JEPARA (SUARABARU.ID)- Sebuah karya sastra yang berjudul “Kidung Gunung Mangungkung” lahir dari seorang seniman serba bisa. Widyo ‘Babahe’ Laksono, pria kelahiran Jepara, yang baru saja merayakan hari jadinya pada Senin, (19/12/2022) ini sekaligus melaunching sebuah buku yang isinya tembang macapat.
Dalam launching buku “Kidung Gunung Mangungkung” yang digelar di Gedung Dewan Kesenian (DKD) Jepara ini dihadiri ketua DKD Jepara, Kustam Ekajalu, para pegiat sastra, macapat pesisiran dan pegiat seni, teater dan sastra.
Dimoderatori oleh Den Hasan, acara launching buku karya Widyo ‘Babahe’ Laksono ini juga dibedah oleh Ketua III DKD Jepara, Sarjono. Dalam kesempatan itu, salah satu peserta milenial bertanya tentang apa itu Mangungkung.
Karena bahasa yang digunakan, kidung atau macapat ini bahasa Jawa yang sudah jarang digunakan sehari-hari. “Mangungkung, itu gaung, atau suara yang bergema,” terang, Babahe menjelaskan.
Dalam buku ini ada 79 kidung. 55 diantaranya, Maskumambang dan 24 Mijil. Ke Tujuh puluh sembilan kidung dalam bahasa Jawa. Dan di lembar berikutnya ada semacam translate atau pengartian dalam bahasa Indonesia.
Macapatan Isine Muria. Seluruh kidung berisi tentang Gunung Muria. Yang meliputi sekitar lerengnya di tiga kota, Kudus, Pati dan Jepara. Bercerita tentang alam, gunung, situs, budaya, tradisi, tumbuhan, satwa dan sebagainya.
“Buku ini sangat menarik, jangan sampai berhenti di rak buku dan berdebu. Buku ini harus diulas lagi dan lagi, bukan cuma malam ini saja”, terang Sarjono.
Semua yang hadir sepertinya sepakat dengan pernyataan Sarjono. Karena di era milenial sekarang ini, tidak banyak lagi yang mengerti apa itu kidung, macapat. Serta bagaimana melantunkannya, apa arti bahasanya, filosofinya dan banyak lagi yang perlu diulas.
Widyo “Babahe” Leksono adalah salah satu seniman serba bisa di Kota Ukir. Selain seniman, dia juga seorang pendongeng, penulis dengan segudang pengalaman. Sudah puluhan buku karya beliau. Karya fiksi maupun non fiksi, buku solo dan bersama penulis lainnya.
ua/beje