu dikenal ada kata durniti, yang artinya mirip-mirip dengan durma tadi, yaitu menunjukkan kelakuane utawa pranatan ala.
Artinya, seseorang dapat dikategorikan sebagai durniti manakala orang itu entah tingkahlakunya atau aturan-aturan yang dibuatnya termasuk jelek. Orang semacam itu lalu lebih khas dipanggil durta, karena dia orang julig, banyak akal jeleknya.
Durniti juga bermakna mungsuh utawa satru, dan kalau Anda suatu saat mendengar kata dursila, itu maksudnya mengatakan “ada maling, ada pencuri,” atau sering disebut juga wong ala.
Durna
Kosakata durna yang semula bermakna bagus, yaitu pengayoman, tempat berlindung; mengapa “semakin ke sini” berkembang menjadi kurang baik? Apakah karena dipersonifikasikan sebagai tokoh Durna di pewayangan, ditambah lagi oleh dalang yang me-lebay-kannya?
Entahlah, namun yang jelas, dewasa ini, dalam percakapan sehari-hari, seseorang yang suka mengadu-domba, menjelek-jelekkan pihak lain, manas-manasi, dsb sering disebut “dasar Durna.”
Lalu, seolah melengkapi lebih lanjut atribut Durna, orang (siapa pun itu) yang banyak akal jeleknya, yakni julig, ia dapat dan pantas disebut sebagai Durna, meski yang lebih tepat seharusnya durta.
Nah, …………. Bagaimana halnya dengan para koruptor? Dapat disebut apa mereka itu? Barangkali paling tepat, para koruptor itu disebut wong dursila. Bahwa wong dursila itu seringkali ada juga yang pinter manas-panasi, memutar-balikkan fakta atau peristiwa, ngomong ini ngomong itu padahal tidak ada faktanya, dsb. orang semacam itu Durna juga.
Ternyata, banyak ya jumlah Durna itu? Buktinya KPK tidak pernah berhenti melaksanakan tanggungjawab dan kewajibannya melakukan pemberantasan korupsi. Ada Durna kakap, ada Durna menengah, dan ada juga Durna kecil-kecilan. Durna terakhir disebut ini untuk saat ini paling “merasa aman” karena KPK belum menyentuh sampai ke yang kecil-kecil. Tentang Durna ini, para pengarang macapat sepatutnya dapat menuangkannya ke dalam tembang macapat Durma. Contoh di atas tadi dapat dilanjutkan:
Lamun sira pinter becik lembah manah;
aja malah minteri;
apa maneh nistha;
kanthi tumindak ala,
yaiku laku korupsi.
Kuwi dursila;
Durna kang nggegirisi.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University