Oleh : Hadi Priyanto

Kawasan Karimunjawa- Jepara- Muria dengan luas daratan 1.236.083,97 ha baru saja ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO pada tanggal 28 Oktober 2020. Tujuannya melindungi keanekaragaman hayati yang ada didalamnya untuk kehidupan umat manusia.

Biosfer adalah lapisan bumi yang dapat dihuni atau ditinggali oleh makhluk hidup untuk melangsungkan hidupnya. Lapisan ini berupa daratan, perairan dan udara yang memungkinkan adanya kehidupan di bumi. Akan tetapi, biosfer lebih fokus kepada tempat tinggal makhluk hidup, seperti flora dan fauna yang bertempat di daratan atau di perairan

Sampai saat ini, di dunia telah tercatat ada sekitar 651 cagar biosfer di 120 negara yang terdistribusi dalam lima kawasan, yakni Afrika, Eropa, Amerika Utara, Asia Pasifik, Kawasan Kepulauan Karibia, Amerika Latin, dan Kawasan Arab. Salah satunya yang ada di Indonesia adalah Kawasan Karimunjawa- Jepara- Muria

Salah satu kawasan inti Cagar Biosfer Kawasan Karimunjawa- Jepara- Muria adalah Taman Nasional Karimunjawa yang merupakan kawasan konservasi laut yang mewakili keutuhan dan keunikan pantai utara Jawa Tengah

Jauh sebelum ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer, Karimunjawa telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Surat Keputusan No. 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999 sebagai Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dengan luasan kawasan adalah 111.625 hektar. Sebelum itu, telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Karimunjawa

Eksistensi Karimunjawa juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) Tahun 2010-2025 yang menegaskan Karimunjawa-Semarang dan sekitarnya sebagai “Eco Island Resort of Karimunjawa” dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Karimunjawa.

Ancaman Cagar Biosfer

Namun kawasan Karimunjawa saat ini menghadapi tantangan serius berupa pengembangan tambak udang intensif sejak tahun 2020 yang tidak kunjung terselesaikan. Walaupun dampak yang ditimbulkan semakin luas dan nyata. Bahkan berdampak buruk dan merusak perairan Zona Perawatan Cagar Biosfer.

Sementara kontribusinya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal sangat kecil. Ini nampak dari hasil penelitian dari Agus Roma Purnomo, Mufti Petala Patria, Noverita Dian Takarina dan Mahawan Karuniasa dari Universitas Indonesia. Hanya sebesar 9,36 %. Sebab manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh para petambak yang berasal dari luar Karimunjawa.

Sementara dampak merugikan dari kegiatan tambak udang di Cagar Biosfer Karimunjawa terhadap ekologi disebutkan sebesar 34,81% berupa tekanan terhadap biota laut dan pertanian. Sedangkan secara sosial sebesar 34,22% berupa konflik sosial di masyarakat.

Tambak udang Karimunjawa memang pernah mengalami booming dari tahun 1990 hingga 2000 dengan budidaya udang windu dan udang galah, namun kemudian runtuh. Tambak kemudian ditinggalkan selama 20 tahun dan kemudian mulai tertutup vegetasi mangrove dan baru kembali dikembangkan tahun 2020. Bahkan kehadirannya disambut hangat oleh pemerintah setempat waktu itu, sebab dinilai mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tambak udang di Karimunjawa saat ini tercatat seluas 42,08 ha yang terbagi dalam 238 petak dan dikelola oleh 33 orang petambak yang terdiri dari hal milik 9 orang dan sewa 24 orang petambak menyewa. Dari jumlah tersebut yang mengelola tambak secara intensif 19 orang, semi intensif 6 dan 8 orang secara tradisional.

Sedangkan lokasinya semakin menyebar di Legon Lele, Legon Boyo, Legon Cikmas, Jati Kerep, Nyamplungan, Gonipah, Gonkluweh, Jelamun, Kemujan, Legon Gede, Telaga dan Legon Pinggir

Kekhawatiran muncul karena lokasi tambak udang berdekatan dengan zona Inti Cagar Biosfer yang ada di Karimunjawa. Ironisnya beberapa tambak tidak memiliki kolam pengolahan limbah.

Beberapa memang sudah memiliki unit pengolahan limbah, namun pengolahannya belum optimal sehingga kegiatan budidaya udang diduga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan berupa penurunan kualitas air di Taman Nasional Karimunjawa hingga mengancam keanekaragaman hayati

Apalagi berdasarkan Ekspose Verifikasi Budidaya Tambak Udang di Karimunjawa tahun 2022 diketahui bahwa semua pipa inlet (pengambilan air laut) dan semua pembuangan air limbah dari kegiatan tambak udang berada di perairan Taman Nasional Karimunjawa sehingga berpotensi menimbulkan dampak pencemaran terhadap perairan Taman Nasional Karimunjawa.

Sebab limbah tambak intensif menghasilkan limbah organik berupa sedimen, koloid, dan padatan tersuspensi dan terlarut. Limbah organik tersebut akan terdegradasi oleh mikroba aerobik yang menggunakan oksigen terlarut (DO) yang tersedia. Namun jumlah sampah organik yang berlebihan akan meningkatkan aktivitas mikroba sehingga menurunkan oksigen terlarut (DO) di perairan

Munculnya budidaya tambak udang juga telah menyebabkan peningkatan kekeruhan di perairan dan secara ekologis mencemari pertanian dan perikanan di wilayah pesisir Karimunjawa. Karena itu perlu ada langklah kongkrit untuk mengurangi dampak lingkungan di Cagar Biosfer Karimunjawa karena potensi ancaman yang disebabkan kegiatan tambak merupakan ancaman terkait dengan pelestarian keanekaragaman hayati di Cagar Biosfer.

Apalagi limbah yang dihasilkan dari air buangan kolam tambak dapat mempengaruhi perairan laut Taman Nasional Karimunjawa yang di dalamnya terdapat ekosistem terumbu karang yang menjadi ikon wisata. Limbah yang dibuang langsung dapat menyebabkan blooming algae di perairan pesisir Karimunjawa dan sangat berbahaya karena menyebabkan dissolved oxygen dapat turun kadarnya hingga menyebabkan kondisi anoxic (tanpa oksigen). Kondisi ini telah terjadi dan tampak nyata di perairan Pantai Cemara, Karimunjawa dan di 14 titik pengembangan tambak intensif lainnya.

Kini kita sedang menunggu penyelesaian kontroversi tambak udang intensif di Karimunjawa oleh para pemangku kepentingan. Ada banyak pertimbangan memang. Namun seharusnya menjaga Karimunjawa sebagai Cagar Biosfer yang tujuannya untuk melindungi keanekaragaman hayati yang ada didalamnya harus menjadi pertimbangan utama.

Sebab semakin lama dibiarkan, akan semakin banyak luka dan kerusakan yang ditimbulkan. Termasuk luka dan kerusakan kawasan perbukitan dan wilayah pesisir Karimunjawa akibat exploitasi untuk kepentingan pariwisata yang berlebihan dan bahkan tak terkendali.

Penulis adalah pegiat budaya dan Wartawan SUARABARU.ID Wilayah Kabupaten Jepara