SEMARANG (SUARABARU.ID)– Kemiskinan ekstrem dan stunting, selalu saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Karena itu, pengentasan kemiskinan menjadi penting dilakukan secara bersama dan menyeluruh, untuk mewujudkan anak bangsa sehat dan tangguh, dalam menghadapi tantangan di masa depan.
”Langkah pegentasan kemiskinan dengan berbagai upaya, harus terus digencarkan. Karena ini dapat mengakselerasi pencapaian target di sektor kesehatan, dan sumber daya manusia di Tanah Air,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (15/1/2023).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka kemiskinan pada 2021 sebesar 27,54 juta jiwa atau 10,14 persen dari populasi. Pada Maret 2022, angkanya turun menjadi 9,54 persen.
BACA JUGA: Petki Jadi Penghubung Sekaligus Ruang bagi Penyandang Tunanetra
Selain itu, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang dikutip Bank Dunia, tercatat 5,98 juta orang Indonesia yang berada dalam kondisi kemiskinan ekstrem pada 2021. Jumlah itu setara 2,16 persen dari total populasi.
Bank Dunia mengategorikan kemiskinan ekstrem, sebagai kondisi kelompok masyarakat dengan pengeluaran di bawah 1,9 dolar AS per hari, atau dengan kurs Rp 15.145 per dolar AS saat ini, setara dengan Rp 28.775,50.
Bank Dunia juga mencatat, ujar Lestari, Indonesia merupakan salah satu negara yang berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem, rata-rata 2,1 persen per tahun. Bahkan, tambahnya, pada 2024 pemerintah menargetkan tidak ada lagi penduduk dengan kemiskinan ekstrem.
BACA JUGA: Terduga Pelaku Curanmor di Ngawi asal Jepara Tewas
Meski begitu, tambah Rerie sapaan akrab Lestari, perlu diantisipasi kelompok masyarakat yang gagal dalam beradaptasi dengan sejumlah perubahan yang terjadi di berbagai bidang, yang berpotensi menambah angka kemiskinan baru.
”Setidaknya selama ini pemerintah telah menekan angka kemiskinan ekstrem dengan tiga cara, yaitu memberikan bantuan sosial dan subsidi, pemberdayaan masyarakat, serta pembangunan infrastruktur pelayanan dasar,” ujar Rerie.
Berdasarkan garis kemiskinan yang dihitung BPS, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, pengeluaran makanan memiliki proporsi lebih besar, ketimbang non makanan. Hal itu menunjukkan, perubahan harga makanan dapat menyebabkan gejolak, terutama penduduk miskin.
BACA JUGA: Gupolo, Rokok Herbal Asal Padurenan ini Ramaikan Persaingan Industri Rokok Kudus
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu berpendapat, target terus menekan dan menghilangkan angka kemiskinan ekstrem lewat berbagai upaya yang berkelanjutan secara konsisten, harus direalisasikan.
”Apalagi ancaman perubahan iklim dan konflik global, berpotensi mempengaruhi pasokan energi dan pangan dunia,” imbuhnya.
Sehingga, lanjut Rerie, upaya menekan angka kemiskinan ekstrem tidak hanya didekati dengan pembagian bantuan sosial semata, tetapi juga memastikan, masyarakat yang dikategorikan miskin ekstrem itu, dapat menjalani kehidupan yang layak secara berkelanjutan.
”Upaya menekan angka kemiskinan ekstrem itu harus dilakukan dengan konsisten dan segera. Karena ini berpotensi juga mendorong peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Seperti menekan jumlah kasus stunting di sejumlah daerah, yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan daya saing pada semua anak bangsa,” tukasnya.
Riyan