SEMARANG (SUARABARU.ID)- Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat mengatakan, negara harus bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat, dengan menjamin eksistensi dan melindungi mereka, sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
”Masyarakat adat kerap dipandang sebagai objek, karena kepemilikan atas lahan yang dapat dihargai dengan uang. Perlindungan pada hak hidup mereka kerap diabaikan,” kata Lestari dalam sambutan tertulisnya, pada diskusi daring bertema ‘Keberadaan Masyarakat Adat dalam Negara Indonesia, Sampai Dimana?’, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (9/8/2023).
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri SH LLM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Dr (HC) H Sulaeman L Hamzah (Anggota Badan Legislasi DPR RI), Hilmar Farid PhD (Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI) dan Dr Atang Irawan SH MHum (Pakar Hukum Tata Negara) sebagai narasumber.
BACA JUGA: Lakukan Dokumentasi Budaya, Dewi Utami Luncurkan Novel “Gadis Kaliwadas” Kisah Sedih Sang Primadona
Selain itu, hadir pula Abdon Nababan (Pegiat Masyarakat Adat) dan Siswantini Suryandari (Wartawan Media Indonesia), sebagai penanggap.
Dalam keterangannya Lestari menyebut, masyarakat adat selalu menghadapi konflik agraria, masalah pengakuan oleh negara, dan perlindungan atas ragam pelanggaran atas hak-hak dasar mereka.
Hingga saat ini, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, pengakuan pada masyarakat adat masih berbasis individual. Padahal yang perlu menjadi catatan adalah, pengakuan terhadap masyarakat adat mesti dilakukan secara menyeluruh, baik komunal maupun individual.
BACA JUGA: Kanwil Kemenkumham Jateng Gelar Upacara Tabur Bunga
Karena, ujar Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, masyarakat adat merupakan satu kesatuan entitas dengan kearifan lokal yang melekat.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu berpendapat, minimnya pemahaman aparatur dan pengabaian berkelanjutan atas kultur masyarakat adat, sama saja dengan membangun pola pembiaran pada keberlangsungan hidup komunitas adat.
Rerie berharap, peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional setiap 9 Agustus, menjadi refleksi sekaligus “peringatan” bagi negara, untuk segera menghadirkan sebuah produk undang-undang perlindungan, yang saat ini masih dalam tahapan legislasi, dan merupakan amanah konstitusi.
BACA JUGA: Mahasiswi Unissula Dari Demak Raih Beasiswa Sekolah Duta Maritim Indonesia III
Anggota Badan Legislasi DPR RI, Sulaeman L Hamzah mengungkapkan, sejatinya ada dua hal besar terkait masyarakat adat, yaitu telah adanya sejumlah peraturan perundang-undangan terkait masyarakat hukum adat, namun belum menjamin terlaksananya mekanisme perlindungan terhadap masyarakat adat.
Menurut dia, di pelosok selalu saja terjadi peristiwa yang menimpa masyarakat hukum adat. Diakui Sulaeman, upaya untuk mewujudkan hadirnya Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat, sudah dilakukan DPR pada periode 2014-2019.
Hingga 15 September 2020, tambah dia, pihaknya juga sudah berupaya mendorong untuk diajukan ke Rapat Paripurna, agar segera dibahas pada Badan Musyawarah.
BACA JUGA: Dua Gol Spesial Septian David Maulana Riuhkan Stadion
Sulaeman berjanji, Fraksi Nasdem di DPR akan terus mendorong RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA), untuk segera diparipurnakan.
Sementara itu, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, Hilmar Farid mengungkapkan, terminologi masyarakat adat dalam konvensi ILO 169 ada dua, yaitu indegenous people (penduduk asli) dan tribal people (orang suku).
Dia memperkirakan, bila RUU MHA kembali dibahas, sejumlah pihak akan mempermasalahkan terminologi indegenous, yang merupakan orang asli, sebelum datang yang lain.
BACA JUGA: Kapolres Wonogiri Pimpin Upacara Sertijab Kasatlantas
Namun jelasnya, masyarakat adat di Indonesia merupakan orang asli di wilayah terkait. Selain itu, ada banyak pengertian yang berbeda dalam sistem hukum dan birokrasi di Indonesia, terkait masyarakat adat.
Sehingga dalam pembahasan lanjutan RUU MHA, jelas Hilmar, harus dipertimbangkan latar belakang permasalahan itu.
”Saat ini banyak undang-undang yang menempatkan masyarakat adat sebagai objek, sehingga selalu saja dalam pelaksanaan undang-undang yang ada, masyarakat adat menjadi korban,” jelas dia.
Riyan