KUPANG (SUARABARU.ID) – Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Dr Antonius Benny Susetyo mengatakan, dalam era digital di saat ini, kearifan lokal mulai terlupakan.
Bangsa kita yang dahulu amat menghormati kebudayaan dan keberagaman, sekarang terjebak dalam politik identitas, berita bohong, dan hoaks.
Hal itu disampaikan Benny Susetyo dalam seminar pendidikan bertajuk “Peran Pendidik dalam penanaman Nilai Nilai Pancasila melalui Kearifan Lokal”, di aula SMK 3 Kupang, NTT, Selasa (11/10/2022).
Seminar ini merupakan kerja sama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila melalui Direktorat Evaluasi Kedeputian Pengendalian dan Evaluasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, di aula SMK 3 Kupang, NTT, Selasa (11/10/2022).
Seminar diikuti sekitar 100 guru dan pendidik di Provinsi Nusa Tenggara Timur secara luring dan 1.200-an orang secara daring melalui aplikasi zoom meeting.
Menurut Benny, para guru punya beban berat dalam usaha tidak hanya mengajar, namun dapat mendidik dan menjadi teman bagi para peserta didik yang merupakan generasi masa depan bangsa, untuk dapat mengembalikan masyarakat Indonesia kepada fitrahnya sebagai bangsa yang menghargai keanekaragaman suku, budaya dan bahasa sebagai anugrah dari Tuhan yang Mahaesa agar negara ini tidak berakhir terpecah belah dan musnah.
Penulis Buku Politik, Pendidikan Penguasa ini menyampaikan, dalam era digital, internet dan media sosial memiliki nilai dan bagian luar biasa dalam kehidupan manusia. “Keberadaannya yang tidak mengenal ruang dan waktu membuat masyarakat tak sadar makin tergantung kepada Internet,” kata dia.
Karena hal tersebut terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat. Sekarang masyarakat lebih mementingkan kepopuleran, kuantitas mengenai berapa like, view, dan share yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan media sosial yang cenderung mengedepankan sensasi, konten nirfaedah, dan berita bohong.
“Hal ini sejalan dengan perumpamaan Plato tentang manusia yang masuk gua besar dan meraba raba, kebenaran di era digital ini cenderung mengedepankan persepsi, bukan kesadaran kritis dalam mengolah informasi,” ujar doktor komunikasi politik ini.
Lebih lanjut Benny menyatakan, saat ini setiap orang bisa menjadi berita. Keterbukaan ruang publik di alam digital membuat siapa saja dapat menjadi sumber informasi hingga siapa pun yang kreatif, berteknologi tinggi dengan konten yang dapat mempengaruhi masyarakat.
“Dialah yang paling unggul. Hal ini menyebabkan ruang publik direduksi menjadi alat kepentingan , bukan ruang dialektika untuk memajukan masyarakat , ruang publik seharusnya menjadi ruang dialog multiarah bukan sekedar tempat bermonolog para individualis yang tidak menghargai perasaan orang lain dan nilai nilai yang berkembang dalam masyarakat,” tambah rohaniwan Katolik ini .
Oleh karena itulah dia berharap, para guru dapat terlibat secara aktif dengan mulai mengajak para murid untuk memenuhi ruang digital dengan konten-konten positif yang penuh budaya dan kearifan lokal agar masyarakat dapat menyadari bahwa kebersatuan adalah hakekat berbangsa dan bernegara
Romo Benny mengharapkan agar melalui konten-konten positif ini, diharapkan pembumian nilai nilai luhur Pancasila tidak hanya dapat sampai dan terinformasikan kepada masyarakat, namun dapat menjadi Habituasi dalam kehidupan masyarakat sehingga rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini dapat terjaga.
“Guru sebagai panutan, sahabat, dan pembimbing para peserta didik hendaknya menyadari peranannya dalam upaya merawat kemajemukan dan menjaga keutuhan bangsa” ujar Benny.
Peran Pendidik
Direktur Evaluasi BPIP Edi Subowo dalam pembukaan acara menyatakan, pendidik memegang peranan yang sangat krusial dalam perkembangan masa depan bangsa.
BPIP sangat mengapresiasi segala bentuk masukan dan saran dari para guru khususnya terkait penanaman edeologi Pancasila melalui kearifan lokal dalam proses pendidikan Indonesia.
“Diharapkan dalam seminar pendidikan ini terjadi dialog dan masukan masukan inovatif terkait penanaman nilai Pancasila pada generasi muda dengan cara cara yang mengedepankan kearifan lokal dan nilai nilai yang berkembang serta hidup nyata dalam masyarakat,” kata Edi Subowo.
Seminar ini menghadirkan narasumber Profesor Mien Ratoe Odjoe Guru Besar Universitas Nusa Cendana dan Antonius Benny Susetyo, staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Sarat Nilai Budaya
Prof Mien Ratoe Odjoe menyatakan, kawasan Flobamora yang terdiri atas Flores, Sumba, Timor, dan Alor merupakan kawasan yang sarat akan nilai budaya.
Tidak kurang dari 16 etnis, 72 bahasa asli yang tersebar di 22 kabupaten membuktikan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki nilai dan budaya yang beragam yang berkembang dengan penuh harmoni dan keselarasan.