Oleh: Amir Machmud NS
// bakal selamanyakah Napoli hanya mengenang Maradona?/ yang terabadikan di titik pusat San Paolo/ tersematkan sebagai manusia setengah dewa/ rohnya memayungi/ menebar aura di selatan negeri//
(Sajak “Napoli Baru”, 2023)
LEGENDA Sportiva Societa Calcio (SSC) Napoli seolah-olah abadi memusat ke satu nama: Diego Armando Maradona.
Mungkin karena belum atau takkan ada figur dengan kemampuan setara. Bahkan bukan pula Gianfranco Zola yang pernah dijuluki “Marazola”, atau pada era sekarang ketika Khvicha Kvaratskhelia, pemain muda asal Georgia mendapat label mediatika: “Kvara-Dona”.
Julukan-julukan itu menggambarkan kerinduan. Semua inspirasi, rasa-rasanya memusat pada kemahadewaan El Pibe de Oro, pada masanya.
Dan, musim ini sentuhan allenatore Luciano Spaletti membangkitkan harapan orang-orang Italia Selatan untuk meraih scudetto, kebanggaan yang pada 1987 dinikmati berkat suntikan kehebatan Diego Maradona.
Bahkan andai Spalletti mampu memberi trofi, dia juga menjebol tabir rekor untuk diri pribadi. Ya, bukankah petualangannya dari klub ke klub elite Liga Serie A — dengan performa seimpresif apa pun — , belum pernah menghasilkan gelar juara?
Musim inikah saatnya Napoli memberi keyakinan kepada diri sendiri untuk melenggang meninggalkan klub-klub yang identik dengan juara Italia? Dari Juventus, Internazionale Milan, AC Milan, AS Roma, atau Lazio? Hingga pekan ini, Napoli memimpin klasemen dengan jarak yang masih sangat nyaman.
Pusat Impian
Dalam urusan sepak bola, warga Naples tak akan pernah bisa memupus kerinduan kepada Diego Maradona, pemain yang dicintai dan dipuja layaknya dewa. “Il Nostro Dio”, begitu mereka menyebutnya.
Scudetto dan kejayaan Eropa pada 1987 dan 1989 di bawah arahan Ottavio Bianchi dengan kisah-kisah kehebatan sederetan bintang adalah rekaman perjalanan “unjuk diri” Napoli. Kawasan ini banyak disebut merepresentasikan inferioritas Italia Selatan di hadapan superioritas Italia Utara.
Selain Maradona, kisah kejayaan Il Partenopei mencatat kepahlawanan Antonio Careca, Alemao, Andrea Carnevale, Fernando de Napoli, Massimo Crippa, Luca Fusi, atau Ciro Ferrara.
Setelah sekian lama terbenam menjadi kekuatan medioker pasca-kejayaan 1989, sempat disegani di era pelatih Maurizio Sarri (2015-2018), kini Luciano Spaletti menemukan racikan yang menyulitkan kekuatan-kekuatan mapan Serie A.
Awalnya, ketika pada 2021 ia mewarisi tim yang ditinggalkan oleh sederet bintang seperti Dries Martens, Kalidou Koulibaly, Lorenzo Insigne, dan Fabien Ruiz, banyak yang dengan sinis membayangkan: bisa apakah Spaletti?
Nyatanya, penganut rezim permainan rancak-mengalir ini menemukan kunci taktikalnya pada tiga pemain yang kurang diperhitungkan: Kvicha Kvaratskhelia, Kim Min-jae, dan Victor Osimhen.
Masih ada satu lagi pemain yang digaet dengan harga murah tetapi terbukti berperan penting: Juan Jesus dari Brazil. Penggemar bola tentu juga kurang karib dengan nama Amir Rrahmani, padahal bek tengah asal Kosovo itu menjadi kunci ketangguhan pertahanan Napoli.
Artinya, strategi transfer manajemen klub ini cukup sukses. Tidak mengumbar kocek, tetapi efektif memenuhi kebutuhan skema taktik Spaletti.
Kembalinya Napoli ke orbit juara dan atmosfer persaingan Eropa memberi warna di tengah sejumlah klub yang membangun tim dengan kekuatan uang.
Napoli dan Spaletti terbukti bisa menunjukkan jalan yang berbeda. Belanja minimalis dan menyatukan potensi pemain yang dimiliki untuk bersaing di level elite.
Ketika rivalitas Liga Serie A dan Liga Champions musim ini membawa-bawa potensi juara Napoli, bukankah ini bukti betapa mereka mampu secara positif menjabarkan inspirasi jejak kejayaan masa lalu? Kini, konsistensi langkahlah yang ditunggu.
Stadion Diego Armando Maradona adalah habitat yang cukup “berbicara” dengan bahasa auranya. Ada rindu, ada ilham, ada impian…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —