JAKARTA (SUARABARU.ID) – Dua bulan sudah drama kelangkaan minyak goreng berlangsung, yang dimulai beberapa saat setelah pemerintah mengeluarkan penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sawit melalui Permendag no 6 tahun 2022.
Pasar merespon tenang di awal hikayat kelangkaan minya goreng ini. Sinyal kelangkaan produk ini di pasaran kurang baik dengan mulai naiknya harga minyak goreng di pasaran. Lalu, tak berapa lama menunggu untuk menyaksikan minyak goreng pada akhirnya hilang dari pasaran.
Setiap terjadi kelangkaan, selalu diikuti dengan kegaduhan, bahkan sampai konflik panjang. Kelangkaan minyak goreng memunculkan gonjang-ganjing panic buying. Ibu-ibu mengantre panjang dan mengular, tak peduli lagi dengan situasi pandemi yang masih berlangsung demi mendapatkan minyal goreng.
Kejadian seperti di Lubuk Linggau, Sulawesi Selatan, sampai dengan kerumunan para Ibu yang mencari minyak goreng, di wilayah seperti Kalimantan Barat yang nota bene adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia menjadi fenomena yang miris untuk disaksikan.
HET kemudian dicabut, minyak goreng mulai bermunculan lagi di pasar-pasar, tapi harga sudah terlanjur carut-marut.
Yang paling diuntungkan dalam situasi kelangkaan ini adalah para produser dan distributor. Yang paling dirugikan adalah kaum perempuan, terutama para ibu yang adalah konsumen utama minyak goreng, yang mereka butuhkan untuk menyajikan varian masakan lezat bagi keluarganya.
Ketua DPR RI, Dr Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, S.Sos ikut menyuarakan keresahan para ibu, dalam berbagai kunjungannya, ia bertemu dengan para penjual minyak goreng atau para ibu yang menjadi konsumen utama dan mendengar sendiri bagaimana dampaknya bagi mereka.
Mereka galau, resah, kecewa dan marah karena kelangkaan ini. Puan pun dengan gemas pernah menyatakan, “pihak-pihak yang mempermainkan kepentingan rakyat harus mendapat ganjaran setimpal.”
Lebih lanjut ia menjelaskan hal yang sangat kontradiktif terjadi di lapangan. Ketika berkunjung ke pabrik-pabrik minyak goreng, kegiatan produksi berjalan normal seperti biasanya.
“Tak ada kekurangan produksi, tetapi berbeda ketika ia ke pasar, banyak warga mengeluh, termasuk para pedagang kecil, karena sulit mendapatkan stok minyak goreng,” kata Puan.
Puan paham tentang situasi kelangkaan minyak goreng ini dalam perspektif keadilan distributif, di mana prduksi barang dan jasa harusnya memberikan kesejahteraan bagi rakyat, harus ada keseimbangan mulai dari hulu ke hilir.
Dikatakannya, keadilan distirbutif mengarah pada keadilan hasil yang diterima dari masyarakat, terutama kaum ibu. Keadilan distributif memastikan bagaimana barang dan jasa, kekayaan atau kualitas kesejahteraan mesti didistribusikan dalam masyarakat negara.
Menurutnya, tetapi justru yang terjadi adalah kasus penimbunan minyak goreng di mana-mana. Sementara lemahnya sistem pengawasan yang mencegah kerawanan terjadinya penyelundupan minyak goreng ini.
Dan Puan mengakui itu, “Saya melihat sendiri terjadi penimbunan minyak goreng di mana-mana.” Keadilan distributif ini bukan hanya menyakut keadilan dalam distribusi barang (minyak goreng) semata, tetapi juga memastikan bahwa kondisi sosial dan ekonomi dalam lingkup masyrakat juga stabil.
Menurutnya, seharusnya tidak banyak terjadi kejutan di pasar, yang membuat warga panik dan resah, karena jelas hal ini berpengaruh terhadap indeks kesejahteraan warga. Negara seolah tidak hadir dalam masalah ini, lanjut dia, dengan situasi ini misalnya muncul banyak oknum-oknum nakal yang menjual minyak goreng bercampur air. Para oknum nakal ini juga tega mengambil kesempatan dalam situasi kelangkaan ini dengan permainan harga pasar minyak goreng yang tinggi.
Sementara itu menurutnya, negara sendiri harus sudah memiliki standar dalam menjalankan prinsip keadilan prosedural, di mana negara menghadirkan mekanisme kebijakan yang tegas untuk mendukung kepentingan yang lebih besar, kepentingan utilitarianistik, yakni kepentingan warga negara, secara khusus para konsumen minyak goreng.
Menyadari perannya sebagai ketua DPR RI, situasi ini harus mendapatkan pengawasan yang tegas. Ia menyandari bahwa situasi kelangkaan ini tidak boleh terus berlanjut.
Menurut Puan, pengawasan ini mulai dari sisi produksi, lalu juga mencermati laporan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menjaga stabilitas harga di pasar. Selain itu yang paling krusial saat ini menurut Puan adalah perlu perbaikan tata kelola niaga Crude Palm Oil (CPO).
Dikatakanya, Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia tetapi minyak goreng langka. Banyak pilihan kemudian jatuh pada keputusan produser untuk mengkespor keluar dan dijadikan bahan bio solar, yang menyebabkan jatah CPO untuk minyak goreng jadi berkurang. Bahkan pemerintah memberikan subsidi untuk CPO bagi produksi bio solar, yang membuat pengusaha lebih suka menjual CPO menjadi bio solar ketimbang minyak goreng.
Pihaknya memiliki prespektif, penyebab kelangkaan minyak goreng disebut karena masalah distribusi dan keuntungan ekonomi semata. Sekali lagi penting untuk menegaskan fungsi negara yakni memastikan bahwa keadilan distributif ini.
Puan menegaskan bahwa tugas pemerintahlah untuk memastikan kelangkaan kebutuhan dasar ini jangan sampai berlangsung lama dan hanya menghasilkan kericuhan semata. Negara harus sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan ini karena keadilan adalah hal yang fundamental dalam sebuah sistem sebuah pemerintahan.(lrn)*